Cahaya hangat matahari menembus jendela. dibalik selimut tebal, seseorang meringkuk, merasa terganggu oleh silau cahaya yang mengenai wajahnya. kulitnya yang putih ikut bersinar terkena cahaya matahari.
matanya berkedip pelan, bulu mata yang lentik alami ikut bergerak, menambah kesan manis pada matanya, bola mata coklat terlihat setelah matanya terbuka seutuhnya. memindai sekitar mencoba mengenali lingkungan sekitarnya yang asing. kesadaran segera menghantamnya kembali ke kenyataan.
"Mati aku!"
bangun dengan tiba-tiba, rasa pusing segera menghantam kepalanya. Saat ini, Cahya tengah tersadar di salah satu kamar hotel. mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam dan raut wajah masam seketika.
"Sial! Papa pasti marah" Cahya mengutuk disela-sela sakit kepalanya.
Cahya dengan cepat memindai kamar itu. mencari tasnya, mengambil ponsel didalamnya, lima belas panggilan tak terjawab dari Papanya tertera dilayar, serta pesan-pesan yang berisikan hal yang sama, menanyakan dimana dirinya saat ini, memenuhi hampir seluruh layar ponsel pintar itu.
Riiinggg.. Riiinggg
Panggilan masuk dari nomer yang sangat dikenalnya kembali muncul di layar. Cahya dengan susah payah menelan ludahnya. tenggorokannya kering, entah karena efek alkohol atau efek ketakutan saat melihat kata 'Papa' tertera di ponselnya.
Dengan takut-takut, Cahya menjawab. bersusah payah menjaga agar suaranya tidak serak. "Halo Papa!!"
"Kamu dimana?" Suara Arya sangat dalam, jejak kemarahan mengikuti suaranya dari seberang.
Glek.
Cahya kembali menelan ludah, Dia sangat mengenal tabiat Ayahnya. Jika begini, sudah dipastikan ayahnya sangat marah! marah besar!
Suara Cahya menjadi lebih ceria, mencoba memperbaiki suasana hati Papanya dengan suaranya yang manis, inilah salah satu cara Cahya untuk memenangkan hati Ayahnya, Arya. "Hehehe, Dimana lagi pa, kalo bukan di hotel? Masa Cahya tidur di jalanan sih"
"Dimana Cahya?" Arya kembali mengulangi dengan intonasi yang sama. menunggu dengan sabar jawaban putrinya dari seberang telpon.
"Di hotel pa" Jawab Cahya polos.
"Dimana?"
"Hotel pa" Cahya makin bingung dengan pertanyaan Papanya, kenapa Papanya mengulangi pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?
"Cahya Dwinata!!!" Arya berteriak di seberang telpon, membuat Cahya kaget. pasalnya, ini adalah pertama kalinya Arya membentak dirinya. Papanya yang biasa mungkin hanya marah dan mengabaikannya untuk beberapa jam, dengan bujukan suara manis Cahya, Hati Papanya akan luluh dan segera memaafkannya.
Tapi, kali ini. Tidak hanya suara manisnya tidak berguna. Dia bahkan dapat bentakan dari Papanya. Cahya, yang dibesarkan oleh kasih sayang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini, tanpa sadar menangis sambil terisak.
Arya diseberang, tertegun saat mendengar buah hatinya menangis. Sebagai seorang ayah, dimana anak perempuannya tidak pulang semalaman. amarah menguasai dirinya dan tanpa sadar membentak putrinya sendiri. Sekarang dia tampak menyesali tindakan sebelumnya.
Menghela napas pelan, Amarah Arya perlahan hilang mendengar putrinya menangis. Suara yang lembut dan menenangkan kembali terdengar darinya. "Cahya, Sayang. Yang papa tanyakan itu alamat Hotel mu, Nak."
lengang lama, tidak ada jawaban. Arya akan berpikir bahwa panggilan itu terputus jika dia tidak mendengar suara sesenggukan sesekali. Dia menunggu dengan sabar sampai putri nya menjawab.
Lima menit menunggu, sebuah suara kecil kembali terdengar dari seberang. "Papa jahat"
Menghela napas sekali lagi, Arya menanggapi putrinya dengan sabar. "Iya Papa jahat, Papa minta maaf" Suaranya lembut, membawa kehangatan. "Jadi beritahu Papa, kamu ada dimana? biar Pak Budi yang jemput kamu, oke?"
Mendengar suara hangat Papanya, tangisan Cahya mereda dan dengan ringan menyebut alamat hotel yang dia sewa semalam.
Mendengar alamat dari mulut putrinya, Arya tidak menunggu lama. memanggil supir kepercayaannya untuk menjemput putrinya segera.
setelah menunggu selama dua jam, putrinya yang lesu mulai terlihat di pandangannya. Rambut yang acak-acakan, mata yang sembab entah dikarenakan menangis tadi atau kekurangan tidur semalam. tidak ada kerapian dalam pakaian dan penampilannya. jika tidak melihat secara langsung, Arya pasti akan tertawa jika seseorang mengatakan bahwa putri kecilnya memiliki penampilan absurd seperti ini.
