Danu masih berdiri dengan mata yang menatap terus taksi yang kekasihnya tumpangi. Ia menghela napas panjangnya, seperti hendak melepaskan beban yang besar. "Apakah aku harus memberitahu rencana besarku untuknya agar ia mengerti?" pikir Danu, ia tidak tau ini ide yang baik untuk hubungan keduanya atau tidak.
Tetapi ia hanya ingin Sekar bersabar agar rencana ini menjadi kejutan buat kekasihnya itu. "Tidak, ini baru awal. Masih permulaan yang musti aku pertahankan agar ia tau betapa aku mencintainya. Sangat mencintainya," bisik batinnya. Ia hampir kehilangan ide. Baginya ini baru permulaan, agar Sekar bisa bertahan demi masa depan yang jauh lebih sulit saat menikah dengannya nanti.
Bukan Danu tidak mau paham akan masalah Sekar, tetapi ini keputusannya demi masa depan ia dengan gadis itu agar kedepannya tidak ada masalah-masalah yang hanya di selesaikan dengan keegoisan masing-masing.
Danu mengusap wajahnya, lalu kembali ke dalam kafe itu. Ia duduk dan kemudian meminum pesanan yang sempat ia pesan. "Suatu saat kau akan mengerti Sekar, kenapa aku harus melakukan ini semua!" bisik batinnya tengah-tengah ia mengesap minumannya itu.
Dan di saat itu juga, ia mengingat sesuatu hal yang sangat penting. Malam itu, setahun saat ia sudah mengenal Sekar, walau masih dalam tahapan pendekatan. Ia datang bersama kakeknya ke sebuah rumah yang cukup besar dari situlah akhirnya ia mengetahui rumah siapa yang ia datangi bersama kakeknya malam itu.
Danu tidak mengetahui maksud dan tujuan kakeknya mengajak ikut bertandang ke rumah itu. Kakeknya hanya bilang hanya ingin menjaga persahabatan antara ia dan sahabatnya itu.
"Jadi ini cucu anda? Yang katanya masih jomblo itu?" tanya sahabat kakeknya melihat tegas dirinya.
"Iya, sampai sekarang ia belum juga dapat pacar dan menjomblo di usianya yang sudah sangat mapan seperti ini!" ucapan kakeknya membuat ia kesal sekaligus malu.
"Kakek, apa-apaan sih?" Ia protes, namun tersipu malu dengan wajah merona. Itulah kenyataannya, Danu yang waktu itu masih saja menjomblo. Padahal usianya sudah menginjak angka dua puluh delapan dan sudah mapan itu.
Sahabat dari kakeknya itu tertawa bersama, mereka berdua mentertawakan nasib Danu yang sampai saat itu belum juga mendapatkan pacar dan belum sama sekali berpacaran. "Berarti sama seperti anak saya yang bungsu, dia juga masih jomblo sampai sekarang!"
"Oh ya? Kalau gitu, bagaimana kita jodohkan anak gadis kamu dengan cucu tampanku ini?"
Danu langsung melotot pada kakeknya. "Kakek, apa-apaan sih, kenapa jadi malah main jodoh-jodohin aku?"
"Aku rasa itu ide yang bagus!" Sahabat dari kakeknya itu membuat kepala Danu semakin pusing. Ia tidak suka dijodoh-jodohkan, ia juga sudah menyukai gadis bernama Sekar yang ia temui di kafe. Dan ia rasa, bahwa dirinya benar-benar menyukai gadis itu dan tidak bisa di gantikan dengan yang lainnya.
"Tunggu ... tunggu! Maaf bila saya memotong pembicaraan ini," henti Danu. "Begini, Kakek, Om, saya sudah menyukai seseorang dan saya gak mungkin menerima perjodohan kakek saya ini," sergah Danu.
"Sudah, kamu lupakan saja gadis itu. Kamu pasti akan suka anak gadis temen kakek ini, anak gadisnya sangat cantik dan manis," Perkataan kakeknya membuat Danu mengernyitkan dahinya.
"Apa?" Danu sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semenjak kecil, ia diurus kakeknya. Dan perusahaan kakek diurus Kedua orang tuanya. Ke seharian Danu ditemani kakeknya, ia harus menyaksikan tingkah dan polah laku kakeknya itu setiap hari.
"Coba Ibrahim, kau lihatkan foto anakmu itu, biar cucuku ini tau betapa cantiknya anakmu itu!"
Teman kakek Danu yang bernama Ibrahim tertawa renyah, "Ternyata kau masih suka memaksa dari dulu ya!" Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya sambil terus berkelakar bersama kakek dari Danu itu.
Danu sudah sangat gelisah dengan pembicaran kedua laki-laki yang sudah berusia 60 tahun itu. Andai saja ia tau tentang perjodohan itu, mungkin saja Danu sudah enggan ikut bersama kakeknya. Ia hanya bisa memijit keningnya yang mendadak pusing sambil melirik kearah Ibrahim yang masih mengutak-atik ponselnya itu.
