Chereads / You and My Destiny / Chapter 8 - Sadboy

Chapter 8 - Sadboy

Seperti biasanya, Marvel menjemput Arin pulang. Ia sudah menunggu di depan gerbang SMU HARAPAN BANGSA itu. Raka melihat Marvel sedang menunggu Arin, namun ia tampak tidak memperdulikan nya dan langsung mengambil motornya di parkiran, lalu beranjak pulang.

Saat akan keluar dari gerbang sekolah, Marvel menghadang Raka. Dan terjadilah per cek-cok an di antara mereka berdua.

"Mau lo apaan sih? Minggir. Gue lagi nggak mau ribut sama lo," Ucap Raka dengan sedikit emosi melihat Marvel yang tersenyum licik.

"Kenapa? Lo udah nggak ada nyali buat nglawan gue?" Sahut Marvel dengan nada remeh yang membuat Raka semakin jengkel dengannya.

"Nggak ada nyali? Dari dulu bukannya lo yang nggak ada nyali? Setiap gue ngajak by one sama lo, lo yang nggak mau. Itu artinya, lo yang nggak punya nyali!" Tegas Raka pada musuhnya itu.

"Siapa bilang? Gue cuma nggak mau aja kalau lo sampai malu sama kekalahan lo sendiri, Raka Ardian!" Marvel semakin memancing emosi Raka.

"Terserah lo, deh. Emang dasar nggak punya malu ya lo jadi orang," ucap Raka sambil memutar kedua bola matanya malas.

"Gue tau lo selalu iri sama gue. Tapi, nggak gini cara lo buat jatuhin gue, Vel. Prihatin gue sama lo," Sambung Raka sambil tersenyum miring.

Sebisa mungkin, ia harus menghadapi Marvel dengan ketenangan diri.

"Maksud lo apaan ngomong kaya gitu?" Marvel langsung menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf. Siswa berseragam itu menatap Raka dengan tatapan mata yang tajam.

"Lo pikir sendiri kalo emang lo punya otak. Nggak ada yang lebih buruk dari seseorang yang menikam dari belakang. Dasar pengecut!" Pungkas Raka dan langsung pergi tak menghiraukan Marvel yang emosi mendengar perkataannya itu.

"Lo lihat aja nanti akhirnya. Gue nggak akan nge-biarin lo terus menerus injak injak gue, Ka. Gue akan balas semua perbuatan dan perkataan yang udah nge-rendahin gue. Lo harus tau itu!" Ucap Marvel dengan di puncak amarahnya.

***

Olimpiade matematika pun langsung. Ini adalah pertandingan pertama yang Raka lalui tanpa dukungan dari Arin. Tapi ia bertekad untuk memenangkan olimpiade matematika itu untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi pemenang tanpa dukungan dari Arin.

"Semangat aja udah, gausah kayak orang susah lo. Lo kan jagoannya kelas kita pasti Lo berhasil kok. Tinggal ngitung ngitung doang gitu aja elah," Desis Dimas pada Raka yang sedang bersiap-siap untuk memasuki gedung olimpiade.

"Kalo lo bisa, kenapa nggak lo yang ikut olimpiade?" Sarkas Raka sambil menatap sinis temannya itu.

"Emm, gue kan ngasih lo kesempatan biar makin populer gitu," sahut Dimas dengan santai nya.

"Ngeles aja lo, Bambang!" Ketus Rizki.

"Bambang bapak gue ya. Gak usah di bawa bawa. Dia lagi sibuk cari nafkah, jangan di ghibah in. Nggak baik," cerocos Dimas sambil memukul lengan Rizki karena kesal.

"Woi, biasa aja kali. Sensi amat lo kayak perawan lagi pms," Ucap Rizki yang tak kalah kesal dengan temannya itu.

"Udah udah udah, malah ribut kalian berdua. Gue tegang nih," potong Raka menengahi pertengkaran aneh itu.

Saat ini, ia sedang kebingungan tidak tau harus bagaimana. Takut dan gugup menjadi satu. Di sisi lain ia siap untuk berlomba, tapi di sisi lain juga ada yang membebani pikiran nya.

Ini adalah kali pertamanya ia berlomba tanpa dukungan Arin yang selalu ada di sisinya setiap saat.

"Udah santai aja. Tuhan bersama jiwa jiwa yang santuy," ucap Dimas berusaha membuat suasana agar tidak terlalu tegang.

"Santuy pala mu!" Ketus Raka.

Siswa tampan itu mengelus dadanya sejenak dan menetralkan detak jantungnya yang tak karuan. Ia mengambil nafas dalam dalam dan menghembuskan nafas nya perlahan.

Setelah di rasa dirinya cukup tenang. Ia tersenyum lebar dan yakin kalau hari ini Tuhan berpihak kepadanya.

"Dah ya, gue masuk duluan. Do'a in gue," pamitnya pada kedua teman yang ikut mendampingi nya itu.

Kedua temannya itu hanya mengangguk dan juga tersenyum lebar. Jempol keduanya mengacung tinggi untuk memberikan semangat.

Raka pun segera masuk ke gedung olimpiade dan berkumpul dengan peserta lain untuk persiapan sebelum acara dimulai.

Acara pun berlangsung, dengan serius Raka berusaha sangat keras untuk menjadi juara olimpiade matematika itu. Namun, ternyata keberuntungan tidak berpihak pada nya kali ini. Ia terlupa salah satu rumus penting yang harusnya sudah ia hafalkan. Alhasil dia kalah 1 poin dari lawannya dan ia hanya berhasil menjadi juara 2.

