"i-ini tidak benar" Suara Cahya bergetar, tetap tidak percaya apa yang dilihatnya.
"Apa yang tidak benar?!" Arya menatap putrinya yang masih syok di lantai. "Apa kamu masih menyangkal dengan bukti yang jelas?! Atau kamu kaget karena akhirnya perbuatan mu terungkap?"
Cahya yang masih linglung tidak mendengarkan ucapan Arya, Otaknya berputar cepat, mencoba mengingat hal yang mungkin berhubungan dengan foto-foto itu. Tapi dia tidak dapat mengingat apapun. Apa yang bisa dia ingat jika dia bahkan tidak melakukannya? Jika begitu, hanya ada satu hal yang memungkinkan, Dia dijebak!.
Dia pasti dijebak oleh seseorang! Tapi Kapan dan Bagaimana nya foto itu diambil, dia tidak bisa mengingat nya.
Alis Arya mengkerut melihat putrinya yang hanya diam. Amarahnya semakin meningkat. Dia berpikir diamnya Cahya dikarenakan semua gambar difoto itu benar adanya dan tidak tahu harus mengatakan apa untuk menyangkal.
Dengan pikiran ini, Arya menghampiri Cahya dengan langkah besar, memegang kedua pundak Cahya dan mengguncangnya dengan keras. "Katakan sama Papa! Dengan siapa kau melakukanya?!"
Bentakan Arya seketika membuat Cahya kembali tersadar, Cahya menggeleng dengan keras, Wajahnya dipenuhi dengan tanda frustasi. "Cahya gak ngelakuin itu Pa! Cahya dijebak!"
"Kamu masih gak ngaku!!"
Pikiran Cahya kalut, perasaan campur aduk berputar dalam dirinya, saat mendengar ucapan Arya, Cahya tanpa sadar berteriak dengan frustasi kearah pria yang berdiri didepan nya, "Gimana bisa ngaku Pa?! Kalo Aku gak ngelakuin itu! Aku gak salah, Aku dijebak Pa! Dije—"
"CAHYA!!"
Plak!
Sebelum Cahya menyelesaikan kalimatnya. Sebuah tamparan mendarat ke Pipinya. Cahya menatap tidak percaya kepada pria didepannya. Rasa panas segera menjalar bersamaan dengan air mata. Tetapi, hatinya lebih sakit dari pada bekas tamparan merah di pipinya. Papanya sendiri tidak percaya kepadanya, Bahkan Memukulnya saat dia mencoba membela diri. Apa ini Papa yang masih dia kenal?
"Papa..." Cahya hanya sanggup mengucapkan satu kata itu sebelum suaranya menghilang berganti isakan.
"Papa gak akan pukul kamu, kalo kamu ngaku salah! Kamu pikir papa percaya kalo kamu ngomong, kamu dijebak?! Apa kamu pikir papa sebodoh itu, hah?!" Arya berteriak marah, bahkan tidak memikirkan bahwa dia baru saja memukul putrinya untuk pertama kali.
Cahya hanya diam tidak menjawab, dia tidak ada tenaga untuk menyangkal atau membantah. Toh, percuma. Papanya tidak akan percaya.
Arya disisi lain segera berjongkok, mengambil salah satu foto dan menyerahkannya dengan kasar kearah Cahya.
"Ini! Lihat ini! Bukannya itu baju yang sama yang kau gunakan saat pulang ke rumah setelah kau tidur diluar sebulan yang lalu?! Apa Papa salah?! Setelah Ada bukti baju dan wajahmu, kamu masih menyangkalnya?!"
Cahya melihat foto yang diberikan Papanya, Memang ada gambar baju yang berserakan di lantai. dia mengenali sebagian dari mereka. itu memang miliknya. Tapi, pagi hari saat dia bangun di hotel itu, Bajunya masih menempel ditubuhnya. Tidak ada yang salah, Mungkin memang sedikit berantakan, Tapi Cahya menganggap hal itu wajar karena dia tertidur dengan baju itu dan tidak terlalu memikirkan nya. Maka dari itu Cahya tidak pernah menghubungkan foto ini dengan kejadian sebulan yang lalu.
Apa benar aku melakukan nya? Apa aku tidak teliti dalam memeriksa sekitar waktu itu karena takut pada kemarahan Papa? Apa aku melakukan nya karena Pengaruh alkohol? lalu, dengan siapa aku melakukanya?
