"Disingkirkan seseorang dalam hidupnya itu memang terdengar menyedihkan. Mencoba untuk ikhlas pun, itu akan sangat munafik. Tapi, mencoba untuk menjadi seperti kertas yang selalu ada untuk pena meski harus rela dikotori bahkan dilukai, mungkin itu lebih baik." ~Arfian Widhura Kim Narendra
~•~•~
Empat tahun lalu
Hari itu, di sebuah koridor kampus yang sedang cukup ramai oleh para mahasiswa yang berlalu lalang, Ayla, wanita bermata sipit dengan hijab segiempat berwarna biru tua itu terus berdiri di tepinya sambil beberapa kali melirik ke arah jam tangan berwarna ungu yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Setelah lima menit berlalu pun, Ayla masih sabar. Hingga kesabarannya itu membuahkan hasil. Orang yang sedari tadi ia tunggu pun datang.
"Arfi!" teriaknya sambil melambaikan tangannya dengan tinggi.
Orang yang dipanggil Ayla pun menghampirinya dengan berlari kecil.
"Ay, ada apa? Tumben lo nyuruh gue ke kampus lo." tanyanya dengan senyuman ketika sampai di hadapan Ayla.
"Ikut gue, yuk!"
"Kemana?"
"Udah ikut aja." Ayla pun berjalan mendahului pria itu. Namun setelah beberapa langkah, Ayla menyadari bahwa temannya itu tak mengikuti langkahnya. Ia menoleh ke belakang, dan benar saja, pria itu masih berdiri di tempatnya tadi.
Ayla menghampiri Arfi lagi yang masih termenung di tempatnya. "Fi, ayo! Kok malah diem aja?"
Arfi tersadar dari lamunannya karena ucapan Ayla.
"Please, jangan buat gue megang dan narik tangan lo."
"Eh, iya, Ay. Maaf. Yuk!" ia pun mempersilahkan wanita di hadapannya itu untuk berjalan duluan. Setelahnya, ia berjalan dengan membuntuti wanita itu.
Jarak di antara mereka cukup terlihat. Sekitar satu meter Arfi memberi jarak antara dirinya dengan Ayla. Bukan physical distancing. Tapi, karena Arfi menghormati prinsip hidup yang dipegang wanita yang tengah berjalan di depannya itu, untuk sebisa mungkin tidak berdekatan apalagi bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Ayla menoleh sebentar ke belakangnya. "Maaf, Fi. Gue harap, Lo nggak kecewa sama apa yang bakal gue lakuin ke lo. Lebih tepatnya ke hati lo."
~•~•~
Kedua orang itu tiba di depan sebuah kafe yang tak jauh dari kampus Ayla. Mereka langsung menghampiri salah satu meja dengan payung besar di tengahnya. Di sana terlihat seorang wanita dengan rambut panjangnya yang dikuncir kuda, memakai T-Shirt berwarna cokelat muda dan celana jeans panjang. Juga ada sebuah jas almamater sebuah kampus di atas meja itu, tentu saja itu milik wanita yang duduk di sana.
"Permisi. Tyas, ya?" tanya Ayla.
Wanita itu tak merespon. Ia terus saja sibuk dengan aktivitasnya—mengaduk jus mangga di dalam sebuah gelas dengan sedotan. Tangan kirinya yang menjadi tumpuan dagunya dan matanya yang terus tertuju pada minuman itu, menjadi bukti bahwa dirinya tengah melamun.
"Nggak respon?" Arfi bertanya pada Ayla, dan jawaban Ayla hanya dengan anggukan kepala. "Oke. Coba gue yang coba, ya. Permisi, Mbak?" Arfi memegang bahu wanita itu, membuat mata wanita itu membulat karena kaget.
"Astaghfirullah. Maaf, Mbak. Saya nggak maksud gitu."
Tapi wanita itu tak mengucapkan apa-apa. Setelah menatap Arfi dengan penuh rasa kaget, ia mengalihkan pandangannya ke arah Ayla.
"Tyas kan? Anaknya Pak Bambang?" ucap Ayla langsung setelah wanita itu menatapnya.
"Iya." ia mengangguk. "Ayla?"
Ayla tersenyum. "Iya. Gue Ayla." tangan kanannya menjulur ke depan Tyas, menandakan mengajak berjabat tangan, tanda perkenalan.
"Astaghfirullah." Tyas memegang kepalanya dengan tangan kanannya seraya memejamkan matanya. "Maaf ya, Ay." ucapnya sambil menjabat tangan Ayla.
