Satu minggu telah berlalu, Shareen sudah kembali ke aktivitasnya seperti semula, sibuk dengan segala urusan kantor dan sibuk dengan pekerjaannya. Meeting setiap hari memang sudah menjadi kebiasaan untuk Shareen, selain itu bertemu dengan beberapa klien dan mengurus pekerjaan sudah menjadi rutinitas lembur tersendiri bagi gadis berusia dua puluh empat tahun itu.
Seperti saat ini, Shareen sedang berada di salah satu kafe terkenal dekat dengan kantor, ia sedang meeting bersama dengan kolega bisnis yang sangat hebat. Mereka membahas kerja sama lalu dilanjutkan dengan makan siang. Sudah hampir dua jam mereka bersama, dan niatnya mereka memang akan mengakhiri meeting sekitar dua puluh menitan lagi. Tanpa adanya keluh kesah sedikit pun di dalam hati, Shareen melakukan semuanya dengan ikhlas. Ia tersenyum ramah dan mendengarkan pendapat yang diutarakan, sesekali juga menimpali dengan opininya.
Sudah tidak ada lagi kegiatan santai Shareen, yang ada hanyalah Shareen yang berusaha sekuat mungkin untuk melakukan yang terbaik demi perusahaannya. Gadis itu memang sangat-sangat ambisius dan tidak kenal lelah nampaknya. Sekretaris yang berusaha sebisa mungkin untuk mengatur jadwal Shareen pun sampai kelabakan sendiri.
Meeting sudah berlalu, jadwal siang ini sudah selesai karena Shareen baru pulang dari luar negeri tadi pagi. Jadwalnya memang seperti itu, kadang sampai malam sekali, kadang pun hanya beberapa jam saja karena baru pulang dari luar negeri ataupun luar kota. Saat ini Shareen hanya tinggal pulang ke rumahnya lalu istirahat.
Dengan gaya yang masih elegan namun make up yang sudah mulai memudar, Shareen berjalan menuju tempat mobilnya terparkir. Ia memasuki mobilnya dan melajukan kendaraan roda empat tersebut ke rumah. Sungguh, rasanya sangat berat sekali hari ini. Shareen lelah sekali, dan kekurangan tidur rasanya. Bagaimana tidak, ia baru saja sampai rumah pukul tiga dini hari dan harus kembali ke kantor pukul delapan pagi. Setelah itu sampai pukul tiga sore ia harus meeting bersama dengan beberapa kolega.
Benda persegi panjang dari tas Shareen berbunyi, membuat gadis itu langsung meraihnya dan melihat notifikasi apa yang masuk. Ternyata itu adalah telepon dari Mikael, ah rasanya Shareen merindukan gadis itu. Sejak kepulangan Shareen ke Singapura, ia jarang sekali membalas chat dari Mikael dan Citra.
Tak menunggu lama, Shareen langsung mengangkat telepon itu. "Halo, Mik! Gimana-gimana? Lo kenapa telepon gue? Kangen ya?" sapa Shareen dengan sedikit meledek sahabatnya itu.
Isakan dari seberang sana membuat Shareen mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya itu. Gadis itu langsung memberhentikan mobilnya di pinggir jalan dan berusaha fokus pada telepon. "Lo kenapa, Mik? Kenapa lo nangis kayak gini? Ayo bilang sama gue. Apa yang terjadi, hei?" tanya Shareen dengan kekhawatiran yang maksimal.
Mikael masih terisak, belum mengucapkan satu patah katapun. Ia masih belum berani membuka suara membuat Shareen semakin khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. Menurut Shareen, Mikael adalah salah satu orang yang sangat kuat, Mikael jarang sekali yang namanya menangis. Seburuk apapun situasinya, Mikael berusaha untuk tersenyum dan menerima semuanya dengan lapang dada.