Pikiran Cahya dipenuhi pertanyaan, keraguan memenuhi hatinya antara foto-foto itu benar atau tidak. Mencoba memikirkan kembali kejadian sebulan yang lalu, Cahya tidak bisa mengingat apapun kecuali bayangan gelap, Kosong. Sepertinya Alkohol benar-benar menghapus ingatannya pada malam itu.
Bruk!
Cahya jatuh berlutut di lantai. Tidak memiliki tenaga lagi setelah menerima kenyataan dihadapannya. Jika itu benar berarti Cahya sudah tidak suci lagi dan dia juga mengecewakan orang yang dia sayangi, Papanya. Terlebih lagi, dia bahkan tidak tau dengan siapa dia melakukanya.
"Heh, Jadi itu benar?" Melihat reaksi Cahya. Arya tanpa sadar tertawa getir. Hatinya sakit, putri yang telah dia besarkan dengan penuh kasih sayang, telah berubah menjadi orang yang tidak dia kenal. Bahkan berani berbohong padanya, Jika tidak dia desak, Apa Cahya akan mengaku dengan sendirinya?
Ini salahnya. Salahnya karena tidak pernah mendidik putrinya dengan tegas. Salahnya karena terlalu memanjakan putrinya hingga menjadi seperti ini. Andai saja dia tidak pernah memanjakan putrinya, andai saja dia tegas sejak awal, atau mungkin andai saja dia tidak pernah punya seorang putri. Mungkin dia tidak akan pernah merasakan rasa bersalah dan kekecewaan ini.
"A-Aku... Aku.." Cahya tidak memiliki kata-kata untuk membela diri, lebih tepatnya. tidak tau apa yang harus dia bela.
Arya menutup matanya, Bersandar pada meja CEO dibelakangnya. Tanpa mempedulikan hatinya yang sakit dan jantungnya—yang entah kenapa—berdetak dengan cepat. Arya berkata lirih kepada gadis yang masih berlutut dilantai. "Kau bukan putriku."
Suaranya pelan hampir tak terdengar, Tapi di ruangan yang diisi oleh dua orang yang sama-sama terdiam, suara itu keras seperti Guntur dan menyambar tepat dihati Cahya
"Papa!"
"Jangan panggil aku papa! aku bukan papamu lagi!"
"Apa maksud Papa?! Hiksss, Papa bercanda kan?! iya kan?!" Cahya berteriak histeris, berdiri dari posisinya dilantai dan berjalan kearah dimana Arya berdiri.
Disisi lain, Arya seperti berputar di dunianya sendiri, gumaman-gumaman kecil keluar dari mulutnya, dia bahkan tidak mempedulikan Cahya yang menangis saat berjalan kearahnya. "kau bukan putriku... bukan putriku... aku bukan papamu.. aku tidak punya putri.. tidak punya...Uhhkk"
Tiba-tiba Arya merasakan jantungnya sakit. Dia mencengkram dada kirinya dengan kuat. rasa sakitnya bahkan menyebabkan Arya tidak bisa berdiri lagi dan jatuh terduduk di lantai.
"Papa!" Cahya langsung berteriak cemas, segera menopang Papanya yang hampir terjatuh, "Papa, papa gak apa-apa?" Tanyanya cemas.
"Lepas!" Seakan kesadarannya kembali, Arya menepis tangan Cahya, sebelum kembali berkata dengan dingin. "Bagaimana bisa baik-baik saja, saat seseorang memiliki putri sepertimu?"
"Papa—"
Sebelum Cahya menyelesaikan kalimatnya, suara berisik dari luar ruangan membuat fokus mereka berdua teralihkan.
"Anda tidak bisa menerobos masuk sekarang!"
Itu adalah suara Riri, sekretaris pribadi Arya. Tapi, sebelum mereka mengerti situasi, pintu ruang CEO terbuka dengan keras. Di depan pintu, dua orang perempuan berdiri dengan angkuh menatap kedalam ruangan. Satu orang memiliki watak yang lembut dan elegan dan lainya memiliki kesan gadis nakal dan seksi.
"Oh? Apakah kita baru melewatkan sebuah drama?" Gadis yang elegan membuka suaranya. Suaranya sangat halus, walaupun mengandung mengandung sedikit nada ejekan.
Arya segera mengirim tatapan tajam kearah Riri yang berdiri dibelakang dua gadis itu. Sebagai tanggapan Riri hanya memasang ekspresi meminta maaf, tidak berdaya mencegah kedua gadis itu untuk menerobos masuk.