Raka tampak sangat kecewa dengan pencapaian nya. Padahal itu sudah yang terbaik, dan pihak sekolah pun tidak menuntut Raka menjadi juara 1 olimpiade matematika itu. Dia kembali ke sekolah di temani Dimas dan Rizki yang ikut mengantarkan nya olimpiade tadi.

"Udah, nggak apa-apa. Juara 2 itu udah bagus banget kali, Ka. Nggak usah ngerasa down gitu," tutur Rizki mencoba membuat Raka tidak kecewa dengan pencapaian nya itu.

"Iya, masih mending dapet juara. Ya nggak?" Tanya Dimas pada yang lain.

Yang kebetulan di situ ada Vania dan teman temannya yang lain juga.

"Iya, Ka. Lain kali coba lagi pasti juara 1 kok. Ya, walaupun kita nggak tau nanti kalo udah kelas 3 bisa jadi perwakilan atau enggak," Ucap Dara mengiyakan pertanyaan Dimas.

"Thanks ya buat kalian yang nyemangatin gue. Jadi seneng gue punya temen kayak kalian," ucap Raka seraya menyunggingkan senyuman tipis .

Sepertinya ia sudah sedikit lega, hingga ia sudah bisa tersenyum kembali.

"Biasa aja kali. Selain nyemangatin lo karena gak jadi juara 1, Gue juga bakalan nyemangatin lo buat move on dari mantan lo kok," Celetuk Vivi si cewek jujur, membuat yang lain terdiam dan menatap tajam kearah Vivi.

Yang di tatap tajam itu merengut lucu. Ia tak paham dengan situasi saat ini. Benar benar gadis yang sangat polos.

"Kenapa sih kalian? Kok ngelihatin gue gitu banget? Ada yang salah? Kan gue jujur, gue pengen Raka itu ngelupain Arin. Biar nggak jadi Sadboy terus," oceh cewek itu sambil memandang Raka tulus.

"Syukur syukur mau jadian sama gue," sambungnya sambil cengengesan menampilkan deretan gigi rapinya.

Perkataan Vivi ini membuat Dara malu sekali dengan tingkah temannya itu. Dara tau kalau Vivi itu anak yang jujur dan polos. Tapi, apa harus di depan banyak orang dia mengungkapkan perasaan nya?

Ini tidak masuk akal bagi seorang Dara yang anti dengan namanya pernyataan cinta.

"Ya ampun Vivi. Lo tuh ya nggak ada harga dirinya banget sih jadi cewek. Astaga," celetuk Dara sambil menepuk keningnya sendiri. Ia sudah kehilangan akal sehatnya.

"Emang kenapa? Kan Raka itu keren, ganteng, pinter, baik. Siapa yang nggak mau jadi pacar nya dia coba?" Tanya Vivi pada Dara dengan polosnya.

"Yakin dia baik? Nggak ada baik. Yang ada egois," Sahut Arin yang tiba tiba lewat di depan mereka semua tanpa berhenti berjalan. Dan itu membuat Dimas tersulut emosi.

"Woi!!! Cewek gak tau diri. Sini lo, gue hajar juga lo kalo jadi cowok. Mulut apa sambel nya Mpok Ipeh sih? Pedes banget," Teriak Dimas pada Arin, namun sama sekali tak ada respon dari gadis cantik itu.

***

Semua murid kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran terakhir. Vania masih melihat Raka, tampaknya Raka masih bersedih. Entah soal olimpiade itu atau soal perkataan Arin padanya tadi.

Ingin sekali rasanya Vania memberikan semangat pada Raka. Tetapi, apa tidak berlebihan. Mereka hanya teman yang baru kenal beberapa hari. Itu pun secara tak sengaja.

Berbeda dengan Arin yang notabe-nya adalah mantan pacar Raka yang terbilang cukup lama. Tentu saja itu membuat Vania berpikir dua kali lipat jika ia ingin mencoba membuat Raka melupakan Arin.

Tetapi melihat Raka yang termenung, Vania sangat tidak tega. Setelah mengumpulkan keberaniannya. Ia memberanikan diri untuk mengajak Raka berinteraksi agar tidak terus menerus termenung.

"Raka, jangan ngelamun," ucap Vania yang berhasil membuyarkan lamunan Raka.

"Eh? Iya," sahut Raka.

"Perhatikan pelajarannya. Nanti kena marah loh," Vania menepuk lengan Raka dan tersenyum tulus.

Raka pun ikut tersenyum tipis. Kemudian menghela nafas berat. "Iya, Van. Sorry..." Sahutnya.

"Udah jangan pikirin apa apa dulu. Baru juga selesai olimpiade, masa udah mikir lagi. Senyum dong," ucap Vania berusaha untuk membujuk Raka agar tidak bersedih lagi.

"Iya. Senyum nih senyum..." Raka mencoba tersenyum dengan lebar walaupun terpaksa.

"Bisa nggak sih, Ka kalau kamu nggak jadi Sadboy gini? Aku pengen tau banget kamu itu sebenarnya sifat nya seperti apa. Apa sebegitu besarnya ya rasa sayang kamu ke mantan kamu itu, sampai sampai kamu jadi kayak gini?" Monolog Vania dalam hati, dengan harapan Raka bisa benar benar melupakan mantannya.

***