"Nggak papa, kok."
Arfi pun menyodorkan tangan kanannya. "Arfi."
Tyas menjabat tangan Arfi. "Tyas." ucapnya sambil tersenyum.
"Eh, ayo duduk!"
Ayla duduk di kursi yang ada di sebelah kanan Tyas. Tapi, Arfi masih bertahan dengan posisinya.
"Gue nggak disuruh duduk, nih?"
Ayla menepuk dahinya setelah Arfi mengatakan itu.
"Eh, iya, maaf. Ayo duduk juga!" ucap Tyas, merasa tidak enak.
Arfi hanya tersenyum-senyum sendiri, merasa sukses mengerjai wanita yang baru ia kenal itu.
"Fi, jangan gitu, deh!" bisik Ayla setelah Arfi duduk di sebelahnya.
"Iya, iya, maaf. Gue kan cuma bercanda."
"Dia pacar kamu, Ay?" lirik Tyas pada Arfi.
"Eh, bukan. Dia temen SMA aku."
Tyas manggut-manggut, tanda mengerti. "Bukannya aku nggak mau lama-lama ngobrol sama kamu dan temen kamu, tapi aku buru-buru mau ngerjain tugas." kata Tyas memberi alasannya sebelum ia menanyakan pertanyaannya, bermaksud agar Ayla tak tersinggung. "Jadi, apa sih tujuan Ayah nyuruh kita ketemu?"
Ayla agak kaget setelah mendengar pertanyaan Tyas. Sebenarnya bukan karena pertanyaannya. Tapi, rasanya ini terlalu cepat. Tadinya Ayla ingin mengajak Tyas makan siang bersama dulu. Tapi jika pertanyaannya sudah keluar dari mulut orangnya, apalagi ia bilang harus buru-buru, apa boleh buat?
Arfi pun setelah mendengar pertanyaan Tyas bingung. Bingung apa maksud dari pertanyaan wanita itu dan mengapa Ayla tumben-tumbennya menyuruh dirinya untuk datang ke kampusnya. Padahal biasanya, Arfi selalu inisiatif sendiri datang ke kampus Ayla tanpa ada yang menyuruhnya. Tentu saja untuk menemui wanita berhijab itu. Ini aneh.
"Mmm... jujur, Ti, aku bingung mau mulainya gimana."
Kedua orang itu memperhatikan Ayla dengan seksama.
"Aku harap kalian nggak tersinggung. Aku mau ngejodohin kalian berdua."
"APA?!" sontak kedua orang itu mengucapkan kata yang sama di waktu yang sama pula. Bahkan karena kaget dengan pernyataan Ayla tadi, Arfi sampai batuk-batuk karena tersedak minuman yang ia beli sebelum datang ke kampus Ayla. Arfi sedang meminumnya ketika Ayla menjelaskan pernyataannya.
"Fi, lo nggak papa?" tanya Ayla dengan wajah yang terlihat khawatir.
"Lo masih mikir gue nggak papa setelah pernyataan lo tadi?"
Ayla menundukkan pandangannya, menunjukkan bahwa ia merasa bersalah. "Tapi gue bukan nanya tentang itu, Fi."
"Dan gue nggak perlu ditanya cuma karena keselek minuman, Ay." ungkap Arfi dengan rasa kecewa.
Arfi akan membersihkan sisa minuman yang berceceran di sekitar bibirnya dengan lengan bajunya. Namun sebelum lengan bajunya bersentuhan dengan bibirnya, Ayla menahannya.
"Fi, jangan!" Ayla merogoh tas gendongnya. "Nih, tisu." ia menyodorkan benda itu di depan Arfi.
"Nggak perlu. Tisu nggak bakal bisa ngebalut hati gue yang udah terluka karena apa yang lo lakuin ke gue sekarang, Ay." ia buru-buru membersihkan sekitar bibirnya. Jujur saja, Arfi benar-benar ingin meluapkan amarahnya. Tapi, ia masih mencoba untuk menahan emosinya agar tidak keluar dan nantinya malah membuat kegaduhan. "Kalo lo ngajak gue ke sini cuma buat ini, maaf, gue nggak bisa, Ay." Arfi menggendong satu tali tas ranselnya, lalu berdiri dari duduknya.
"Fi, nanti dulu, gue mohon." satu tangan Ayla menghadang jalan Arfi.
Arfi hanya menatap wanita itu.
