Sesampainya di ruangannya, HRD itu duduk dan menghela nafas lalu melipat kedua tangannya. Kemudian dia berkata sambil menatap Jina dengan tajam.
"Pak Sigit sudah cerita akan ada satu karyawan baru dari kampung. Tapi Beliau mau terima kamu karena menghargai temannya saja."
"Begitu yah pak." (Balasnya sambil menundukkan wajahnya )
"Yah sudah, kamu bawa surat lamaran, pas foto dan izasah kan?
"Yah pak. Ini. (Sambil menyerahkan amplop coklat berisi dokumen lamaran)
"Ok baiklah, nanti kamu akan di training selama 3 bulan. Pekerjaan kamu sebagai kasir disini, kamu akan dikasi peti cash dan aku akan memberi daftar tugas yang akan kamu kerjakan. Ingat! Bekerja dengan baik. Sekarang kamu bisa pergi, tempat mu disana, di sudut kiri yang menghadap ke pintu. Untuk sementara kamu baca-baca dulu berkas-berkas yang ada disana sampai saya siapkan daftarnya."
"Baik pak. Permisi."
Jina benar-benar bingung dengan tugas yang akan dia jalani. Dia tidak punya dasar akunting sedikit pun. Tapi dia berdoa dalam hati agar dia bisa melakukannya dengan baik.
Dia sangat bingung melihat dokumen-dokumen yang berisi istilah-istilah akuntasi dan perbankan. Semuanya sungguh baru dalam hidupnya. Sembari memperhatikan kertas-kertas itu, Jina berkata dalam hatinya,
"Dulu saya bekerja di ladang, terbiasa dengan cangkul dan sabit, kuku yang kotor karena tanah, dan kulit wajah yang hitam karena terpanggang panasnya mentari. Tapi sekarang saya akan bekerja dengan komputer, kertas dan pulpen, serta telepon. Di dalam ruangan yang ber AC.
Mmmm... Rasanya lucu sekali."
Tak lama kemudian HRD sekaligus menejer itu datang,
"Hei! Kenapa kamu tertawa sendirian? Bukannya belajar. Ini daftar tugas yang akan kamu kerjakan."
Menejer itu pun memberikannya tanpa menjelaskan seperti apa tugas itu. Dia hanya bisa melihat-lihat dokumen itu dan membacanya tanpa tahu apa yang harus dia lakukan.
Suatu ketika Bos besar dari perusahaan itu datang ke kantor. Tiba-tiba dia marah besar kepadanya,
"Hei! (Teriaknya sambil membanting meja)
Kenapa kamu belum bayar tagihan ini? (Sambil melemparkan kertas itu ke wajahnya)
"Maaf pak, saya tidak tahu. Saya baru kerja dan saya tidak tahu. Bapak menejer juga tidak menjelaskannya." (Balasnya dengan suara gemetar sambil tertunduk)
"Saya ga perduli. Kamu tanyalah. Ga punya otak yah? Pokoknya saya mau itu dibereskan hari ini juga." (Teriaknya lalu pergi masuk ke ruangannya)
Semua karyawan disana pun menatapnya dengan tatapan yang aneh ketika bosnya berteriak memakinya. Saat itu Jina sangat kaget, takut dan ingin menangis. Tapi tidak ada seorang pun dari karyawan di tempat itu yang menghiburnya. Akhirnya dia naik ke lantai 3 menemui menejer itu dan menanyakan hal itu.
"Pak! Ini bagaimana yah pak? Tagihan ini harus dibayar ke mana karena tidak ada nomor rekeningnya disini. Dan ini biaya apa yah pak?"
"Kamu ini bagaimana sih. Kan disitu ada nomor teleponnya, kamu telepon saja dan tanya sendiri biar kamu tahu. Atau kamu tanya Erik bagian shipping." (Balasnya dengan nada suara tinggi)
"Erik pak? Boleh saya tahu pak orangnya seperti apa?" (Tanyanya gemetar)
"Pergi dan tanya sendiri supaya kamu kenal satu persatu orang disini."
"Baiklah pak. Permisi.
Jina pun meninggalkan ruangan itu dan mencari-cari karyawan bernama Erik. Dia menanyai beberapa karyawan disitu, tapi semua tidak ada yang perduli dan mengolok-olok dirinya. Akhirnya ada salah seorang office girl yang membantunya mengenalkan Erik padanya.
Lalu dia bertanya pada Erik tentang biaya itu, tapi Erik menjawabnya dengan kasar.
Jina pun berkata dalam hati,
"Yah Tuhan, kenapa sampai segitunya orang-orang disini padaku. Salah ku apa sehingga tidak ada seorang pun disini yang menyambut ku. Semoga aku kuat dan betah bekerja disini."
Setelah dia mendapat penjelasan, dia pergi ke Bank dan segera membayar tagihan itu. Lalu melaporkannya pada bosnya.
Setelah itu dia mempelajari dengan teliti semua dokumen-dokumen yang diberikan sang manajer. Dia berusaha untuk mencari tahu sendiri dan tak berani bertanya.
"Semoga aku bisa cepat paham. Ayolah Jina buka mata mu lebar lebar, dan juga pikiran mu. Meski kau berasal dari kampung tapi kau jangan kampungan. Kau harus pintar."
Lalu pada sore harinya pada jam 5, waktu bekerja pun selesai. Maka dia merapikan meja kerjanya dan pulang ke kos nya.
Disana dia mengurung diri di kamarnya dan menangis atas kejadian yang dia alami di hari pertamanya bekerja. Dia menghubungi neneknya dan menceritakan perasaannya.
Neneknya hanya bisa menyemangatinya sambil terus mengingatkannya untuk tidak menyerah dan ingat kalau tujuan dia merantau untuk membantu perekonomian keluarganya.