"Apa gunanya kamu datang ke sini? Ini sudah terlambat, Dewina sudah terpilih menjadi Bintang iklan sabun merk terkenal itu, jadi pulanglah!" Gerutu salah satu kru tadi sekaligus mengusir Mayang dengan kalimat halus.
"Tapi saya datang bukan untuk menjadi bintang utama iklan ini, saya ingin mencoba pemeran pendamping, apa masih ada tempat?" Pernyataan Mayang sedikit membuat mereka bingung. Bukannya normal untuk berebut di posisi utama, tapi Mayang malah memilih pemeran pendamping.
Sejenak berfikir, para kru di hadapan Mayang mulai ngedarkan pandangan mereka, memperhatikan penampilan Mayang yang mereka rasa cukup bagus untuk menjadi pemeran pendamping dalam iklan besar yang mereka sedang garap.
"Oke, mari kami antarkan ke dalam. Pak Sutradara masih ada di sana!" Ucap seorang kru yang tadinya mencibir Mayang.
"Pak, gadis ini datang ingin mencoba peran pendamping di iklan ini. Aku rasa kita coba saja aktingnya, karena dari tadi belum ada yang pas untuk mendampingi akting Dewi. Bagaimana menurut Bapak?" Kru tadi melapor sambil berbisik pada seorang pria bertubuh agak tambun yang disebut mereka adalah sutradara dalam iklan tersebut.
Langsung saja pandangan kedua orang tersebut beredar pada Mayang. Setelah beberapa saat meneliti, dan mencocokkan kriteria yang diminta oleh perusahaan terkait, orang yang bertugas menjadi Sutradara tadi menganggukkan kepalanya.
"Silahkan tunjukan sedikit akting kamu!" Satu kalimat tegas tanpa basa-basi, keluar dari mulut Sutradara tersebut.
Mayang menunjukkan kebolehan beraktingnya pada Sutradara dan kru di sana. Ia dapat masuk ke dalam penghayatan dan dengan cepat mengubah ekspresi sesuai intruksi mereka. Membuat ekspresi sedemikian rupa dengan sempurna bak seorang artis professional. Setiap mata yang memandang terpesona pada Mayang yang ternyata sangat lihai memainkan peran.
"Stop! Cukup. Coba kamu mendekat ke sini!" Perintah sang Sutradara bernama Toni. Mayang mendekat sesuai perintah.
"Siapa nama kamu, Nona?" Tanya Sutradara itu lembut, sangat berbeda sikap dengan sebelumnya.
"Mayang Vianney Reksa." Jawab Mayang.
"Reksa? Bukannya Reksa itu nama keluarga Dewina? Apa hubungan kamu dengan Dewi?" Tanya Sutradara bingung.
"Ya, benar Pak, Dewina saudara saya dari orang tua yang sama." Jawab Mayang dengan sedikit senyuman miris. Kalau saja tidak terpaksa, sebenarnya Mayang sangat malas mengakui status hubungannya dengan Dewina ataupun keluarganya.
"Kamu serius? Mengapa tidak ada yang tahu, kalau Dewi punya saudara yang juga hebat dalam akting? Ke mana kamu selama ini Nona?" Pak Toni semakin antusias menanyai Mayang.
"Saya tinggal di California selama lima tahun, Pak. Saya kuliah di jurusan seni peran dan baru beberapa bulan saya kembali ke sini. Jadi wajar bila tidak ada yang tahu, kalau Dewina punya saudara." Terang Mayang.
Dengan pembawaan Mayang yang tenang dan lugas serta kemampuan akting yang mereka kira dapat mengimbangi Dewina, para kru yang awalnya meremehkan dan merendahkan Mayang, mengubah sikap mereka menjadi lebih ramah.
"Baik, kamu saya terima untuk mengisi pemeran pendamping yang akan bermain di iklan bersama Dewina, selamat ya!" Pak Toni mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Mayang, seraya memberikan selamat Mayang yang terpilih mengisi peran dalam iklan kali ini.
"Terima kasih, Pak! Saya akan berusaha lebih baik dalam peran saya. Sekali lagi terima kasih, Pak Sutradara dan kru semua, terima kasih!" Mayang tersenyum senang, berucap terima kasih pada semua yang bertugas di sana.
"Mayang jangan terlambat besok, ya! Karena besok pengambilan gambar untuk produk. Mungkin kamu akan dipasangkan dengan pemeran utama pria besok. Jadi jangan sia-siakan kesempatan, ya! Semangat!" Ucap Astrada atau Assisten Sutradara pada Mayang.
