Seorang gadis dengan buket bunga lily putih di pelukannya berjalan pelan menyusuri jalan setapak dihadapannya, hingga berhenti tepat di samping gundukan tanah berbalut rumput hijau yang tertata rapi sedemikian rupa. Ia berjongkok dengan senyum tipis dan mata yang berkaca-kaca.
Riska mengusap nisan bertuliskan nama orang yang sangat ia rindukan. Setitik air mata jatuh, namun dengan cepat ia mengusap pipinya yang basah seraya menghirup oksigen sebanyak mungkin.
"Pagi, Ayah..." Riska menyapa.
"Maafin Riska ya Ayah, karena Riska baru sempet dateng kesini," diletakkannya buket bunga itu tepat di atas pusara makam Bram, ayah kandung Riska.
"Riska, sekarang udah tinggal di rumah yang dulu, tempat dimana kesedihan ini bermula." Kalimat Riska terhenti karena tak kuasa menahan tangisannya, sebisa mungkin Riska mencoba untuk, namun air mata itu terus jatuh tanpa bisa Riska hentikan.
"Riska kangen sama Ayah, kenapa Ayah pergi begitu cepat? kata Ayah, Ayah gak akan pernah ninggalin Riska dan Kak Andrea," tangis Riska semakin menjadi-jadi dengan kepalanya yang menunduk.
"Maafin Riska, karena Riska masih belum bisa merelakan Ayah pergi tapi Riska janji, mulai hari ini Riska akan mengikhlaskan Ayah untuk pergi," ucap Riska dengan tegas sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya walaupun air mata itu kembali membasahi kedua pipi Riska.
Riska kembali memandangi makam sang Ayah. "Ayah tau, Riska udah ketemu sama Om Panji dan keluarganya bahkan Riska bersahabat dengan anaknya."
"Sebenarnya Riska kesel kalo terus-terusan deket dengan Daisy, anak dari Om Panji, tapi Riska gak punya pilihan lain selain menjadi sahabat Daisy," ucap Riska.
"Karena ini satu-satunya cara supaya Riska bisa bales dendam sama apa yang udah mereka lakuin ke keluarga kita." Riska kembali menghapus air matanya.
"Jadi Ayah tenang aja dan do'ain Riska supaya semua rencana Riska berjalan dengan mulus," ucap Riska sambil mengusap nisan yang bertuliskan nama sang Ayah.
Riska menghembuskan napasnya dengan berat. Setelah rindunya tersampaikan dan sedikit bercerita, akhirnya Riska merasakan kelegaan di dalam hatinya.
"Ayah, Riska pamit dulu ya, nanti Riska janji bakalan main kesini lagi dan sekalian ajak Kakak terus Riska bakalan kasih cerita lucu buat Ayah," ucap Riska dengan tersenyum.
Riska memandangi pemakaman Bram sekali lagi, Riska yakin, kalau Ayahnya sedang memperhatikan dirinya dari atas sana.
Riska berdiri sambil membenarkan slingbag nya dan berbalik, namun saat ia berbalik, Riska melihat Rian yang sedang berjalan dengan mata yang sepertinya sedang membaca nama-nama yang tertera di batu nisan.
Riska langsung kembali berjongkok namun menghadap ke makam yang berada di sebelah kanan. "Itu kan Rian, ngapain dia ada disini?" tanya Riska pada dirinya sendiri.
"Riska?" panggil Rian yang seketika membuat Riska terkejut dan takut jika Rian tau bahwa dirinya anak dari Bram.
Perlahan Riska berdiri dan membalikkan badannya menghadap Rian. "Rian?" ucap Riska dengan gugup.
"Lo ngapain pagi-pagi ke pemakaman?" tanya Rian.
"Gu-gue..." Riska merasa seketika kehilangan kata-kata dan otaknya tidak bisa diajak kerja sama untuk mencari alasan yang tepat.
Rian membaca tulisan nisan yang ada di sebelah kana Riska. "Orang tua lo belum lama meninggalnya?" ucap Rian yang membuat Riska kebingungan.
"Hah??" Riska mengikuti pandangan Rian dan ikut melihat apa yang Rian lihat. Riska bernapas lega, ternyata yang Rian maksud adalah makam milik orang lain yang letaknya bersebelahan dengan makam Bram.
"Sebenarnya ini bukan makam bokap gue, tapi ini makan Paman gue," jelas Riska yang ditanggapi dengan menganggukkan kepala dari Rian.