Cahya hanya butuh beberapa detik untuk kaget. sebelum berkata dengan datar. "Apa yang kalian lakukan disini, Rina, Revi?"
"Justru itu yang ingin aku katakan ke kalian berdua" Rina mulai berbicara, Nadanya halus dipenuhi keangkuhan, "Seharusnya kalian berdua tidak ada di ruangan ini"
"Apa maksudmu?" Nada Arya dingin, Dia merasa terganggu dengan keberadaan kedua gadis itu. "Kamu putrinya Rafi kan? kenapa kamu datang kesini? Apapun itu, Cepat keluar sekarang!, Saya masih ada urusan dengan putri saya!"
Rina tidak menggubris, justru berjalan masuk dengan angkuh, seakan ruangan itu adalah kamar pribadinya. Disisi lain, Revi menatap mengejek pasangan ayah dan anak itu.
"Seharusnya yang keluar itu kalian, Pak tau!"
"Apa?! Beraninya kamu—"
"Astaga! Apa ini?"
Sebelum keadaan memburuk, seruan Rina mengambil perhatian semua orang, pandanganya tidak lepas dari foto-foto yang berserakan di lantai. Revi dibelakangnya ikut memutar matanya melihat kearah tumpukan itu. Seketika senyum mengejek mekar di bibirnya.
"Jadi begitu, Cahya telah bersenang-senang tanpa kita" Ucapnya, Rina tersenyum cerah mendengar hal ini.
Seperti mengingat sesuatu, Cahya menatap serius kearah kedua temanya. "Kalian berdua. Cepat jelaskan apa yang terjadi sebulan yang lalu dipesta kelulusan."
"kenapa tanya ke kita? kamu yang ngelakuin, kenapa kita harus tahu?" Revi berkata dengan ketus, sesaat sebelum mencibir. "Atau jangan-jangan kau tidak mau mengakui dan melemparkan kesalahanmu pada orang lain seperti dulu?"
"Apa maksudmu? kalian ada disana! bagaiman bisa kalian tidak tahu?!" Cahya sedikit membentak tidak senang. selama ini dia terbiasa memerintah orang-orang disekitarnya. Sekarang, orang-orang itu bahkan berani melawan, membuatnya merasa tidak senang.
"Jaga sikapmu, Cahya" Rina berkata dengan lembut, sangat kontras dengan wajah angkuhnya. "Aku masih berbaik hati dengan tidak mengusir kalian keluar dari sini saat ini juga. Jadi hargai kebaikanku dan jadilah penurut"
"Apa maksudmu? Cahya coba jelaskan apa yang dilakukan teman-teman mu disini!" Arya kembali membuka suaranya, terganggu dengan percakapan diantara ketiga gadis.
"Rina , Revi, apa yang—"
"Aku tidak ingin memperburuk drama keluarga ini. Tapi, aku ingin memperjelas posisiku disini." Rina kembali membuka suaranya, memotong ucapan Cahya. Melambaikan tangannya kearah Revi, memberikan isyarat.
Melihat ini, Revi segera maju, menyerahkan Map besar kearah Arya yang berdiri didekat meja CEO.
Arya menatap curiga kearah Map itu. Tapi, masih menerimanya. Membukanya, Arya mendapati sebuah dokumen didalamnya. Seketika matanya membesar setelah membaca isi dokumen itu. Matanya secara spontan menatap Cahya dengan tidak percaya.
Gadis ini!!
Tidak memperdulikan reaksi Arya, Rina kembali berbicara dengan senyum terbaik yang dia miliki. "Seperti yang tertulis di dokumen, Saya memiliki 45% saham di perusahaan ini. Dan bisa dikatakan, saya adalah pemegang saham terbesar. Saya berhak menempati posisi sebagai CEO" Menatap penuh percaya diri kearah pasangan ayah dan anak itu, sebelum kembali melanjutkan. "Tapi, karena Saya masih terlalu muda. Posisi ini akan saya serahkan pada Ayah saya. Dan anda, Tuan Arya. Akan diturunkan jabatan menjadi direktur eksekutif. Posisi ayahku sebelumnya"
Dengan suara bergetar karena marah, Arya bertanya. "Apa maksudnya ini?! Cahya! Cepat jelaskan apa maksudnya ini?!"