"Hei, lo kenapa, Mik? Apa yang terjadi sampai lo kayak gini? Cerita ke gue! Apa ada masalah sama Bryan atau gimana?" pancing Shareen lagi. Hatinya tak tenang dan merasa sangat sakit mendengar sahabatnya menangis saat ini. Bahkan Shareen sudah menganggap Mikael seperti saudara sendiri, Mikael tidak mempunyai siapapun selain dirinya dan Citra.
"Gue rasa Tante Dena gak suka sama gue, Reen. Pas gue pilih catering, dia bilang pilihan gue tuh kampungan banget. Dia juga ungkit-ungkit masalah kalau pesta kali ini harus mewah karena Bryan anak tunggal di sana, jangan pilih sesuatu yang apa adanya karena gue anak panti. Sumpah sakit banget, Reen. Dan di saat seperti itu Bryan cuma bisa diem, dia malah gak ngebantah atau gak ngebela gue. Gue tau sih Reen kalau gue cuma anak panti asuhan yang sama sekali gak tau orang tuanya kayak gimana, dan Bryan anak konglomerat yang apa-apanya harus mewah. Gue tau itu, tapi gue gak mau diinjak-injak posisinya, Reen. Gue malu banget. Udah gue usahain semua tabungan gue selama ini buat bantuin catering, tapi malah ini semua balasannya. Gue pilih catering juga sesuai budget yang ada, gue bisanya segitu dan itu yang paling mewah menurut gue."
Curahan hati yang sangat panjang sudah dilontarkan oleh Mikael, terkadang isakan menyelimuti perkataan tersebut. Hati Shareen terasa sangat teriris sekali saat sahabatnya diperlakukan seperti itu. Ia sangat tahu bagaimana pola pikir orang kaya, pasti akan menganggap bahwa pernikahan adalah ajang pamer kekayaan pribadi. Dan, Shareen benci itu.
Shareen yang semulanya mendengarkan secara saksama, kini mulai berpikir untuk menanggapi curahan hati sahabatnya itu. Ia ingin membantu sahabatnya supaya Mikael tidak direndahkan lagi. Rasanya sangat sakit saat orang-orang di kalangan atas menindas rakyat bawah, Shareen tahu itu semua.
"Makasih udah mau cerita ya, Mik. Lo yang sabar aja, mungkin Tante Dena emang mau yang terbaik buat lo sama Bryan, kan dia emang cuma punya satu anak doang. Dia pasti mau semuanya berjalan dengan baik dan perfect. Mungkin moodnya emang lagi buruk sampai memperlakukan lo kayak gitu. Tenang aja, semuanya akan baik-baik aja. Nanti gue transfer duit ke lo, lo pakai aja buat catering, jangan sungkan-sungkan buat minta ke gue lagi kalau kurang. Gapapa, pakai aja dulu. Gue gak mau kalau misalnya lo direndahin lagi kayak gini."
Shareen tak tahu, hanya itu saja yang ada di pikirannya. Ia harus memberikan solusi yang membuat sahabatnya diperlakukan layak, bukan seperti seorang Cinderella yang menikah dengan pangeran. Tidak, Mikael tidak boleh mendapatkan perlakuan layaknya Cinderella, Mikael harus dihormati dan dihargai layaknya seorang putri.
"Gak usah, Reen. Emang Tante Dena dari awal gak restuin gue sama Bryan makanya dia kayak gitu. Bryan cuma yakinin Tante Dena aja makanya Tante Dena setuju, dia gak bisa nolak permintaan anaknya. Emang seharusnya gue yang sadar diri, gue gak seharusnya ada di sana. Gue cuma beban aja." Nada parau diiringi dengan tawaan miris menjadi akhir dari ucapan Mikael, sangat menyakitkan di telinga Shareen. Ia sama sekali tak tahu kalau sahabatnya mendapatkan penolakan selama ini.
"Seenggaknya lo harus berjuang supaya Tante Dena bisa menghargai lo. Lo tenang aja, Mik. Gue bakalan bantu lo sebisa mungkin. Lo jangan merasa rendah kayak gitu, lo pantas bersanding sama Bryan, lo pantas ada di tengah-tengah mereka. Sekarang buktiin kalau lo bisa menyamai langkah mereka."