"Please."
Arfi pun kembali duduk di tempatnya. Betapa bodohnya ia, masih saja mau menuruti permintaan wanita itu.
Ayla menghadapkan tubuhnya ke arah Tyas. Terlihat wanita itu masih shock setelah mendengar pernyataan yang diungkapkan Ayla tadi.
"Tyas..." tangan Ayla menyentuh satu tangan Tyas yang berada di atas meja. Ayla merasakan dingin ketika menyentuhnya.
Tyas tersadar. "Jadi Ayah nyuruh ini ke kamu, Ay?"
"Iya."
"Tapi kenapa kamu mau?"
Ayla tak langsung menjawab. "Aku mohon, kalian berdua dengerin alesan aku dulu kenapa aku ngelakuin ini." pinta Ayla kepada dua orang itu.
"Tyas, Arfi, gue tau kalian kecewa karena ini. Tapi ini juga bukan kemauan gue. Pak Bambang yang minta ini, dan gue nggak bisa nolak. Selain karena beliau itu dosen gue, beliau juga selalu jadi temen curhat yang baik buat gue. Bukan cuma gue, mahasiswa lain juga sering curhat sama beliau. Gue nggak mau ngecewain Pak Bambang. Beliau itu salah satu dosen yang paling gue segani."
"Gue tau, Ay, gue tau bokapnya Tyas yang minta ini ke lo. Tapi kenapa harus gue, Ay? Lo tau kan, kalo gu–"
"Karena beliau emang pengennya lo yang jadi pendamping hidup buat putri bungsunya, Fi."
"Hah?" Arfi kaget mendengarnya. "Maksud Lo?"
"Lo inget dua minggu yang lalu pas mau ke kampus gue, pernah nolongin bapak-bapak yang mau ketabrak mobil?"
"Iya, gue inget." Arfi manggut-manggut. "Tunggu, dia bokapnya Tyas?" Arfi langsung mengerti.
"Iya. Setelah kejadian itu, Pak Bambang sering perhatiin lo setiap lo dateng ke kampus gue. Dan beliau bilang kalo lo itu calon menantu yang beliau idamin buat putri bungsunya."
"Ayah cerita itu semua ke kamu, Ay?"
Ayla mengangguk ketika ia menghadap Tyas. "Iya. Ayah kamu selalu tanya tentang Arfi ke aku. Beliau juga bilang kalo dia pengen cepet-cepet liat putri bungsunya menikah, seenggaknya setelah kamu lulus kuliah, Ti."
Ayla menghadapkan wajahnya ke arah Arfi. "Fi, gue mohon. Gue nggak mau ngecewain Pak Bambang. Permintaan beliau itu sangat berarti buat gue. Gue juga nggak mau memperburuk penyakitnya karena penolakan lo. Masalah kalian baru kenal, itu nggak masalah. Kalian bakal saling kenal banget kok kalo udah ngejalanin. Gue yakin, kalian... cocok banget." Ayla menutup penjelasannya dengan kalimat yang membuat hatinya sendiri sakit.
"Tapi, apa lo nggak pernah mikir gimana perasaan gue? Hampir setiap hari gue ke kampus lo, buat apa, Ay? Buat ketemu lo doang! Gue selalu berusaha buat lo cinta lagi sama gue, buat memperbaiki kesalahan gue dulu. Tapi, apa lo pernah ngehargain itu? Nggak! Setiap gue ke kampus lo, lo selalu nyuekin gue, nggak pernah nganggep kehadiran gue ada. Tapi gue nggak pernah nyerah buat itu. Gue percaya lo bakal cinta lagi ke gue kayak dulu." Arfi terengah-engah setelah mengeluarkan emosinya.
"Tapi setelah lo ngelakuin ini, gue ngerasa gue cuma boneka buat lo, yang takdirnya bisa diatur seenak lo. Maaf, Ay, bukan gini caranya kalo lo mau nyingkirin gue dari hidup lo." ia berdiri dari duduknya seraya menggendong kedua tali ranselnya.
"Gue kecewa sama lo, Ay." ia berjalan pergi meninggalkan kedua wanita itu.
Ayla tak menahan Arfi lagi. Ia hanya menatap perginya pria itu dengan perasaan tidak enak yang terus bergejolak dalam hatinya, sekaligus juga hancur. Apa yang ia takutkan tadi, benar-benar terjadi.
~•~•~
"Ay, gue sama Lisa harus pulang."
