Jina pun malu dengan keadaannya yang menyedihkan, khususnya setiap kali teman-temannya bertanya tentang pendidikannya. Akhirnya dia memutuskan pergi merantau ke ibukota, ke tempat yang belum pernah dia lihat. Berbekal pendidikan yang pas-pasan dan tanpa pengalaman, dia memberanikan diri pergi ke ibukota, yang kata orang-orang 'lebih kejam daripada ibu tiri.'
Ketika dia pergi, dia mendengar orang-orang sekampungnya mencibirnya. Mereka berkata,
"Mau kerja apa dia di kota? Sekolah hanya lulus SMA dan tak punya pengalaman."
"Iya benar. Mau kerja apa dia disana? Mereka yang lulus sarjana saja sulit mendapat pekerjaan. Apalagi yang hanya lulus SMA. Sayang kuliahnya tidak selesai. Dia tinggalkan kuliahnya dan pergi merantau. Ckckck... Kasihan sekali."
Tapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan omongan mereka. Dan fokus dengan tujuannya.
Jina bisa pergi bekerja ke ibukota dengan bantuan neneknya. Neneknya memberikan uang seadanya untuk ongkosnya pergi ke ibukota dan uang saku sampai dia menerima gaji pertamanya nanti. Dia menasehati Jina agar selalu berhemat dan menjaga diri dengan baik. Dia juga mengingatkannya untuk tidak melupakan tujuan dia merantau.
Berbekal keberanian, dan ketulusan, Jina menjalani hidup di kota yang sangat sibuk seolah tak pernah tidur. Terkadang dia merasa kecil hati karena orang-orang di sekitarnya sering menyindirnya karena logat bicaranya.
Saat malam tiba, sebelum dia memejamkan matanya di kamar kosnya yang sempit, dia sering mengingat masa lalunya saat di kampung.
Dulu waktu di kampung, Jina sering menatap ke puncak pegunungan dari jendela kayu rumahnya.
Lalu dia bertanya pada dirinya sendiri,
"Kira-kira seperti apa yah kehidupan di balik gunung itu? Mungkinkah suatu saat nanti aku bisa kesana?"
Untuk sesaat dia berpikir bahwa kehidupan yang sekarang dia jalani, adalah kehidupan di balik gunung yang dia lihat waktu itu dari jendela rumahnya. Kemudian dia berkata lagi,
"Bisakah aku bertahan hidup di tempat ini? Aku tidak punya satu keluarga pun disini. Semua orang disini sangat sibuk. Orang-orang di tempat kerja ku juga tidak bisa menerima ku dengan tulus hanya karena aku berasal dari kampung.
Tapi aku tidak boleh lemah dan menyerah. Aku harus bisa. Dan aku pasti bisa.
Malam itu dia tidak bisa tidur, maka dia duduk di luar sambil memandang lampu-lampu kota yang menyala menghiasi langit malam. Lalu tak berapa lama salah seorang yang tinggal di kos an itu bertanya padanya, bagaimana dia bisa sampai di kota.
Dia pun menceritakan bahwa seseorang yang dia kenal di kampung mengatakan bahwa temannya mencari seorang karyawan. Karena itu dia memutuskan pergi jauh meski tak tahu tempat seperti apa yang dia tuju. Itu terpaksa dia lakukan daripada harus menanggung malu di kampung karena sekolah yang tidak sampai. Itu juga rela dia lakukan demi memperbaiki ekonomi keluarga.
Kemudian orang itu melanjutkan,
"Dan kamu percaya begitu saja tawaran itu? Kamu harus hati-hati. Karena disini tidak seperti di kampung. Kamu bahkan tidak punya pengalaman kerja. Memangnya ada perusahaan yang akan terima karyawan begitu saja? Bahkan orang-orang yang berpendidikan dan berpengalaman saja susah mendapat pekerjaan di kota. Maaf bukannya aku bermaksud membuat mu kecil hati. Tapi aku hanya berbicara sesuai realita."
"Yah, aku tahu. Tapi aku yakin. Karena informasi ini diberikan oleh orang sekampungku."
"Yah mudah-mudahan saja. Semoga perjalanan mu tidak sia-sia."
********
Ke esokan harinya, Jina bangun pagi-pagi sekali agar bisa bersiap-siap dengan tenang. Sebelum beranjak dari tempat tidurnya yang hanya beralaskan selembar kain dan tanpa bantal, (Karena kamar kos yang disewanya tidak memberikan fasilitas tempat tidur tapi hanya kamar kosong)
Jina berdoa agar harinya bisa berjalan dengan baik dan lancar. Dan dia dilindungi dari hal-hal yang jahat.
Kemudian dia mandi, dan memilih baju terbaik yang dia punya yang dia bawa dari kampung.
Setelah itu dia berdandan menghiasi dirinya dengan rapi.
Sekarang dia siap pergi, tak lupa dia mengambil tasnya yang sudah berisi dokumen lamaran yang dia persiapkan saat masih di kampung.
Dalam perjalanan menuju tempat kerja, dia bertanya pada orang-orang alamat lokasi yang dia mau tuju. Tapi beberapa orang menjawabnya dengan kasar. Tapi dia tetap sabar demi tujuan yang ingin dia raih.
Akhirnya dia pun tiba. Tapi dia tidak tahu harus berbuat apa, karena dia tidak kenal dengan orang-orang di lingkungan itu.
Ingin bertanya, tapi dia selalu menahan diri karena perasaan gugupnya yang begitu besar.
Maka setelah menunggu beberapa menit, akhirnya salah seorang pekerja disitu bertanya padanya.
"Kamu yang mau kerja disini yah? Kamu dari mana?"
"Yah pak."
"Tau tempat ini dari siapa? Dan siapa yang menawarimu kerja disini?"
"Saya tahu dari orang sekampung saya. Katanya dia punya kenalan disini yang sedang mencari karyawan."
Jina menyebut nama orang sekampung yang menawarinya pekerjaan itu.
"Oh begitu. Tunggu saja disana. Orangnya belum datang. (Sambil menunjuk ke arah kursi di ruang tunggu."
Dia menunggu cukup lama disana, sampai HRD datang. Tapi sementara dia menunggu, beberapa karyawan disana tampak sedang memperbincangkan dirinya. Mereka berbisik-bisik sambil sesekali memandangnya. Jina pun menjadi semakin gugup dan melihat penampilannya sambil berkata dalam hati,
"Apa ada yang salah dengan pakaian ku? Kenapa mereka berbisik-bisik sambil menatap ku?"
Akhirnya HRD itu pun tiba. Dia sudah mendapat informasi sebelumnya tentang Jina yang akan bekerja disana. Lalu dia menyuruh Jina untuk naik ke lantai 2 untuk di interview.
Perasaannya semakin gugup dan berdebar seraya menaiki anak tangga dan melihat banyaknya pegawai yang bekerja disana di depan komputernya masing-masing. Dia bertanya dalam hati,
"Nanti aku akan kerja apa yah? Pengetahuan komputer ku sangat terbatas. Apakah aku bisa bekerja seperti mereka?"