"Rian, sorry gue gak bisa lama-lama, soalnya ada urusan yang harus gue kerjain," bohong Riska, karena ia tidak ingin Rian bertanya-tanya lebih jauh lagi.
Setelah itu Riska melangkah pergi. Masuk kedalam mobil berwarna putih miliknya yang terparkir dipinggir jalan. Meski berat untuk meninggalkan tempat ini, Riska tetap harus pulang.
Dengan kecepatan sedang, mobil Riska melaju meninggalkan pemakaman. Sebenarnya Riska ingin mencari tau untuk apa Rian ke pemakaman tapi suasana hatinya sedang tidak bagus jadi Riska memilih untuk pergi. Lagi pula jika dirinya masih disini yang ada ia akan semakin merindukan sang Ayah.
* * * *
Rian hanya diam dan memperhatikan Riska bahkan sampai mobil Riska tidak terlihat lagi. Sebenarnya Rian merasa kalau Riska itu sedikit aneh tapi ia tidak ingin berpikiran yang negatif jadi Rian hanya mengangkat bahunya dengan acuh.
Rian kembali melanjutkan tujuannya, yaa disini Rian bermaksud untuk mencari makam milik Bram. Karena kata Bobby, Bram sudah meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman ini.
Untuk memastikan bahwa informasi yang Bobby berikan benar, maka dari itu Rian mengutus dirinya sendiri untuk membuktikan bahwa ini memang benar.
Rian kembali membaca nama yang tertera di nisan milik pamannya Riska, untuk memastikan bahwa dirinya tidak keliru dalam membaca.
Namun Rian terkejut saat membaca nama di nisan yang letaknya tepat disebelah makam milik Pamannya Riska.
Dengan terburu-buru Rian membuka handphone nya dan langsung menghubungi Bobby. Rian juga langsung memberikan pertanyaan beruntun kepada Bobby. Hingga Bobby yang ingin menanyakan 'ada apa' jadi tertahan.
"Tanggal, bulan dan tahun berapa Om Bram meninggal?" tanya langsung Rian.
"Sebentar." Bobby membuka buku catatannya, karena ia menulis semua hal penting yang ia dapat ke buku catatannya itu.
"Tanggal 19 Oktober, tahun 2001," jawab Bobby sambil membaca buku catatannya.
"Lahirnya tanggal berapa?" tanya Rian.
"Kalo lahirnya... dibulan September tanggal 7 tahun 1950," jawab Bobby.
"Gimana, lo udah cek tempat pemakaman yang tadi gue kasih tau?" Bobby menutup buku catatannya dan pergi kearah balkon.
"Ternyata Om Bram emang udah meninggal, tapi siapa yang mau berbuat jahat sama Daisy kalo bukan Om Bram?" frustasi Rian akibat ia belum mengetahui siapa yang mencelakai bahkan meneror Daisy.
"Lo nanya sama gue terus gue nanya sama siapa? sama rumput??" kesal Bobby.
Rian kembali menatap makam milik Bram, namun seketika Rian menyipitkan kedua matanya saat menemukan sesuatu yang janggal.
Tanpa berlama-lama, Rian langsung mengambil buket bunga lily yang berada diatas makam Bram, tak lupa Rian juga memutuskan sambungan telepon nya dengan Bobby.
Rian memasukkan handphonenya kedalam kantong celana. "Buket bunganya keliatan masih baru banget." Rian memperhatikan buket bunga lily yang ia ambil dari makam Bram.
Namun tak lama kemudian Rian juga memperhatikan makam yang Riska bilang itu adalah makam milik pamannya.
Rian menaruh kembali buket bunganya diatas makam milik Bram dan melihat makam pamannya Riska dan Bram secara bergantian. "Ini aneh, harusnya kan yang ada bunganya itu makam punya pamannya Riska, karena Riska kan baru aja kesini tapi kenapa makam om Bram yang ada bunganya?"
"Apa jangan-jangan Riska tau kalo gue mau cari makam om Bram, terus dia ngeliat gue ada disini dan langsung balik badan ke makam orang lain dan diakuin sebagai pamannya?" pikir Rian yang memang seratus persen benar.
"Oke! untuk membuktikan bahwa perkiraan gue ini bener atau salah, berati Riska harus masuk kedalam daftar tersangka," ucap Rian yang setelah itu melangkah pergi ke mobilnya yang terparkir dipinggir jalan dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.