Deru napas dan langkah seimbang dengan rasa cemas, Rahmat melihat anaknya.
"Sayang sekarang ini kamu kekuatan ayah.Kamu harus tumbuh dengan sehat dan kuat ya, jadilah seperti Ibumu sayang. Fahim ... putra keci ayah, kamu adalah kebahagiaan yang paling besar.
Sudah 15 menit Rahmat kembali ke depan kamar 103. Rahmat duduk di samling Attar.
"Kamu sudah terlalu lama di sini menemani kami, kamu harus sekolah Attar. Sudah hampir tiga bulan," pinta Rahmat.
"Aku sudah mengerjakan semua tugasku lewat ponsel Mas, aku akan pulang besok. Biarkan aku sejenak bersama Mbak Aida," ujar Attar sambil memandang wanita yang mengkurus didepannya.
"Kamu memang cukup cerdas, tapi jangan menganggap semua enteng oke," tegur Rahmat, Attar mengangguk dan tersenyum.
"Iya Mas," jawab Attar pelan, Rahmat berdiri dan melihat Aida dari kotak kaca bening di pintu.