Mayang meninggalkan gedung Wing Entertaiment dengan senyum sumringah. Iklan pertamanya setelah ia pulang ke Negara asalnya.
***
Setelah kepergian Mayang dari rumah sakit. Bian juga ikut pergi ke kantornya. Namun, sebelumnya ia memerintahkan supirnya untuk mengikuti ke mana Mayang akan pergi.
Setelah mengetahui tujuan taksi yang Mayang tumpangi berhenti di Wing Entertaiment, perusahaan Trian, Bian melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan senyum menawan yang membuat wajahnya semakin tampan.
Sementara itu, Ziel si anak Emas terbangun dari tidur lelapnya. Pandangan matanya beredar ke ranjang pasien tempatnya melihat Ibu perinya terbaring sebelum ia menutup matanya tadi malam. Ziel menangis karena tidak menemukan sosok Mayang di sana.
Kilatan kemarahan terpancar di mata anak berusia tujuh tahun tersebut, kala melihat Paman kecilnya yang tengah asyik memainkan stik game di tangan, serta mata yang tak lepas dari layar datar televisi berukuran tiga puluh empat inch yang menempel di dinding.
"Paman Kecil!" Jerit Ziel pada Trian, yang langsung saja membuat Trian melempar asal stik gamenya.
Trian panik saat keponakan kesayangannya ini bangun dengan mata merah karena menangis dan wajahnya yang marah. Trian mendekat dan mencoba membuatnya terdiam. Namun, bukannya diam, si kecil Ziel semakin keras mengeluarkan suaranya.
Ziel si anak emas kembali menunjukkan penyakit emosionalnya. Menjerit, menangis dan berteriak, hal yang biasanya terjadi saat keinginan dan ketenangannya terusik. Dan bila hal ini terjadi, si kecil bisa sampai pingsan karena terus meluapkan emosinya.
"Ziel tenanglah! Bicara Sayang, agar Paman tahu apa yang kamu inginkan. Ayolah anak emas Paman yang baik!" Trian mencoba membujuknya. Dan tak lama si kecil pingsan. Trian yang panik, memanggil anak buahnya serta perawat dan Dokter untuk menanganinya.
Beruntung Dokter dapat mengatasi Ziel yang pingsan saat ini. Namun, itu tidak begitu membantu saat Ziel yang terbangun nanti akan tetap menangis bila apa yang membuatnya tenang tidak ada.
Sejak bayi Ziel mengalami kondisi seperti ini. Bila menangis Ziel akan pingsan dan saat terbangun si kecil akan diam. Dan itu berlangsung sampai sekarang. Hal itu juga yang membuat Ziel enggan banyak bicara pada siapapun.
"Tuan, kondisi si kecil yang seperti ini sangat membayakan psikologis Ziel. Lambat laun perkembangan otaknya akan terganggu bila terus-terusan ia menangis dan pingsan. Jadi saran saya, usahakan si kecil mendapatkan ketenangan dan selalu ceria. Carilah hal-hal yang membuatnya bahagia, Tuan!" Ucap Dokter menasihati Trian.
Trian mendengarkan nasihat Dokter lalu berfikir apa yang membuatnya menangis kali ini. Mau tidak mau, Trian harus memanggil Kakaknya untuk kembali ke rumah sakit.
"Kak, kembalilah! Ziel terbangun dan langsung menangis, dan sekarang pingsan lagi seperti biasa. Aku bingung, Kak! Jadi kembalilah lagi!" Ucap Trian dalam satu nafas pada sang Kakak.
"Hmm, aku tahu! Aku segera ke sana." Jawab Bian dengan tenang. Beberapa saat kemudian, mobilnya sudah terparkir kembali di pelataran rumah sakit. Bian langsung menuju kamar tempat Ziel di rawat.
"Ziel! Bangunlah, Nak! Daddy sudah di sini." Panggil Bian lembut pada Ziel. Ziel membuka matanya perlahan namun ia terdiam tidak mengatakan apapun.
"Hal apa yang membuat kamu menangis?" Tanya Bian lagi. Tapi si kecil juga masih diam sambil membuang wajahnya ke samping. Ziel tidak berani menangis di depan Bian, karena takut Daddynya akan marah. Kemarahan sang Daddy adalah hal yang tidak ingin dilihatnya sampai kapanpun.
Namun, ia juga tidak bisa menutupi kekesalannya saat ini. Berekpresi selayaknya anak kecil yang sedang membutuhkan perhatian dan keinginan yang terwujud. Bian faham apa yang dibutuhkan Ziel saat ini. Lalu Bian bertanya sambil tersenyum, "Kamu mencari Ibu Peri?"
Bersambung…