Seperti siapapun yang menenangkanku,
berkata ini akan berlalu
Tidak mudah melupakan sedikit saja tentang kenangan
Bahkan setelah beberapa waktu
***
Hana membuka pintu apartemen dan melihat Yoon yang fokus pada berkas-berkas di mejanya. Ia melepas jaket dan menggantungnya di samping lemari pakaian, lalu duduk di kursi samping sahabatnya itu. Pandangan Hana tertuju pada kertas-kertas berisikan data perusahaan yang terlihat rumit.
Wajah Yoon terlihat lelah dengan area mata yang menghitam dan rambut berantakan. Makan malamnya belum tersentuh, begitu juga kopi panas yang telah mendingin.
"Yoon, apa kau baik-baik saja?"
Yoon mengangguk singkat, lalu merenggangkan tubuh. Ia melirik makan malam yang dimasaknya satu jam lalu, terasa dingin dan tidak menggoda sama sekali. Dengan gusar, Yoon merapikan kembali rambut. "Si tua sialan itu tidak pernah berhenti memberiku tugas."
"Ah, aku punya kejutan untukmu. Siapa tahu melihat ini kau langsung bersemangat."
Yoon melihat Hana malas. Sahabatnya itu mengeluarkan ponsel lalu menunjukannya pada Yoon. Sontak, Yoon langsung berdiri melihat member E-X berfoto bersama Hana.
"Bagaimana bisa?!" tanya Yoon histeris. Ia langsung merebut ponsel Hana dan memandang lekat-lekat. Mata Yoon yang tadinya suram terlihat berbinar dengan mulut ternganga. "Ya ampun, ini bukan editan, kan?"
"Tentu saja!" Hana tersenyum jahil menanggapi pertanyaan sahabatnya itu. "Mulai besok aku akan menjadi stylist mereka selama dua bulan."
"Apa? Gila. Mereka benar-benar tampan sampai tidak terasa nyata!" Yoon melompat-lompat kegirangan seperti orang gila. "Hana! Apa sebaiknya aku keluar dari perusahaan gila dan bekerja bersamamu? Posisi apa pun, yang penting aku bisa dekat dengan E-X!"
Hana tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. Ia tahu sejak awal Yoon yang lebih tua darinya dua tahun itu memang tidak tertarik pada dunia bisnis, tapi kedua orangtuanya menyuruh Yoon untuk bekerja di perusahaan sahabat ayahnya sebagai sekretaris. Berbeda dengan Hana yang bebas memilih karir. Ibunya selalu mendukung keinginan Hana. Bahkan ibunya rela menjual beberapa hartanya untuk mengantarkan Hana ke negeri ginseng.
"Mana mungkin. Ini pun aku beruntung karena kepercayaan Nona Jung padaku."
Yoon menghela napas. "Hana, kenapa kau selalu beruntung?"
"Tidak juga, aku rasa kau yang lebih beruntung."
"Aku? Ayolah, aku punya keluarga yang terus mengekangku, apanya yang beruntung?"
"Setidaknya kau masih bisa melihat ayahmu."
Sedetik setelah Hana mengatakannya, Yoon langsung memeluk Hana. Hana benar, meski orangtuanya terus mengekangnya, ia masih bisa bertemu ayahnya, menyaksikan keharmonisan antara ayah dan ibunya. Bertolak belakang dengan Hana.
"Lain kali ajak aku untuk bertemu mereka," pinta Yoon sembari melepas pelukannya. Hana tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. "OK!"
"Ah, terasa seperti mimipi. Empat tahun yang lalu aku hanya bisa melihat mereka di layar kaca, menulis komentar di akun medsos mereka, meneriakkan nama mereka di dalam kamar, membayangkan aku bertemu dengan mereka dan sekarang mereka ada di depan mataku, tersenyum, bahkan bicara padaku. Itu benar-benar keberuntungan."
Yoon tersenyum. "Ya, aku harap itu juga terjadi padaku."
"Pasti. Aku pasti akan membuatmu bertemu dengan mereka."