Arya ingin memeluk putrinya saat melihat wajah cantiknya memelas. Tapi, baru berjarak lima langkah dari putrinya. Aroma kuat alkohol tercium. membuat Arya kembali mengerutkan keningnya tidak senang.
"Kamu minum?" Intonasi suaranya dalam, mata coklatnya menatap tajam pada gadis didepan nya.
Tubuh Cahya bergetar dengan sendirinya. menunduk lebih dalam, tidak berani melihat pria di depannya. Terdengar Isak tangis kecil disana.
"Jawab Papa Cahya!!!" Amarahnya meledak, untuk putrinya yang tidak pulang semalaman, dia masih menoleransinya. Mungkin dia terlalu bersemangat dengan pesta kelulusan. Tapi, tidak pulang semalaman bahkan meminum alkohol. Minum alkohol!!.
Seumur hidupnya, Arya bahkan tidak pernah meminum benda itu. Namun sekarang putrinya bahkan berani meminumnya! Sepertinya, Dia terlalu memanjakan gadis kecil ini!
Tidak mendapat jawaban dari gadis di depannya. Amarah Arya semakin meluap, mencengkram pergelangan tangan putrinya, Arya segera menyeretnya dengan kasar menuju kamar gadis itu. Cahya yang kaget, hanya bisa menangis lebih kencang, Memohon kepada Papanya dengan suara yang memilukan.
"Papa! Papa! Hikss, Cahya minta maaf pa! Minta maaf pa! Hikkss.. Hikkss"
mendengar permohonan putrinya, Hati Arya sakit. Tapi, jika dia tidak mendisiplinkan putrinya saat ini, Arya takut putrinya akan salah jalan dan tersesat. Jadi demi kebaikan putrinya. Arya menguatkan diri untuk terus menyeret Cahya sampai ke kamarnya.
Cahya terus memohon selama perjalanan menuju ke kamarnya, Mengabaikan rasa sakit dipergelangan tangannya akibat cengkraman kuat Papanya. Tapi, seperti tuli, Papanya bahkan tidak menoleh ataupun berhenti bahkan saat Cahya hampir jatuh karena tersandung langkah kakinya sendiri.
Kali ini Papanya benar-benar Marah. Arya Dwinata untuk pertama kalinya, Marah terhadap putri semata wayangnya ini.
BAM!
Arya membanting pintu kamar putrinya dengan keras, menyeret putrinya masuk dan melemparnya dengan kasar ke tempat tidur. Napas nya memburu karena amarah. Menatap putrinya yang menangis sesenggukan didepannya.
"Beraninya Kamu! Beraninya!" Suara Arya tertahan. Mengingat rasa sayang pada putrinya, Arya sudah sekuat tenaga untuk tidak memukul putrinya. Bau alkohol yang menyengat seakan mengingatkan dirinya, betapa salah dirinya karena terlalu memanjakan gadis itu.
"Papa bahkan seumur-umur tidak pernah menyentuh benda itu! Tapi Kamu—Tapi kamu bahkan meminumnya saat papa masih hidup!" Mendengar ini Cahya hanya bisa menunduk, tangisannya semakin keras. Tidak memedulikan tangisan putrinya, Arya kembali berkata dengan penuh Amarah. "Apa kamu merasa sudah dewasa?! tidak peduli omongan papa lagi?! Kalau begitu kenapa kau tidak hidup sendiri diluar sana, hah?! Kau bisa minum sesukamu! berpesta sesukamu! gak usah pedulikan Papa, tidak ada yang akan memarahimu!"
Mendengar dirinya akan diusir dari rumah, Cahya tiba-tiba berlutut dihadapan Papanya, wajah cantiknya dipenuhi air mata. "Ti-tidak pa, hiks hiks, Jangan u-u-usir Cahya pa"
Melihat ini hati Arya luluh, kapan sejak terakhir kali putrinya menangis sesenggukan seperti ini? Tapi, sekali lagi, demi putrinya. dia mempertahankan wajah garang walaupun hatinya sudah tidak semarah sebelumnya.
"Apa kau akan mengulanginya lagi? Meminum benda itu lagi? Atau jangan-jangan saat papa sudah tiada kamu berniat meminumnya?" Suara Arya menuntut membuat Cahya tanpa sadar menggelengkan kepalanya keras-keras.
"Apa?! Papa tidak dengar kamu ngomong apa?!"
"Ti-tidak pa, Ca-cahya tidak akan, hiks hiks, mengulanginya la-lagi" Hanya untuk satu kalimat ini saja Cahya kesusahan untuk berbicara karena sesenggukan.
"Janji?"
"Iya"
Arya mengangguk puas saat melihat putrinya yang berlutut dihadapannya. Berdiri dengan keangkuhan, Arya kembali berbicara dengan nada yang menuntut. "Tidak hanya alkohol! kau dilarang memakai obat terlarang! jauhi sex bebas juga! dan satu lagi, jauhi orang-orang dengan pengaruh buruk! kalo kau melanggar satu saja aturan ini. Papa lebih baik tidak punya putri yang tidak taat sepertimu, paham?"