Kalimat Bayu itu menyadarkan Ayla dari kilas baliknya.
"Hujan udah berenti. Kita cuma mau kasih itu ke lo."
"Bay, lo duluan aja. Gue masih mau di sini nemenin Ayla."
"Nggak usah, Lis. Lo pulang aja. Gue nggak papa, kok."
"Tapi, Ay–"
"Nggak papa, Lis." Ayla tersenyum.
"Oke. Tapi, ada yang mau gue omongin lagi sama lo, sebentar aja." Lisa menoleh ke Bayu. "Tunggu ya, Bay."
"Kalo gitu, gue tunggu di tempat parkir, ya."
"Iya."
Bayu berdiri, lalu menggendong tasnya. "Ay, gue duluan."
Ayla mengangguk sembari menunjukkan senyumnya.
Bayu pergi meninggalkan kedua wanita itu.
"Lo masih cinta kan sama kakak gue?"
Ayla agak terkejut mendengar pertanyaan Lisa. "Ng-nggak mungkin lah, Lis!"
Lisa mengangguk. "Gue tau lo bohong, Ay. Tapi terlepas dari itu, gue salut sama lo. Lo masih bisa senyum walaupun hati lo lagi hancur banget. Lo masih sanggup baca bagian dalem undangan itu walaupun lo udah tau, bukan nama lo yang bersanding sama nama Fian."
Ayla tak sanggup menatap mata Lisa selama Lisa mengatakan itu. Ia terus melihat ke arah meja di depannya.
"Maafin gue dan juga maafin Fian, ya. Kalo lo mau cerita apapun, telepon gue. Gue pulang, Ay."
Ayla mengangguk sembari tersenyum, seperti kepada Bayu tadi. "Hati-hati ya, Lis."
"Iya," Lisa mengangguk. "Lo juga." ia berdiri dan pergi meninggalkan wanita itu. Lisa berhenti dan menoleh ke belakang setelah kakinya sudah melangkah menjauhi meja Ayla. Matanya mendapati wanita berhijab pasmina itu yang sedang tak menatapnya, melainkan tengah menatap dua benda yang tadi diberikan oleh Bayu. Lalu, ia hadapkan lagi wajahnya ke depan.
"Maaf, Ay. Maafin kita karena bakal buat lo kecewa." Lisa menghembuskan napas, kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
~•~•~
Bayu Wirawan, pria dengan atasan kemeja batik lengan panjang itu duduk sembari terus menatap ponselnya yang ia miringkan. Dari keseriusannya menatap layar ponsel tanpa menyentuh-nyentuh layarnya, bisa dipastikan jika Bayu tengah menonton sebuah video. Sebuah video di YouTube lebih tepatnya.
Sebenarnya, ia tengah menunggu seseorang. Tapi seharusnya, orang itu sudah datang dari tiga puluh menit yang lalu.
Bayu tak ingin repot-repot melamun atau memainkan beberapa piring kotor yang ada di depannya selama ia menunggu orang itu. Bayu lebih memilih menonton konten horor milik salah satu YouTuber terkenal; Nessie Judge. Tentu saja tanpa di skip-skip, karena Nessie Judge adalah YouTuber favoritnya.
Setelah ia mencapai menit ke tujuh dari video yang ia tonton, orang yang ia tunggu pun datang, tanpa menyapanya dulu. Pria itu langsung berdiri di belakang Bayu yang tengah santai.
"Nessie... Nessie, sira kuh ayu temen, sih! (Nessie... Nessie, lo tuh cantik banget, sih!)"
"Yah... itu mah fokus sama Nessie-nya, bukan sama pembahasannya."
"Astaghfirullah! Ngagetin aja lo!" ucap Bayu kaget setelah menoleh ke belakang.
"Hahaha, sorry, sorry. Lagian asyik bener sih nontonnya. Matanya nggak berpaling-paling."
"Gimana gue bisa berpaling coba? Kecantikannya hakiki banget!" ujarnya dengan nada yang lebay.
"Udah punya pacar tuh!"
"Seb–"
"'–Belum janur kuning melengkung, gue masih punya hak buat nikung'," Arfi berjalan mendekati kursi yang bersebrangan dengan Bayu. "Itu kan yang mau lo bilang?" ia duduk di atas kursi itu. "Dah kadaluarsa tau nggak! Kayak Nessie-nya mau aja sama cowok modelan kayak lo." Arfi terkekeh.
"Ngehina banget lo!"
