Hujan masih turun dengan derasnya, gemuruh dan rintikannya terdengar begitu menyeramkan.
Tubuh kecilnya basah kuyup, berdiri diambang gerbang yang masih tertutup. Putih dan pucat membuatnya kian terlihat jelas karna penerangan lampu disana.
Tangannya menyentuh kepala saat tetesan airnya tidak lagi berjatuhan dari atas. Ia mendongak mendapati payung menghalang diatas kepalanya.
Dengan gerakan cepat, ia memutar badannya guna melihat siapa orang yang berada dibalik payung itu.
Seorang pria tengah tersenyum kepadanya, kemeja jeans yg dikenakannya kentara berwarna biru karna basah. "Alena-ya, kenapa hujan-hujanan? Kau bisa sakit" kata pria itu lirih, bahkan hampir tidak terdengar karna nyaris teredam oleh derasnya hujan.
"Jinyoung-ah,, kau pun bisa sakit, jika payungmu kau gunakan untuk memayungiku. Lihatlah, bajumu basah kau pasti kedinginan" Alena memeriksa seluruh tubuh pria itu dengan kedua maniknya.
Kilatan petir dan guntur saling bersahut²an, membuat keduanya sesekali refleks mendongak. Kedua tangan alena sudah terkepal sejak tadi saat tubuhnya mulai merasakan dingin, menggenggam erat plastik belanjaannya yg juga ikut basah.
"Pulanglah, bawa payungmu. Aku juga akan masuk sebentar lagi"
Pria itu menggeleng keras dengan maniknya yg seperti marah. "Mau sampai kapan? Sampai kau pingsan?"
"Penjaga pasti sebentar lagi membukakan ku pintu"
"Tidak mungkin alena,, suamimu pasti sudah melarangnya"
Alena beringsut ke tanah memegangi kepalanya saat guntur terdengar keras. Ia ketakutan dan juga menggigil, jikapun ikut dengan pria didepannya sama saja dia mencari ajalnya sendiri. Pulang terlambat saja membuatnya seperti akan ditembak mati, apalah jadinya jika malam ini ia tidak pulang dan lebih memilih pergi dengan pria lain.
Dia lebih baik kedinginan dan jatuh pingsan dari pada harus mengkhianati suaminya sendiri.
"Tidak jinyoung-ah,, dia tidak sejahat itu. Pulanglah, kumohon. Kau bisa sakit, kau percaya padaku kan?"
Ada tangis diantara bulir² air hujan yg juga membasahi wajah pria itu. Sesak dan sakit membaur jadi satu dalam rongga dadanya. Ia harus apa?
"Kumohon.." Bahkan suaranya tidak terdengar seperti perintah, tapi lebih seperti tangis dalam kesakitan batinnya.
Jinyoung mengambil satu tangan alena, ia menggenggam erat, sangat erat hingga tangan keduanya memutih. Bahkan alena sendiri takut² saat pria itu menggenggam tangannya, namun saat gagang payung itu berpindah tangan padanya ia menatap manik pria itu sejenak, sebelum dirinya pergi dari sana.
"Tetaplah bertahan, hingga besok kita masih bisa bertemu. Alena kim" Setelahnya ia berlari dibawah guyuran hujan dan sesekali melirik kearahnya.
Bibirnya yang terus memutih dan bergetar itu mengucapkan doa agar jaehyun bisa segera membuka pintu gerbangnya. "Kumohon jae, dengarlah aku disini,, bukakan gerbangnya"
Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Ia lemas dan juga kedinginan.
Bel rumah itu terus ditekannya, berharap siapapun termasuk jaehyun mendengarnya.
"Johnny hyung kumohon biarkan aku membukakan pintu gerbangnya, alena disana" Alena bisa mendengar suara pria berdimple itu, tanpa ia tahu dibalik gerbang itu jaehyun terus meronta meminta dilepaskan.
Johnny dan yang lain memegangi kedua lengan pria itu. Sehun menggeram dan menatap nyalang kearah pria itu.
Johnny juga terpaksa melakukan itu atas perintah majikannya. "Saya mohon tuan,, alena didepan pasti kedinginan dia bisa mati disana" ucapnya memelas, sehun bahkan tidak tersentuh hatinya mendengar permohonan itu.
Maniknya terus menatap monitor yg menampakan keadaan luar gerbang dari CCTV yg terpasang. Awalnya ia bisa mengampuni gadis itu, dengan masuk kedalam teras rumahnya walaupun pada akhirnya dia harus tetap disana, dibawah guyuran hujan.
Tapi kebaikannya berubah jadi kemurkaan saat seorang pria datang membawa payung, bahkan seperti menawarinya untuk pergi. Meski gadis itu menolak dan lebih memilih menerima payung pria itu.
"Biarkan,, biarkan jika dia mati. Bahkan itu bagus dan takkan menjadi bebanku lagi" tuturnya dingin, sedingin hawa disana yg terasa seperti es.
Jaehyun semakin menitikan air matanya, hati dan fikirannya sangat takut dan kalut. Membayangkan hal tidak diinginkan menimpa gadis itu.
