Heldana Health Center, rumah sakit swasta milik keluarga Heldana, tempat Mayang di rawat.
Pagi ini Mayang terbangun dengan sakit yang masih terasa di kepalanya. Hal pertama yang ia lihat adalah sesosok pangeran tampan yang duduk di kursi sebelah jendela tepat di sampingnya.
Lelaki tersebut duduk dengan menyilangkan kaki panjanganya. Mengenakan stelan kemeja bergaris dengan dasi hitam yang terikat rapi di kerah lehernya.
Wajahnya yang amat tampan bermandikan sinar matahari pagi membuat lekukan rahang tegasnya semakin mempesona di mata Mayang. Ekspresi acuh tak acuhnya membuat kesan seolah pria tersebut adalah seorang Raja yang dingin dan kaku.
Bian yang merasa dirinya diperhatikan seseorang, langsung menoleh ke arah Mayang dengan tatapan tajam. Mayang yang tidak biasa diperhatikan begitu intens merasa canggung dan terganggu.
Lirikan mata Bian bak pisau yang dapat menggores kulitnya karena sangking tajamnya. Membuat Mayang salah tingkah, tepatnya gugup, karena aura yang dipancarkan lelaki ini sungguh mematikan.
Mengabaikan ketidak nyamanan karena lirikan tajam lelaki tersebut, Mayang memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Maaf, Tuan. Bagaimana saya bisa di sini? Siapa yang membawa saya ke sini? Dan apa anda melihat anak kecil, mungkin berusia tujuh tahun kalau saya tidak salah. Dan anak itu sepertinya tidak suka bicara, tapi itu terlihat lucu dan menggemaskan. Apa kamu melihatnya, Tuan?"
"Lucu? Menggemaskan?" Bian mengangkat alisnya mendengar Mayang menerangkan. Kemudian menolehkan pandangannya ke kanan, lalu menjawab pertanyaan Mayang dengan nada suara yang datar, "Maksudmu Anak Emas?"
Mayang mengikuti arah pandangan Bian yang kaku bak patung es yang entah kapan mencairnya. Dan ia menemukan si kecil tampan yang tertidur pulas dengan infus yang menempel di punggung tangan kecilnya.
"Ya, benar! Anak emas? Apa nama anak itu Anak Emas?" Sambil bertanya, Mayang perlahan turun dari ranjangnya. Menggeser tiang penyangga botol infusnya. Menempelkan tangannya di dahi si kecil.
"Syukurlah, demamnya sudah hilang." Perasaan lega bersamaan dengan hembusan nafas beratnya. Mayang lega, akhirnya bisa menolong si kecil dan kini demamnya sudah ditangani dengan baik.
Mayang membalikkan pandanganya ke lelaki yang masih duduk dengan santai itu. Memasang ekspresi marah padanya.
"Hei Tuan, apa kamu ayah dari anak ini?" Tanya Mayang sambil berulang kali memastikan kalau mereka berdua memiliki kemiripan.
"Yah, aku Ayahnya. Kenapa?" Bian menjawab dengan nada yang masih saja datar. Mayang kembali memastikan kemiripan mereka, dan setelah itu menghela nafas kasar sebelum melancarkan kekecewaannya.
"Oh, jadi kamu Ayahnya? Apa kamu tahu, Tuan? Orang tua seperti apa yang tega membawa seorang anak kec-"
"Hai cantik, kamu sudah bangun? Aku Paman kecil Anak Emas." Suara Trian yang datang tiba-tiba, mengagetkan Mayang dan memutus kalimatnya. Mayang mundur sedikit dan memastikan apakah benar lelaki yang baru saja datang ini adalah orang yang diketahuinya.
"Tri…Trian? Train Heldana?" Mayang tergagu menyebut namanya. Tentu saja ia yakin kalau orang itu adalah Trian Heldana, putra ketiga keluarga Heldana yang terkenal di seluruh negeri dan internasional.
Trian Heldana, si Ceo Wing Corporation. Perusahaan tempatnya mencari peruntungan aktingnya. Tentu saja ia dapat mengenali Bos besarnya sendiri. Wajah bosnya ini selalu wira-wiri di jagat entertainment. Bagaimana Mayang bisa tidak mengenalinya.
"Tunggu! Kalau Trian Heldana paman kecil anak ini. Dan pria batu es itu Ayah si kecil, berarti…" Ucap Mayang dalam hati, sambil berfikir dan menoleh ke Bian.
