Chapter 6 - FIRASAT PART 1

Sinar matahari yang memancar menerangi bumi ini terasa panas saat menyentuh kulitku. Lelah ... itulah yang aku rasakan saat ini. Setelah seharian ini terus berjalan tanpa arah tujuan. Entah ke mana langkah kaki ini akan membawa kami pergi.

Pria misterius, Hm, tidak, sekarang dia sudah memiliki nama. Zero, itulah nama yang menurutku pantas untuknya. Dia tidak memiliki ingatan apa pun, tidak dapat kubayangkan bagaimana perasaannya ketika semua yang ada di bumi ini begitu asing baginya. Jika hal seperti itu terjadi padaku, entah bagaimana perasaanku dan cara menghadapinya. Tidak dapat terbayangkan kebingungan yang akan melandaku setiap hari, ah, bahkan setiap detik. Hidup tanpa mengingat apa pun atau mengenal siapa pun, pasti terasa begitu menyiksa jelas aku tak mungkin sanggup menjalani hidup seperti itu.

"Hei, bisa kita istirahat sebentar?"

Punggung tegap itu terus melangkah maju, seakan-akan pemilik punggung itu tidak mendengar ucapanku padahal aku yakin mengatakannya dengan jelas dan cukup lantang.

"Hei, Zero!"

Seketika itu juga langkah kakinya terhenti. Sepertinya dia sangat menyukai nama itu, karena tanpa ragu dia menghentikan langkah begitu mendengar suaraku yang memanggil namanya.

Dia menoleh ke arahku, dengan tatapan yang cukup sinis, "Berhenti memanggilku seperti itu!"

"Haah, bukankah kau sudah menyetujuinya? Kau bilang terserah aku mau memanggilmu seperti apa."

"Tapi aku tidak suka nama itu, terdengar menggelikan."

"Bagiku terdengar keren," jawabku sembari menyengir lebar.

Dia tak mengatakan apa pun lagi tapi tiba-tiba kembali melanjutkan langkah, sikap dinginnya itu membuatku sangat kesal sekaligus marah. Padahal di awal pertemuan kami dia sangat baik dan peduli padaku, tapi kenapa sekarang jadi berubah dingin dan cuek? Benar-benar orang yang aneh.

"Apa kau tuli? Aku bilang kita istirahat sebentar!" Aku berteriak cukup kencang, berharap dia mendengar dan mau mengabulkan permintaanku ini karena sungguh kakiku sudah tak sanggup lagi untuk berjalan.

Dia menoleh padaku melalui bahunya tanpa sedikit pun menghentikan langkah. "Sebentar lagi kita akan tiba di sebuah desa. Jangan cerewet dan asal memerintah, kau tidak sedang berada di istanamu."

Pada awalnya aku pikir dia pria yang keren dan baik. Namun setelah melakukan perjalanan bersama dengannya, ternyata semua penilaianku tentangnya itu salah besar. Dia pria yang sangat egois dan kejam. Dia tetap berjalan dengan cepat meskipun seorang wanita lemah sepertiku sedang berjalan di belakangnya. Dan yang paling membuatku kesal, dia mengetahui bahwa aku ini seorang putri raja, tapi semua itu seakan-akan tidak berarti baginya. Dia memperlakukanku seperti aku ini hanyalah seorang wanita biasa.

Kekesalanku ini telah menghilangkan semua senyuman di wajahku, aku yakin saat ini wajahku sedang terlihat cemberut. Meskipun begitu, aku sedang berada dalam situasi di mana aku tidak memiliki pilihan selain mengikutinya.

"Itu desanya, kita sudah sampai," kata Zero sambil menatap lurus ke depan.

Tatapanku tengah tertuju pada sebuah pemukiman yang sepertinya memang desa yang dihuni manusia. Banyak rumah-rumah berjajar di tempat ini. Akan tetapi, aku merasa heran karena meskipun cukup banyak rumah di pemukiman ini, namun aku tidak melihat satu orang pun berlalu-lalang.

"Sepi sekali di sini?"

"Seingatku dulu tidak seperti ini."

Aku sempat terenyak kaget saat mendengar ucapannya, jadi dia pernah datang ke desa ini sebelumnya?

"A-Apa kau pernah mendatangi desa ini?" tanyaku, penasaran.