Cahya mengangguk taat, sama seperti Arya yang menganggap putrinya adalah hidupnya. Cahya pun menganggap Papanya adalah segalanya. Cahya bisa dihukum apapun, kecuali satu hal, tidak diakui sebagai anak oleh Papanya sendiri.
"Sebagai hukuman, Kau dilarang keluar rumah sampai semester pertama kuliahmu dimulai, Mengerti?" Suara Arya dingin, ekspresi wajahnya tidak berubah. tapi amarah dihatinya sudah lenyap sepenuhnya. Bagaimana dia bisa marah terus-menerus dengan putrinya yang memasang wajah menyedihkan namun lucu?
"Ehem" menahan diri untuk tidak tertawa ketika melihat wajah lucu buah hatinya atau citra seorang ayah yang berwibawa akan hancur, Arya batuk kecil sebelum kembali berbicara. "Cepat mandi dan hilangkan bau alkohol itu. setelah itu turun untuk sarapan. Oh iya, Jangan turun sampai bau itu hilang, paham?"
Tanpa menunggu jawaban Putrinya, Arya pergi dari kamar itu dan kembali turun ke lantai satu menuju ruang makan. Agak aneh memang saat mengatakan sarapan karena jam di dinding dengan jelas menunjukan pukul 11.45. Tapi, karena Arya adalah seorang ayah yang mencintai putrinya, bagaimana dia bisa sarapan dengan tenang disaat putrinya sendiri belum pulang semalaman?
Dan dari hatinya dia tahu, bahwa putrinya pasti belum menyentuh makanan sama sekali dari pagi. Hati seorang ayah tidak bisa diragukan.
Cahya dikamar, masih dengan sisa sesenggukan, perlahan berdiri dari posisi berlutut nya. Berjalan pelan menuju kamar mandi. Meratapi hukuman nya. Walaupun Arya mengatakan dengan enteng hukumannya, jangka waktu sebelum dimulainya semester baru perkuliahan adalah tiga bulan. Tiga bulan tidak keluar dari rumah! itu adalah hukuman paling berat bagi seorang Cahya yang tidak bisa diam di satu tempat. Sambil membiarkan air mengalir ditubuhnya, Cahya mulai menyusun rencana dipikirannya untuk meringankan hukuman saat Papanya sudah tidak marah lagi.
************************
Satu bulan kemudian.
Cahya duduk diatas ayunan taman di belakang rumahnya dengan cemberut. mendorong kakinya ringan, ayunan mulai bergerak pelan. Angin taman berhembus ringan, meniup helai rambutnya yang terurai. Pemandangan yang membuat hati siapa saja berdegup karena takjub, seakan Sosok Cahya memang diciptakan hanya untuk ini. Tetapi, akan lebih menakjubkan lagi jika sosok yang duduk diatas ayunan menghilangkan ekspresi cemberutnya itu.
sudah satu bulan, tapi Papanya selalu menghindari dirinya. Membuatnya tidak memiliki kesempatan untuk negosiasi hukuman. Jangankan meminta keringanan, Cahya bahkan sulit untuk menyapa Papanya di pagi hari.
Seperti katanya, Arya selalu berangkat kerja pagi buta sebelum Cahya bangun dari tidurnya dan pulang saat Cahya sudah terlelap di tempat tidur. Cahya pernah ngotot untuk terjaga sepanjang malam menunggu Arya pulang. Tapi, seperti disengaja, Arya tak kunjung pulang. lalu, setelah Cahya akhirnya terlelap di sofa ruang tamu karena kelelahan menunggu, Arya akhirnya pulang dan paginya Cahya terbangun di tempat tidurnya sekali lagi tanpa bisa melihat Papanya.
itulah alasan suasana hatinya tidak bagus dan dia terpaksa mengikuti hukumannya dengan taat selama satu bulan penuh.
sedangkan Arya, bagaimana bisa Arya tidak mengenal tabiat putrinya yang sudah ia besarkan sendiri selama delapan belas tahun?
maka dari itu Arya menghindarinya, tidak ingin mendengar rengekan putrinya. Tapi, bagaimana Arya yang terlalu mencintai putrinya bisa tahan tidak melihat putrinya? Alasannya cukup sederhana. Arya akan mampir ke kamar Cahya sebelum berangkat dan sepulangnya dari bekerja hanya untuk melihat wajah polos putrinya saat tidur. Dan Cahya tidak pernah mengetahui itu.
Arya hanyalah manusia, dia bisa marah, sedih, dan frustasi, Bahkan membentak putrinya sendiri. Tapi, Arya juga seorang Ayah.
Layaknya seorang ayah, Mereka hanya keras diluar, Tapi hatinya tidak tega melihat orang yang disayanginya tersakiti.
Dan Arya pun demikian, tidak hanya Arya, mungkin seluruh Ayah di dunia memilikinya.
Hati seorang ayah.
dan hanya para ayah yang memahami perasaan ini.