"Aku tidak tau Papa, Aku—"
"Setelah semua ini kamu tetap tidak tahu?" sekali lagi Ucapan Cahya dipotong oleh Rina. Matanya mengandung sedikit cemoohan. "Mungkin kepintaranmu sudah terkikis karena ego yang berlebihan. Hanya segini level dari seorang Cahya Dwinata!"
"Kau!" Cahya berteriak marah, memelototi Rina yang berjarak beberapa langkah darinya. "bagaimana bisa kau memiliki 45% saham dari perusahaan keluarga ku?!"
"Hey Rin. Bagaiamana bisa kau bertahan berteman bertahun-tahun dengan si bodoh ini?" Revi membuka mulutnya membuat Muka Cahya memerah karena amarah. Tapi, seperti tidak peduli Dia kembali melanjutkan. "Coba pikirkan, Di Grup HK, Keluarga Dwinata memegang 65% Saham. dari 65% saham itu, Om Arya, sebagai papa yang baik, memberikan 45% kepada putrinya. Dari cerita ini saja, Hanya orang bodoh seperti Cahya yang tidak memahami apa yang terjadi."
Mendengar ini, Mata Cahya melotot, sebuah kesadaran dengan cepat menghantam dirinya. "Kalian menjebakku! kalian membuatku menandatangani dokumen penyerahan saham saat aku mabuk, kan?! aku bahkan sangat yakin kalian juga berhubungan dengan foto-foto itu!"
"Pfftt" Rina dan Revi tanpa sadar tertawa secara bersamaan.
Mengendalikan dirinya, Revi mencoba berbicara di sela-sela tawa. "Dijebak? lelucon apa itu? Kau terlalu banyak menonton drama! lalu tentang foto itu, kami juga baru tahu kalau kau melakukanya, apalagi tertangkap seseorang hingga di foto. Walaupun kami ingin kau hancur, kami tidak kejam sampai melakukan hal itu!!"
Rina juga berhasil mengendalikan dirinya kembali, tersenyum lembut kearah Cahya. Namun, matanya mengandung sedikit ejekan. "Aku bisa menjamin bahwa kau menandatangi nya dengan keadaan sadar seratus persen. Jika kalian ragu, Aku bisa memberikan bukti video untuk itu" Rina berkata dengan percaya diri, "Dan aku bisa memastikan, Saham ini seratus persen legal atas namaku. jadi sia-sia jika kau menyelidik sampai jalur hukum" lanjutnya.
Bruk!
"Papa!!"
Tiba-tiba, Arya yang sedari tadi berdiri diam, jatuh pingsan ke lantai. Cahya disebelahnya segera menopang tubuh pria itu. Riri yang selama diam berdiri diambang pintu segera berlari membantu Cahya meletakan kepala Arya dipangkuannya.
"Seseorang cepat panggil ambulan!!" Cahya berteriak cemas, matanya tidak lepas dari Arya.
Riri mendengar ini, segera mengangguk cepat. Saat hendak mengeluarkan ponsel dari saku blazer. Suara dingin menghentikan tindakannya.
"Tidak ada yang boleh memanggil ambulan sampai aku mengijinkan nya!."
Cahya menatap tidak percaya kepada Rina yang mengatakan hal itu. Tapi, pikirannya fokus pada papanya, Tidak memikirkan Rina, Cahya berteriak pada Riri didepanya. "Apa yang Tante tunggu?! Cepat telpon ambulan!!"
"Riri Hermawati, Seorang lulusan SMA yang kerja serabutan sebelum bertemu Arya Dwinata. Memiliki kinerja dan keterampilan yang bagus membuat Arya mengangkatnya menjadi sekretaris pribadi" Rini mulai berbicara dengan dingin saat membaca kronologi kehidupan Riri, "Tapi, ingat siapa bosnya sekarang. Jika Tante tidak ingin kehilangan pekerjaan dan Memiliki resume yang buruk, Tante bisa menelpon ambulan sekarang. Namun, siapa yang ingin menerima karyawan wanita diatas tiga puluh tahun, lulusan SMA dengan resume yang buruk?"
Tangan Riri yang ada di sakunya bergetar, Matanya memandang Cahya dengan permintaan maaf sebelum membuang wajahnya, tidak berani melihat kearahnya lagi.
"Tante!!" Cahya menatap tidak percaya kearah Riri, Jika saja dia tidak lupa membawa ponselnya saat kemari. Dia tidak perlu mengandalkan orang lain untuk hal ini.