"Nah, ini dia foto anak bungsuku," kata Ibrahim menunjukan foto anak bungsunya itu pada kakeknya Danu yang penasaran itu.
"Wah, dia sudah semakin cantik. Sudah lama saya tidak ketemu, mungkin dia sudah lupa pada saya yang berubah menjadi kakek-kakek ini!" imbuhnya. "Lihat Danu, dia benar-benar tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik!" kata kakeknya, sambil menunjukkan foto anak dari Pak Ibrahim itu pada Danu.
Mulanya Danu ragu dan ogah untuk meliriknya, namun kakeknya tetap memaksa ia melihat sekali saja foto anak dari Ibrahim itu. Dengan sangat terpaksa, mau tidak mau ia melihat foto yang ada dalam ponsel itu.
"Ini?" Mata Danu mendadak melotot, jantungnya tiba-tiba saja berdetak tak karuan. Ia memperbesar foto itu, meyakinkan bahwa foto anak gadis itu benar-benar gadis yang ia kenal di kafe. "Sekar?" Sebutnya.
"Lihat, benarkan kataku, Ibrahim. Cucuku pasti tertarik dengan anak bungsumu itu!" Ibrahim hanya mengangguk-anggukan kepala saja.
"J-jadi gadis ini puteri bapak?"
Ibrahim mengangguk.
"Kenapa? Kamu sudah jatuh cinta sama anaknya Pak Ibrahim itu?" Ledek kakeknya melihat perubahan wajah Danu yang sedikit merona itu.
Danu terdiam, dan kemudian mengangguk pelan sambil terus memandang foto Sekar yang manis itu.
"Tuh kan, benar apa kataku, Ibrahim. Jadi kita besanan!" pekik kakeknya senang, ia memeluk Ibrahim.
"Apa yang membuat kamu berubah pikiran, Danu?" tanya Ibrahim sangat penasaran dengan sikap Danu yang berubah pikiran itu.
"Sebenarnya, saya dan puteri bapak sudah lama kenal dan saya sudah berpacaran secara diam-diam karena Sekar takut pada bapak!" Cerita Danu menceritakan semenjak kapan dan di mana ia kenal Sekar pada Pak Ibrahim dan kakeknya.
"Jadi kalian sudah saling kenal?" tanya Ibrahim lagi.
Danu mengangguk.
"Kenapa kamu merahasiakannya pada kakek, cucu bodoh. Kalau saja kau sudah mengenal dan berpacaran, kakek dan kedua orang tuamu datang melamar anak dari Pak Ibrahim ini!"
"Tidak, jangan dulu kalian melakukan pertunangan itu." Tahan Danu atas keinginan kakeknya yang terlalu terburu-buru itu. "Maaf sebelumnya bila saya lancang, Pak Ibrahim. Tapi kalau boleh, saya ingin menguji kesetiaan Sekar yang akan mencintai saya apa adanya."
"Maksud kamu?" selidik Pak Ibrahim mengernyitkan dahi.
"Hei, sebenarnya kau mau apa, Danu? Kamu meragukan keluarga sahabat kakek ini, huh?" kakeknya menjitak kepala Danu hingga cucunya itu berteriak kesakitan.
"Bukan itu maksud saya, Kek, Pak Ibrahim, tapi..." Danu mulai menceritakan kejadian yang dulu pernah menimpanya, dan ia cukup trauma dengan setiap wanita yang pernah mendekatinya. Ia hanya ingin melihat Sekar yang mencintai dirinya sebagai Danu, bukan sebagai anak orang kaya atau pewaris seluruh perusahaan dari Grup Raflaction.
"Lalu apa rencanamu, Nak Danu?" tanya Ibrahim, ia terlihat tertarik apa yang Danu ceritakan.
"Begini ...." Danu mulai memberitahu apa yang ingin dia rencanakan sebelumnya dengan asistennya, Rully. Tetapi, rencana itu berubah di rumah Pak Ibrahim. Ia begitu serius menceritakan setiap ide yang ada di kepalanya itu.
"Baik, saya sangat setuju sekali. Dan kebetulan di keluarga kami memang ada tradisi perjodohan, Sekar sangat membenci itu," ujar Ibrahim sangat menyetujui ide itu. "Lalu bagaimana denganmu, apakah kamu siap?" tanya Ibrahim pada kakeknya Danu.
"Tentu saja aku setuju, Ibrahim. Aku ingin lihat bagaimana puterimu mencintai cucuku ini dengan sesungguhnya!"
"Oke, kalau Kakek dan Pak Ibrahim setuju, kita mulai menjalankan rencana ini sesuai intruksi yang akan saya berikan nanti!" seru Danu dan kedua laki-laki paruh baya itu mengangguk mantap.
****
Bersambung.