"Cukup! Masalahnya jadi serius, dan malah semakin bertambah. Harusnya aku tidak memberinya pertanyaan apapun, haish!" desah Mayang dalam hatinya. Ia sangat tahu, pembicaraan yang Bian ungkapkan pasti berhubungan dengan sebuah dendam.
Mayang telah banyak melihat tatapan mata seperti itu, namun kali ini berbeda. Apa mungkin karena kali ini yang ia lihat adalah seorang Biantara, yang ternyata memilik permasalahan yang cukup rumit?
Bimbang yang menusuk. Antara ingin menanyakan kelanjutannya karena dorongan kemanusiaan, atau karena hatinya sudah tertarik pada seorang Biantara? Hanya Mayang yang tahu jawabannya.
"Hmm, maaf Tuan. Bisakah Tuan tidak melanjutkan cerita Tuan? Maksudku bukan karena aku tidak bersimpati pada kisah si kecil ataupun orang tuanya, tapi aku merasa aku bukan siapa-siapa bagi kalian, dan kenyataannya kita tidak terlalu dekat untuk sekedar bertukar cerita, hehehe!" Mayang menyunggingkan senyuman terpaksa, namun di pandangan Bian, senyum terpaksa Mayang sangat manis untuk diabaikan.
"Nona Mayang," panggil Bian pada Mayang yang matanya berkeliaran kemana-mana karena salah tingkah saat terus dilirik oleh Bian.
"Ya?" jawabnya singkat.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Bian bertanya dengan tatapan teduh.
"Habislah kau Mayang! Kali ini jawaban apa yang bisa kuberikan padanya? Kalau pertanyaan seperti ini kudengar dari orang lain, mungkin saja akan kujawab sembarangan, tapi ini dia, dia!" gerutunya dalam hati, seakan jantungnya hendak melompat dari tempatnya.
Ia sangat hafal, kalimat seperti ini sering terdengar di telinganya saat misinya berhasil, dan kliennya mencoba menjalin hubungan lebih dekat dengannya. Tapi kali ini berbeda, dengan seorang Biantara yang mengatakannya. Dalam bayangan Mayang, mungkin otak Bian sudah bergeser begitu parah.
"Tentu saja belum. Kalau sudah pasti saya langsung mengenali anda waktu pertama kali saya bangun di rumah sakit. Tapi kenapa Tuan menanyakan hal ini pada saya? Apa ada masalah?" Mayang menjawab Bian dengan yakin. Karena memang ia tidak pernah merasa bertemu dengan Bian selama ini.
"Tidak ada, tolong lupakan," sahut Bian tenang, namun raut kekecewaan sungguh terlihat dari sorot matanya yang seakan kesepian.
"Kenapa jawabanmu tidak? Padahal aku merasa kalau aku pernah bertemu denganmu sebelum ini. Tapi di mana dan kapan, aku juga tidak tahu. Harum aroma tubuhmu membuatku teringat pada gadis malam itu. Apa aku salah karena sedikit berharap gadis waktu itu adalah kamu?" hati Bima berperang pendapat dengan kenyataan yang baru saja ia dengar dari Mayang.
Wajah Mayang terlihat meyakinkan saat menjawabnya tanpa ragu. Dan Mayang, sudah pasti bukanlah gadis yang selama ini ia cari.
Suasana menjadi kikuk dan tidak nyaman yang Mayang rasakan. Kediaman Bian setelah mendengarkan jawabannya membuat Mayang tidak enak hati.
"Tuan Bian, jika anda tidak memerlukan hal lain dari saya, saya akan kembali tidur bersama si kecil. Selamat malam," ucap Mayang dengan hati-hati bangkit dari sofa, dibarengi dengan selangkah kakinya berbalik arah.
Bian menyambar tangan Mayang dengan cepat, hingga Mayang kembali berbalik badan dan duduk, "Aku tidak sedang terburu-buru, duduklah sebentar lagi," ucap Bian melemparkan pandangan seperti ingin menerkamnya.
"Hallo, Tuan Kaya! Kau memang tidak terburu-buru, tapi jantungku serasa melompat dari tempatnya sekarang!" gerutunya lagi.
Dengan berat hati, Mayang duduk kembali bersama Bian. Bian tersenyum tanpa melepaskan tangannya dari tangan Mayang. Ia menarik tangan Mayang dan membungkukkan kepalanya seakan hendak mencium tangan Mayang, membuat ekspresinya menjadi kaku.
"Apa kamu takut denganku?" tanya Bian dengan senyuman yang langsung memanah hati Mayang.
"Bahaya! Tolong hatiku, jantungku! Jangan melompat seperti ini! Aku bisa gila!" bathinnya menjerit karena tidak bisa mengendalikan perasaannya saat ini.