Dia mengangguk, "Hanya sekadar lewat, bukan karena sengaja mengunjungi desa ini."

"Oh begitu."

Aku kembali berjalan mengikuti langkah kaki Zero yang mencoba mendekati sebuah rumah. Zero berdiri tepat di depan sebuah pintu, begitu pun aku. Kemudian tanpa ragu, Zero bermaksud untuk membuka pintu itu. Perbuatannya itu sungguh di luar perkiraanku karena dia bersikap seolah tak pernah belajar tatakrama saat bertamu ke rumah orang lain, terlebih rumah orang yang tidak dikenal.

"Hei, apa yang kau lakukan? Tidak sopan membuka pintu rumah orang lain begitu saja tanpa meminta izin pada pemiliknya. Kau ini bagaimana? Apa orangtuamu tidak pernah mengajarimu sopan santun?"

Seketika itu juga aku menghentikan perkataanku. Aku menyadari telah melakukan sebuah kesalahan, perkataanku ini tampaknya telah menyinggung perasaan Zero, dia hanya terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Maafkan aku. Aku hampir lupa kau kehilangan ingatanmu."

Sekali lagi dia mengabaikan perkataanku, jika bukan karena aku sedang merasa bersalah padanya, pasti saat ini aku akan begitu marah padanya. Aku sangat tidak menyukai jika perkataanku diabaikan seperti ini. Namun saat ini bukan saatnya untuk mempermasalahkan hal itu. Aku mengabaikan kekesalan yang berkecamuk di dalam hatiku.

Tok ... Tok ... Tok ...

Aku mencoba mengetuk pintu rumah itu, tetapi tidak ada seorang pun yang membukakan pintu untuk kami.

Tok ... Tok ... Tok ...

Semakin keras suara ketukan pintu terdengar, namun sekali lagi tidak ada seorang pun yang terlihat keluar dari dalam rumah.

"Mungkin tidak ada orang di rumah ini, lebih baik kita pergi ke rumah yang lain."

Sebuah anggukan diberikan oleh Zero sebagai tanda dia menyetujui saranku. Kami pun melangkah dengan serempak berniat meninggalkan rumah itu untuk pergi ke rumah yang lain.

Krieeeeet!

Secara bersamaan aku dan Zero kembali menghentikan langkah yang hendak meninggalkan rumah itu, ketika sebuah suara yang aku yakini merupakan suara yang berasal dari pintu yang terbuka, terdengar jelas oleh telingaku. Aku yakin Zero pun mendengar suara itu karena sama sepertiku, dia pun menghentikan langkahnya.

Secara serempak, aku dan Zero berbalik badan untuk menatap ke arah pintu yang terbuka itu. Seorang pria dengan penampilan yang sangat menyedihkan terlihat mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Merupakan sesuatu yang wajar ketika aku mengatakan penampilan pria itu sangat menyedihkan. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya pun begitu kurus dan pakaiannya terlihat sangat kotor. Penampilannya itu cukup membuktikan bahwa pria itu tidak memiliki kehidupan yang normal. Aku pun segera menghampirinya. Aku tidak pernah menyangka ada rakyat di kerajaanku yang terlihat sangat kacau dan menyedihkan. Seingatku raja memerintah kerajaan ini dengan adil dan bijaksana. Sekali lagi aku menyadari kehidupanku di dalam sangkar emas yang bernama istana itu, telah membuatku buta akan keadaan yang sebenarnya di luar istana.

"Permisi, Pak. Apa anda baik-baik saja?" tanyaku, tulus mengkhawatirkannya.

"Pergi! Pergi dari desa ini!"

Aku tersentak, terkejut tentu saja karena reaksinya tak sesuai dengan harapanku. Ekspresi wajah pria itu sangat menakutkan, dia terlihat begitu ketakutan dan tubuhnya pun terlihat gemetaran dengan hebat. Aku tidak memiliki kesempatan untuk kembali bertanya padanya karena dengan cepat dia menutup pintu rumahnya kembali.

Tidak ada yang dapat kulakukan selain mengembuskan napas pelan, menyesali kejadian ini padahal aku tulus ingin membantu pria tadi yang dalam pandanganku penampilannya memang tidak wajar. Jadi sebenarnya ada apa dengan desa ini? Kenapa di sini begitu sepi seolah tak dihuni oleh manusia?