~•~•~
Suasana sebuah kafe itu bisa dikatakan sedang tak senyap. Bukan karena banyaknya pengunjung yang datang. Tapi karena suara dari air hujan yang jatuh ke permukaan tanah di sekelilingnya. Ia seakan menjadi musik pengiring untuk wanita yang tengah memakai hijab pashmina berwarna hijau toska itu selama ia menatap benda yang ada di tangannya. Selama itu juga, kepalanya terus menunduk memandangi benda itu. Sebuah undangan pernikahan dengan dominasi warna abu-abu dan putih yang membuatnya terus melakukan itu tanpa henti selama sekitar tiga menit. Air mukanya yang menunjukkan kesedihan tak dapat dilihat oleh dua orang yang berada di samping kanan dan di depannya. Keduanya masih setia mendampingi Ayla yang tak kunjung berhenti dengan diamnya.
Air matanya menetes di atas benda yang terbungkus plastik transparan itu, sehingga air matanya itu mengalir dan malah membasahi celananya yang menjadi tumpangan tangannya selama ia memegang benda berbentuk landscape itu.
Matanya melihat dua insial dua nama orang yang tertera di sana; "T&A". Setelahnya, ia mengarahkan pandangannya ke sebuah kertas label berwarna putih berbentuk landscape yang tertempel di pojok kanan bawah dari undangan itu. Di sana tertulis; "Ayla di tempat".
Dengan dua sisi hati yang terus bergaduh untuk menguasai otaknya, Ayla masih mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya. Satu sisi hatinya tak ingin membaca bagian dalam dari undangan itu. Ia tahu, ia akan menemukan sesuatu yang akan membuat hatinya tambah sakit. Tapi sisi lain dari hatinya terus mendorongnya untuk membuka dan membaca bagian dalam undangan itu. Ayla dilema.
Setelah dirinya termenung satu menit lagi, ia memutuskan untuk membuka saja plastik transparan yang membungkus benda itu. Dengan perlahan, tapi pasti, tangannya terus melakukan itu. Meskipun Ayla tahu, membukanya sama saja dengan menikam jantungnya dengan senjata paling tajam di dunia.
"Menikah:
Tyas Anggraini Hidayat, S. S
Putri bungsu Bapak Dr. Bambang Hidayat, M. Hum dan Ibu Rina Fatmawati, S. Pd
Dengan
Arfian Widhura Kim Narendra, S. S
Putra pertama Bapak dr. Arya Pratama Narendra (Alm.) dan Ibu Ahra Kim, S. Hum (Almh.)
Air mata wanita yang sudah berhijab sejak kelas dua belas semester dua itu semakin banyak menetes, layaknya hujan yang tengah turun saat ini. Mereka seakan tengah berlomba untuk terjun ke arah benda yang masih dipegang Ayla dan membuat celananya lebih basah lagi. Itu terus berulang selama hati Ayla belum merasa lebih baik.
"Ay, nggak usah diumpetin. Nggak baik lo nangis tanpa suara kayak gini." suruh Lisa yang duduk di samping kanan Ayla. Ia adalah salah satu sahabat Ayla.
Meskipun Lisa tak bisa melihat bagaimana raut wajah Ayla saat ini, tapi ia tahu betul betapa sakitnya sahabatnya itu saat ini, bahkan sebelum ia datang ke tempat ini dan menyerahkan benda itu pada Ayla. Ia tahu persis bagaimana hati Ayla akan merasakan sakit yang luar biasa.
Ayla menghapus air yang tersisa di bawah matanya, lalu mengangkat kepalanya, menghadapkannya pada Lisa. "Gue nggak papa, kok." senyum palsu terlihat di wajahnya.
"Cewek kalo ngomong 'nggak papa' itu pasti kenapa-napa, kan?" ujar Bayu yang duduk di depannya. Ayla dan Lisa menoleh karenanya.
"Ay, jujur, gue ngerasa bersalah banget sama lo karena ini. Gue nggak tau harus ngapain liat sedihnya lo ini, meskipun lo berusaha ngumpetin itu dari gue sama Lisa." ujarnya lagi. "Tapi, Ay, nggak mungkin gue nggak ngasih undangan itu ke lo. Amanah orang nggak mungkin nggak gue lakuin. Apalagi Arfi sahabat gue sendiri."
Ayla tersenyum lagi. "Nggak usah ngerasa bersalah, Bay. Gue kan udah bilang, gue nggak papa. Mungkin tadi cuma ungkapan rasa terharu gue aja karena nggak nyangka mereka bakal bener-bener jadi."
"Cuma 'mungkin', kan? Tapi hati lo sebenernya nggak terharu sama sekali." ucap Lisa, dengan sedikit rasa kesal terhadap Ayla.
Ayla menundukkan pandangannya setelah Lisa mengucapkan itu. Sedetik setelahnya, ia mencoba untuk berpura-pura ceria. "By the way, kenapa Arfi nggak langsung ngasih undangannya ke gue? Padahal gue pengen ngucapin selamet ke dia."
Bayu dan Lisa saling menoleh.
"Fian lagi launching novel barunya." jawab Lisa tanpa ekspresi. Sebenarnya Lisa benar-benar kesal dengan kepura-puraan yang sedang dilakoni sahabatnya itu.
"Iya? Novel tentang apa? Apa judulnya?" tanya Ayla dengan pura-pura excited.
"Novel ini." Bayu mendorong sebuah buku di atas meja ke arah Ayla, setelah sebelumnya ia mengambil benda itu dari dalam ransel hitamnya.
Ayla melirik ke arah novel itu dan mengangkatnya dari atas meja. Novel dengan cover-nya yang berwarna ungu lavender dan judul yang berwarna biru dongker.
"Our Love History" adalah judulnya.
"Tentang lo sama Arfi." kata Bayu lagi.
Mendengar itu, mata Ayla membulat setelah sebelumnya terus memandangi benda tebal itu. Lalu, ia menelan ludahnya. "Tentang gue?"
"Iya. Dia bilang dia pernah janji sama lo bakal buat novel tentang lo, kan? Sekarang dia udah nepatin janjinya."
Memang benar, saat SMA Arfi pernah berjanji pada Ayla jika dia akan membuat novel tentang mereka berdua.
"Gue kira Arfi cuma bercanda pas ngomong itu."
"Ay, kembaran gue itu nggak pernah bercanda kalo udah ngucap kata 'janji'." tegas Lisa.
Ayla hanya menatap Lisa, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah novel itu.
"Itu nggak usah lo balikin, Ay."
Ayla menatap Bayu. "Maksud lo ini buat gue?" ia menunjukkan novel yang tengah ia pegang. Sedangkan undangan tadi, ia taruh di pangkuannya.
Bayu mengangguk mengiyakan. "Arfi pengen lo orang pertama yang dapet itu, karena itu juga tentang lo."
Ayla menatap novel itu lagi dengan sendu. Ia bukannya tak senang mendapat benda itu-benda yang sangat berarti untuknya. Tapi, apakah harus menyerahkan novel itu padanya ketika ia juga mendapat undangan pernikahan dari orang yang sama?
Hati Ayla sebenarnya marah, juga sakit. Tapi, ia juga tak mungkin meluapkan amarahnya pada orang lain, termasuk pada Arfi sendiri. Sebab, sakit yang terulang ini adalah karena kebodohannya sendiri yang ia lakukan empat tahun lalu.
~•~•~
BERSAMBUNG...