***
"Hei, aku tidak menyangka kau yang buruk rupa ini bisa berdiri dekat dengan polarismu. Kau dulu hanyalah seorang pemimpi. Kau tidak ada apa-apanya. Kau dulu pengecut, bodoh dan tidak mampu menghadapi kenyataan. Kau yang dulu tidak punya harapan. Kau yang dulu tidak punya masa depan, tapi lihatlah dirimu yang sekarang. Kau dekat dengan polarismu. Apa kau akan menyia-nyiakan kesempatanmu ini?"
Hana berdiri di depan cermin besar di studionya, berbicara pada dirinya sendiri. Ia memandang pantulan dirinya di dalam cermin, seakan melihat masa lalu.
"Kau memang tidak cantik, kau tidak secantik mereka yang diidolakan polarismu. Tapi, cobalah menjadi dirimu sendiri. Tidak peduli seletih apa pun dirimu, tidak peduli sesakit apa pun tubuhmu, berikanlah yang terbaik karena ada jutaan wanita yang ingin berada di posisimu saat ini."
Tak lama Nona Jung memasuki ruangannya bersama Manajer Kim. "Kau harus segera berangkat karena mereka menunggumu untuk acara malam ini. Kau sudah siapkan pakaian yang akan kau bawa untuk mereka?"
Hana mengangguk. "Terima kasih telah memberiku kesempatan."
"Kau pantas untuk posisi itu, Asisten Kim."
Hana berjalan menuju mobil van yang terparkir di halaman. Tampak Nona Jung mengantarkannya ke pintu, melambaikan tangannya ketika Hana memasuki mobil van yang cukup besar, khusus para staff.
Mobil van itu melaju, meninggalkan toko yang mengantarnya untuk mengejar mimpi. Setidaknya selama dua bulan itu ia ingin memberi yang terbaik pada sosok yang menyelamatkannya. Berjuang bersama mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, dan mengikuti ke mana pun mereka pergi.
Dua puluh menit kemudian, mereka telah sampai di tempat idolanya berada. Ia memandang sebuah gedung bertingkat yang terlihat mewah dan dipandang semua orang seraya melangkah mengikuti langkah Manajer Kim masuk dan bertemu dengan Direktur Moon, juga idolanya.
Benar seperti perkataan banyak orang, gedung ini sangat luar biasa. Dinding kaca yang berkilau, furniture-nya yang terlihat sangat mahal. Terlihat sangat berkelas. Mereka menaiki lift menuju lantai tempat Direktur Moon berada. Manajer Kim mengetuk pintu dan terdengar suara lelaki yang menyuruh mereka untuk masuk.
Manajer Kim membuka pintunya dan seluruh member E-X, kecuali Jay, berkumpul di sana. Saat ia memasuki ruangan itu, semua orang disana langsung melihatnya. Loey tersenyum ketika mendapati dirinya yang terlihat gugup. Loey bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Hana.
"Senang bertemu denganmu lagi ...."
Hana tersenyum. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan berjuang bersama mereka, memberikan yang terbaik, jika bisa, ia ingin menjadi sandaran untuk mereka ketika lelah, sedih atau putus asa.
Hana membungkukkan tubuh. "Mohon bantuannya!"
***
23.25, Seoul, Korea Selatan.
Hari ini keajaiban terjadi lagi padaku ….
Aku merasa semakin dekat dengan mereka ....
Dulu aku hanya melihat mereka dari layar kaca, membayangkan kalau aku ada di sana, menyemangati mereka, merawat mereka, menjaga mereka.
Dulu aku hanya bisa meneriakkan nama mereka dari dalam kamarku, tapi kini aku bisa memanggil nama mereka.
Dulu aku hanya bisa bermimpi untuk dekat dengan mereka dan kini mereka ada di depan mataku.
Entah aku harus berterima kasih atau tidak, karena kepergian ayah membuatku bertemu dengan mereka, mereka yang membuatku bahagia ketika dirinya tidak ada di sampingku. Mereka telah memberiku semangat untuk menuju masa depan, memberikanku harapan, menunjukkanku bahwa kesuksesan itu tidak datang dengan cepat.
Kali ini aku berjanji, aku akan melakukan yang terbaik, aku akan melindungi mereka, aku akan mengikuti kemanapun mereka pergi. E-X dan Eris adalah satu, sekarang, besok dan selamanya.
-Kim Hana-