"Jadi Tuan adalah Biantara Heldana? Dan si kecil Ziel si anak emas yang terkenal itu?" Mayang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Bian, kemudian menoleh kembali ke Bos besarnya, "Benarkah aku sudah menolong anak emas keluarga Heldana?" Trian mengangguk.
"Ya Tuhan, apa yang kulakukan?" Mayang kembali ke ranjang pasien miliknya. Tubuhnya lemas tak percaya, dia telah menolong penerus Heldana Corporation, anak haram Biantara, yang digadang-gadang sebagai Dewa Kekayaan di negeri ini.
***
Bian kembali melirik Mayang, seakan tahu ekspresi Mayang saat ini sedang memikirkan apa yang akan di dapatnya setelah menolong Ziel, anaknya.
"Permintaan anda." Dengan nada datar, Bian bicara menatap Mayang.
"Mmm, permintaan apa?" Mayang menjawab bingung.
"Maksud Kakakku sebutkan permintaanmu, Kakak ingin berterima kasih, karena kamu sudah menolong Anak Emas kami." Trian memperjelas maksud kakaknya.
Setelah mendengar hal barusan, Mayang menggerakkan tangannya kuat sambil menggeleng, "Tidak perlu! Kalian tidak perlu membalas apapun. Aku ikhlas menolong si kecil. Dan lagi pula setelah aku menolongnya, dia juga yang membuat kalian membebaskannku dari sana."
"Kalau saja bukan karena si kecil yang memberitahukan pada kalian, mungkin saja aku tidak ada di sini. Jadi kita impas, aku tidak ingin berhutang budi pada siapapun."
Mayang menolak keras tawaran tersebut. Memang dialah yang menyelamatkan si kecil, tanpa tahu latar belakang anak tersebut, tapi semua itu murni karena ia peduli pada malaikat kecil tersebut. Dan akan sangat kurang ajar, bila ia masih meminta imbalan.
Mayang sudah sangat bersyukur telah diberikan kehidupan kembali untuk tetap menjalankan rencana balas dendamnya pada Dewina. Dan saat ini, setelah tahu latar belakang si kecil yang luar biasa, Mayang tidak ingin mengambil resiko untuk berhubungan dengan orang-orang kaya yang nantinya akan membuatnya repot di masa depan.
Bian yang mendengar penolakan dari Mayang menunjukkan wajah tidak sukanya. Ia berfikir kalau Mayang sama seperti orang-orang yang biasa memanfaatkan kebaikan keluarganya, seperti sebelum-sebelumnya.
Sedikit saja menolong anak emas mereka, lalu orang-orang itu memanfaatkan untuk kepentingan mereka sendiri. Awalnya menolak, namun kemudian mereka menunjukkan warna asli mereka.
Untuk menghindari konflik dan masalah, Bian berterus terang untuk mengakhiri hubungan dengan orang-orang yang tidak tahu malu secepatnya, seperti yang dilakukannya pada Mayang.
Mayang yang menerima tatapan membunuh dari Bian, hingga merasa terpojok, "Apa aku mengatakan yang salah? Aku hanya meolak tawarannya, bukan?" Tanya Mayang dalam hati.
"Kak, tolong jangan tunjukan wajah iblismu pada wanita cantik ini! Dia ketakutan, lihat!"
"Ekspresi Kakak bukan seperti ekspresi orang yang ingin membalas budi, tapi lebih mirip ke orang yang menagih hutang, bahkan seperti orang yang akan membalas dendam!" Trian memperingatkan Bian untuk bersikap lebih santai.
"Maaf Nona, jangan salah sangka, Kakakku hanya ingin berterima kasih, karena telah menolong anak emas kami. Dan kami tidak suka berhutang budi pada orang lain. Kamu harusnya menyebutkan permintaan apa saja, dan jangan sungkan." Trian bicara perlahan pada Mayang.
"Sungkan? Aku tidak sungkan! Tapi kenapa kalian terus memaksaku untuk membuat permintaan? Apa ini jebakan? Aku bersumpah, aku tidak merencanakan itu semua, kalau tidak percaya, kalian bisa memeriksa ke-"
Bian dengan ekspresi wajahnya yang sudah bosan meladeni drama ini berucap singkat, "Tidak perlu!"
Bersambung…