Ia masih sibuk dengan tawanya. "BTW, lo kenapa pake baju batik? Abis kondangan?"
Bayu melihat sebentar ke arah bajunya. "Nggak. Abis ngerayain HUT-nya kantor. Disuruh pake baju batik sama Bos."
"Bukannya bos lo orang Korea, ya?"
"Iya. Tapi dia cinta Indonesia banget. Ruangannya aja wallpaper-nya batik. Dia juga majang bendera negara kita di samping bendera negaranya di ruangan dia." ujar Bayu. "Bukan cuma itu, foto presiden pertama kita juga di pajang di sana. Dengan ukuran yang gede. Kayaknya dia bener-bener nge-fans banget deh sama Ir. Soekarno."
"Yang bener?" tanya Arfi seraya tersenyum senang.
Bayu mengangguk, seraya menyedot jus melon yang masih tersisa sedikit di gelasnya, lalu meletakkannya lagi di atas meja. Ia tak menghabiskannya. "Jujur, gue selalu merinding setiap masuk ke ruangannya."
"Parah! Gue jadi bangga banget sih ngedengernya. Nggak nyangka, orang luar aja ngehargain banget negara kita."
"Iya, dong. Makanya, kita pribumi harus lebih-lebih dari itu." ujar Bayu. "Eh, gue lupa, lo juga orang Korea ternyata."
"Iya. Orang Korea, tapi belum pernah ke Korea." jawab Arfi sambil menertawakan dirinya sendiri.
"Hahaha, nggak papa, Bro. Nanti Lo abis nikah aja ke sana, honeymoon. Nabung yang banyak makanya!"
"Iya, insya Allah, doain aja." ucap Arfi sambil tersenyum. "BTW, ini semua lo yang ngabisin?" tanyanya sambil melihat ke seluruh piring kotor yang ada di depannya.
"Iya, lah. Gue niatnya buat lo juga, tapi lo nggak dateng-dateng. Gue makan aja semua. Nih, cuma sisa jus ini." Bayu mengangkat gelas yang berisi jus yang tadi ia minum.
"Rakus banget sih lo!"
"Daripada mubazir, kan? Emang Lo mau nanggung dosanya?"
"Tapi kan gue bakal dateng. Lo-nya aja yang kayak orang nggak makan seminggu."
"Hehehe. Udah, pesen lagi aja sono! Ribet banget sih hidup lo. Gue panggilin waitress, ya?"
"Nggak, nggak usah. Selera makan gue ilang liat muka lo."
"Dih? Nggak pernah liat cowok ganteng kayaknya."
"Enek banget gue dengernya."
"Hehehe. Udah, lah. Gaje banget sih lo. Oh ya, lo ya yang bayar, sebagai hukuman karena lo telat setengah jam. Eh, bukan setengah jam! Tiga puluh tujuh menit!"
"Iya, nanti gue yang bayar. Keliatan banget lagi bokeknya."
"Hahaha, tau aja sih lo. Ini aja gue nonton YouTube pake Wi-Fi sini. Lumayan."
"Dih, astaga! Kuota internet aja nggak ke beli?"
"Bukan nggak kebeli. Lebih tepatnya sih hemat. Buat masa depan, cuy!"
"Ini sih terlalu pelit namanya!" bisik Arfi pada dirinya sendiri sambil menepuk dahinya dengan tangan kanan yang ditumpu di atas meja. Namun, Bayu masih bisa mendengarnya.
Bayu terkekeh. Kemudian, ia menghabiskan jus tadi sampai tak tersisa.
"Bay–"
"Mau nanya tentang kemaren, kan?" ia meletakkan gelas yang kosong itu di tempatnya semula. "Ke tebak, Fi." ujarnya sambil tersenyum.
Arfi mengangguk. "Gue penasaran gimana kemaren."
"Dia nangis." ujar Bayu, lugas.
"Nangis?" kening Arfi berkerut.
Bayu mengangguk membenarkan. "Walaupun selama itu dia nunduk. Nggak berani ngeliatinnya ke gue sama Lisa. Tapi tetep aja, dia nggak bisa ngumpetinnya dari kita berdua." jelas Bayu. "Dia juga ngomong kalo dia nangis karena terharu. Tapi, ya, itu cuma alibinya."
Arfi sedikit menundukkan kepalanya. Merasa bersalah.
"Fi, apa mendingan kita–"
"Nggak, Bay. Kita harus selesaiin ini sesuai rencana."
~•~•~
BERSAMBUNG...