Mengalihkan pandangan kearah Rina, Suara Cahya bergetar. "Rina! Apa yang kau lakukan?!, aku menganggapmu sebagai sahabat, Papaku bahkan baik kepada ayahmu. kenapa kau melakukan ini kepada kami?!"
"Aku mengakui jika ayahmu memperlakukan ayahku dengan baik karena ayahmu menyukai bawahan yang kompeten dan ayahku berhak mendapat perlakuan itu. Tapi sahabat?! biarkan aku bertanya satu hal"
Rina menghentikan kalimatnya, memandang rendah kearah Cahya sebelum kembali berbicara. "saat aku tidak mengikuti perkataan mu, kau marah dan membentak ku layaknya seorang pembantu, apa itu yang namanya sahabat? ketika aku mematahkan salah satu tangan bonekamu saat berumur sepuluh tahun, kau membuatku berlutut selama berjam-jam untuk mendapatkan maaf mu, apa itu yang namanya sahabat? Saat kau melakukan pembullyan waktu SMP, kau melemparkan semua kesalahan kepadaku, membuatku dikeluarkan dari sekolah, apa itu yang namanya sahabat? dan iya, aku sangat bersyukur tentang itu, karena aku bisa terbebas darimu walaupun hanya dua tahun sekolah asrama. Jadi apa itu yang kau sebut sahabat?"
Cahya terdiam mendengar perkataan Rina, yang dikatakannya memang benar. Cahya terlalu percaya dengan kemampuan ayah, menganggap dirinya yang paling tinggi dan akhirnya, seseorang yang dia anggap 'rendah' berhasil menjatuhkannya dari ketinggian dengan sangat keras.
"Apa yang kamu inginkan sekarang, Rina?" Cahya menatap Rina dengan frustasi, kesedihan memenuhi matanya. "Apapun itu, tolong selamatkan Papa"
Melihat Cahya 'yang agung' memelas kearahnya, senyuman cerah terbentuk di bibirnya. "Karena moodku sedang baik. bagaimana jika kau bersujud di hadapanku dan memohon untuk keselamatan ayahmu? jika mengingat semua perlakuanmu padaku, ini hanyalah hal yang kecil"
Cahya mengertakan dirinya, Walaupun dia tahu ini salahnya. Tapi, Cahya yang dibesarkan di keluarga terpandang memiliki ego yang besar. bagaimana dia bisa bersujud dihadapan orang lain selain papanya sendiri? Namun, ketika melihat wajah pucat Arya dipangkuannya. Cahya dengan berat hati menyerahkan Arya pada Riri kemudian berjalan ke tempat Rina dan Revi berdiri.
Sesampai didepan mereka, Cahya segera bersujud. kepalanya menyentuh lantai marmer yang dingin dan ujung kaki Rina, dengan suara terendam Cahya mulai memohon. "Tolong, aku mohon, selamatkan Papaku"
"Aku tidak dengar" Revi berbicara dengan angkuh disebelah Rina.
Cahya mengigit bibirnya, masih dalam posisi bersujud, kembali memohon dengan suara keras. "Tolong, saya mohon, selamatkan Papa saya"
lengangan beberapa saat tidak ada tanggapan dari Rina, membuat Cahya tetap pada posisi bersujudnya dengan hati yang cemas. Takut hal buruk akan terjadi jika mereka semakin lama mengulur waktu.
"Baiklah" Rina berbicara dengan senyuman setelah jeda yang lama, Cahya mengangkat wajahnya seketika, rona gembira kembali diwajah cantiknya. "Revi, telpon ambulan. Meskipun terlambat, Setidaknya kita harus mengantar Om Arya ke rumah sakit untuk mengetahui penyebabnya"
Wajah gembira Cahya berubah kaku mendengar ini, menatap Rina dengan heran "Apa maksudmu?"
Rina hanya tersenyum tanpa menjawab, seketika rasa takut melanda hati Cahya. Segera tanpa aba-aba, Cahya berdiri dari posisi bersujudnya dan berlari ke tempat Papanya berbaring.
"Papa!!"
Cahya mengecek Papanya, tapi tubuhnya kaku, tidak ada respon sama sekali. Tidak mau menerima kenyataan, Cahya menatap kearah Riri yang ada disampingnya meminta jawaban, berharap yang dia pikirkan tidak nyata. Tapi, Jawaban yang seharusnya tidak dia inginkan keluar dari mulut sekretaris Papanya.
"Cahya, Papamu sudah gak ada, nak"