Alena semakin beringsut ditanah, darah dari lututnya terus keluar bahkan perihnya tidak lagi terasa, karna dinginnya seakan menutup luka itu. Payungnya terbengkalai disampingnya, tidak ada gunanya juga menghalang hujan yg menimpanya, sedangkan tubuhnya telah basah semua dan terasa kelu.
"Arrrrgghhhh,, alena kumohon bertahan lah" Itu suara jaehyun yang terdengar lagi, kesadarannya diambang batasnya. Sekuat mungkin dia masih harus bertahan.
Tangannya yg lemas dan memutih kusut pun dengan pelan mengetuk² pintu gerbangnya. "Jae,, hyun.. Jae,, hyun"
Disana jaehyun terus meronta, bagaimanapun dia harus berani menentang majikannya sendiri. Sekuat tenaga ia menghempas tangan² itu dari tubuhnya.
Seiring nafasnya yg tak beraturan dan menggebu², maniknya menajam manatap sehun. "Anda bisa dituduh atas tindakan pembunuhan jika anda membiarkan istri anda sendiri mati kedinginan disana!"
Dengan santainya sehun melipat kedua tangannya didepan dada, menatap balik jaehyun dengan menantang. "Tidak masalah,, memangnya apa pedulimu terhadap gadis itu? Kau juga terlihat sangat dekat dengannya?"
Majikannya itu mendekat, menepis jarak dengannya "Kau menyukainya?" ia tersenyum remeh, dan mengernyit hidung seolah ada kotoran diwajah jaehyun.
"Ambillah jika kau mau,, aku tidak menginginkannya"
Setelahnya ia pergi kedalam rumahnya, membiarkan mereka disana dengan berbagai tatapan dan pemikiran tentangnya.
Jaehyun dengan cepat berlari kearah gerbang, semua pakaiannya yg jadi basah tidak ia fikirkan. Tangannya dengan cepat membuka gembok itu, dan membuka dengan kasar gerbang hitam itu, saat terbuka manik gadis itu sangat sayu menatapnya.
Tubuhnya yg memutih sangat kentara, tanpa mengulur waktu jaehyun membawa tubuh gadis itu.
Perpotongan leher jaehyun terasa panas, karna kepala dan dahi gadis itu menempel disana. "Bertahanlah sedikit lagi.."
🌼🌼🌼
Tubuhnya yg diselimuti dan memakai pakaian hangat terdiam tanpa pergerakan diranjang putih itu.
Dahinya dikompres dengan handuk, bibi han telah menggantikan semua pakaian basahnya sejak 10 menit yg lalu.
Kedua maid nya masih berdiri didalam kamar itu, disamping ranjang pria itu diam memandangi alena. "Anda dan mina bisa kembali kebelakang bi,, alena biar saya yang menjaganya"
Baik bibi han maupun mina mengangguk dan pergi dari sana.
Kamar alena dan sehun memang sengaja terpisah, karna hubungan yg tak diinginkan itu, sehun meminta agar keduanya tak seranjang.
"Maafkan aku.." Dahinya bertumpu pada kepalan tangan yg digenggamnya. "Aku memang seharusnya mengikutimu tadi sore secara diam² seperti biasanya"
Kemeja putihnya yg basah bahkan belum ia ganti. Ia hanya terlalu takut kehilangan gadis itu lagi.
"Aku harusnya mengabaikan perintahmu yg menolak untuk ku kawal, karna nyatanya Presdir Oh yang memintaku untuk menjadi bodyguard mu,, yang menjagamu dan melindungimu dimanapun kau Berada"
Jaehyun dipekerjakan dirumah itu atas perintah Presdir Oh, yang tak lain adalah Ayah sehun. Memintanya untuk selalu berada disamping menantu perempuannya itu.
Jadi, ia tak perlu takut dipecat oleh sehun. Karna nyatanya, yang memperkerjakannya itu Presdir Oh sendiri.
Tangannya beralih ke dahi gadis itu yg tertutup handuk kecil, menyentuhnya dan setelahnya tersentak kaget karna demam gadis itu semakin tinggi.
Jaehyun buru² membawa gadis itu keluar dan membaringkannya didalam mobil dibagian belakang.
Secepat yang ia bisa mobilnya melesat meninggalkan rumah besar itu menuju rumah sakit.
Sesampainya dirumah sakit, ia berlari dengan membawa tubuh tidak berdaya itu. Setelah beberapa menit mengurus pendaftaran, gadis itu dibawa keruangan VIP atas pilihannya.
Segera ia menghubungi seseorang disana.
"Presdir Oh,, maaf mengganggu waktu anda"
"Ada apa jaehyun? Apa terjadi sesuatu dengan menantuku?" Suara diseberang sana terdengar khawatir.
"Nona alena sedang dirumah sakit bersama saya sekarang"
Terdengar geraman diseberang sana dan nafas yg terdengar berat. "Apa yang terjadi dengannya?! Bukankah kau sudah ku perintahkan untuk selalu menjaganya?!!"
Jaehyun menunduk lesu, seolah orang diseberang sana bisa melihatnya.
"Maafkan saya Presdir Oh,, saya lalai"
Predir Oh menghela nafas pelan, hening untuk sekian detik. "Kirimkan alamat rumah sakitnya, saya kesana sekarang"
Pria itu mengangguk pelan, sebelum sambungan itu langsung terputus.
~¤¤¤~