Mayang menarik tangannya dengan cepat dan menggelengkan kepalanya dengan tidak beraturan, sebentar- sebentar mengangguk dan kemudian menggeleng. Membuat Bian tertawa melihatnya.
"Mungkin tidak ada satu orang pun yang tidak takut pada Tuan jika mereka tahu siapa Tuan," jawab Mayang sembarangan.
"Jadi kamu takut padaku juga?" tanya Bian lagi.
"Tentu saja, siapa yang tidak takut jika Tuan bersikap seperti ini pada seseorang?" Mayang menimpali tanpa sadar telah menjawab apa.
"Berarti kamu takut padaku karena orang lain takut padaku?" Bima bertanya lagi.
"Ya, itu benar!" jawabnya singkat.
"Jadi, jika kamu takut padaku karena orang lain takut padaku, kenapa kamu tidak ingin menikah denganku karena wanita di luar sana berebut ingin menjadi istriku?" pertanyaan jebakan dari Bian membuat Mayang terdiam kaku.
"Surprise! Aku terjebak," celetuk Mayang dalam hatinya, sambil memejamkan mata dan ujung lidahnya yang ia gigit kecil.
Mayang terlalu naif menghadapi sosok sekelas Biantara Heldana yang ternyata tidak hanya dikenal dengan sebutan 'Pembunuh Berdarah Dingin' dalam bidang bisnis, yang bisa menjatuhkan lawan bisnisnya tanpa ampun, namun ternyata ia juga lihai memainkan kata-kata untuk bisa menjebak Mayang.
"Ehem! Tuan Bian, sebelum aku menjawab pertanyaan anda barusan, bolehkah aku bertanya satu hal?" Mayang mencoba peruntungannya kali ini.
"Ya, silahkan," jawab Bian dengan senyuman.
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan wanita lain seperti yang barusan saja Tuan Bian katakan? Apa karena aku yang telah menyelamatkan Anak Emas?" tanya Mayang beruntun. Dan sepertinya masih ada pertanyaan lainnya.
"Dan lagi, si kecil kelihatan baik-baik saja. Dan menurutku kecemasannya akan berangsur hilang begitu dia kembali beraktifitas seperti biasa. Bukankah tanggapan anda begitu konyol dan mengada-ada, Tuan?" sambung Mayang lagi.
Bian menanggapi ocehan Mayang dengan kekehan kecil dan satu kata yang membuat Mayang bingung, "Empat,"
"Empat? Empat apa?" tanya Mayang yang sudah jelas kebingungan.
"Iya empat, kamu bilang tadi akan bertanya satu hal, tapi kenapa satu bisa beranak-pinak menjadi empat?" Bian terkekeh menjelaskan sambil menunjukkan ke-empat jarinya pada Mayang.
"Kenapa tidak Nona tambahkan satu lagi supaya ibu jariku tidak tertekuk? Aku kasihan padanya. Tapi aku rela menjawab seribu pertanyaan Nona Mayang asalkan aku mendengar satu jawaban 'Ya' dari bibir anda," satu kalimat panjang yang menusuk langsung ke jantung Mayang.
"Ya Tuhan, tolong aku kali ini, please! Tolong lancarkan otakku yang buntu karena mendengar gombalan mahalnya ini, Tuhan!" Mayang kembali berteriak dalam hati.
"Maaf Tuan Bian, saya benar-benar tidak bisa menerima pernikahan ini, saya tidak ingin menikah dalam waktu dekat," Jawab Mayang dengan hati-hati.
Bian tertawa kecil sambil menyunggingkan senyum yang dibuat memelas, " Jadi, kamu hanya ingin tidur bersamaku? Tanpa kamu mau bertanggung jawab dengan menikahiku?"
"Ya, bisa dibilang begi-! Tunggu-tunggu! Tidak, bukan seperti itu yang ingin aku jawab!" Mayang hampir menggigit lidahnya sendiri karena terjebak lagi dalam permainan kata Bian. Biantara terlihat puas karena membuat Mayang terjebak dan menjawab apa yang dia ingin, walau Mayang menjawab, tapi Bian terlihat senang.
Sementara Mayang tidak menyangka akan kembali terjatuh di lubang yang sama sebanyak dua kali dalam satu waktu. Serasa saat ini Mayang seperti kehabisan akal menghadapinya.
"Ya Tuhan, aku baru saja memintaMu menyelamatkanku darinya, tapi kenapa sekarang malah mendorongku masuk ke dalam jebakkannya? Mulutnya begitu berbahaya bahkan ranjau militer sekalipun lebih berani kubayangkan," Mayang kembali menggerutu dalam hati.
Bersambung…