Darius mendahului hari dalam membuka mata, sudah sadar bahkan sebelum cahaya asli pertama menembus masuk dari jendela-jendela besar dan pintu kaca balkonnya.
Dia duduk sebentar di kasur sebelum akhirnya berdiri dan sungguh memulai harinya. Tidak ada pelayan yang ada untuk membantunya, dia yang melarang mereka.
Setelah mandi dan berganti pakaian ke sesuatu yang lebih pantas, Darius kembali melewati lorong-lorong yang sama dengan lentera-lentera yang masih menyala dan para pekerja istana melakukan tugasnya masing-masing.
Koki dan tukang masak sedang bercengkerama dengan panas tungku di dapur untuk memasak sarapan demi semua orang, bukan hanya Darius, meski dirinya didahulukan.
Para pelayan membersihkan sudut-sudut istana, sementara prajurit yang berjaga sudah siap berotasi untuk pulang ke rumah sebelum matahari agak tinggi di udara menatap mereka pulang ke rumah dengan lelah.
Darius sendiri juga melakukan tugasnya sebagai raja mereka, berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya untuk mengecek surat dan dokumen yang dia tinggalkan semalam.
Matanya dengan jeli memilah dan membaca mereka satu persatu, tidak ingin salah menilai satu pun dan membuat keputusan yang bodoh seperti pendahulunya yang sudah kehilangan kepala.
Dia meneruskan pekerjaan monoton itu hingga, "Bolehkah aku masuk?" Seseorang membuka pintu ke ruang kerjanya tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Darius tidak mengangkat kepalanya, "Orang melemparkan pertanyaan itu saat mereka masih di luar, Lucius." Sudah terlalu akrab dengan suara si pria yang masuk ke dalam.
Lucius tertawa. "Oh, ayolah." Melangkah mendekat ke saudara kembarnya, "Jangan buat aku melakukan hal membosankan semacam itu." Ikut berdiri di samping Darius melihat dokumen yang dia baca.
Tertarik kepada yang Darius pegang sekarang, "Oh!" Lucius merebutnya dari tangan sang saudara yang sudah menduga ini akan terjadi dan melemahkan pegangannya, "Aku tahu kota ini! Mereka membuat alkohol terbaik di tanah, Darius!"
Darius mengangkat alisnya, ���Jadi ...?" Sudah bisa menebak apa yang saudara kembarnya akan katakan selanjutnya, tapi ingin sedikit terhibur dengan mendengarkannya sendiri.
Lucius cepat menjawab, "Kita harus memprioritaskan mereka!" Bermain langsung ke dalam ekspektasi saudaranya yang tertawa kecil pada reaksi Lucius yang juga tersenyum setengah bercanda.
Setelah bergeleng untuk menenangkan diri dan merebut kertas itu dari tangan saudaranya, "Apakah kau tidak punya hal yang lebih baik untuk dilakukan selain menggangguku?" Darius kembali menaruh setengah fokusnya kepada pekerjaannya sebagai raja.
Namun, "Sayangnya, tidak ada." Kalimat lanjutan dari sang saudara, "Kecuali kau ingin memulai perang ...." Tidak bisa Darius abaikan.
Darius berbalik cepat dengan serius menatap mata saudaranya yang mengambil satu langkah mundur dan mengangkat tangan, "Aku bercanda, bercanda."
Sudah memastikan intensi saudaranya, Darius membuang napas lega dan kembali menaruh semua fokusnya ke dokumen-dokumen di depan, "Pergi dan ganggu Clara untukku, Lucius." Mengusir saudara kembarnya dengan alasan yang dia harap cukup untuk membodohinya, "Aku ingin mendiskusikan sesuatu dengannya."
Alasannya cukup. "Tentu saja." Lucius mengangkat pundaknya setuju. "Selama kau tidak mengambilnya dariku." Berjalan menjauh dari Darius yang membuka mulutnya untuk membantah.
"Aku tidak akan ...." Dan dipotong oleh suara pintu yang tertutup.
Darius menggelengkan kepalanya, mengembalikan fokus penuhnya ke pekerjaan di depan yang sudah harus dia hentikan untuk beberapa saat karena kedatangan sang saudara kembar yang sekarang berusaha mengingat-ingat alasan dia datang ke ruangan Darius.
Lucius tahu dia ada di sana untuk mengingatkan saudaranya itu akan hal penting, tapi apa ...? Lucius berbisik dalam kepalanya, tidak memperhatikan langkah ke depan.
Hal ini memaksa banyak orang untuk menghindari Lucius kecuali sang kekasih.
Clara mengangkat alisnya heran, "Apa yang sedang kau lakukan?" Memegang kedua pundak Lucius agar pria itu tidak bisa lari atau melanjutkan perjalanan.
Lucius yang sedari tadi terserap dalam pikirannya sendiri, "Ah." Tersadar, "Halo, Clara." Menyapa kekasihnya dengan senyuman yang muncul menggantikan ekspresi bodohnya.
"Apakah kau sudah memberitahu Darius?" Clara mengabaikan sapaan dan senyum Lucius yang jelas sekali mencoba mengalihkan topik dengan ketampanannya.
"Darius. Menyuruhku. Memanggilmu?" Lucius menggerakkan tangannya dalam setiap kata berputar-putar tidak ada arah hingga berhenti pada Clara.
Wajah Clara mendatar, "Kau lupa apa yang aku minta kau untuk katakan kepadanya?" Melemparkan tatapan tajam ke arah Lucius yang berusaha sebaik mungkin untuk menghindar.
"Tidak ...." Matanya berdansa dengan Clara, menghindari semua tatapan si wanita dengan kecepatan dan akurasi yang sering kali hanya dia pakai di peperangan dan bukan untuk menghindari peperangan.
Akan tetapi, strategi Lucius tidak bekerja lama. Clara menatap mukanya, "Jawab aku dengan benar." Mencengkeram wajah itu keras dan menjijit untuk mendekati wajah Lucius hingga hidung mereka saling bersentuhan.
Lucius menyerah lari, "Ti ... tidak ...." Menguatkan tekadnya menjawab sembari menatap mata Clara yang melanjutkan, "Kalau begitu, katakan padaku."
Tidak ingin mundur, "Katakan ... apa?" Lucius menjawab tantangan Clara.
Clara mendorong, "Apa yang aku minta kau katakan kepada saudaramu." Kali ini ikut merapatkan kening keduanya.
Sang kekasih menggerakkan matanya bingung, "Uh ...." Bolak-balik antara kanan dan kiri jelas sekali sedang mencari petunjuk yang tidak ada di lorong istana.
Menonton tindakan menyedihkan sejenak itu sebentar, "Hah ...." Clara melunak. Dia melepaskan pegangan kerasnya di wajah sang kekasih dan kembali menyentuhkan semua kakinya ke tanah.
Gerak-gerik Clara yang menyerah, "... maaf." Membuat Lucius merasa bersalah dan menaruh pelan tangannya di kepala sang kekasih yang sedang menundukkan kepala.
Clara memegang tangan Lucius, menahannya di sana sejenak mengabaikan tatapan dari orang-orang sekitar sebelum mengangkat tangan itu turun ke bawah dan melepaskannya dengan sedikit tidak rela.
Lalu, seperti biasanya, "Tidak apa." Clara menggelengkan kepala. "Ini bukan masalah besar." Memaafkan Lucius yang tersenyum lemah "Aku akan melakukannya sendiri di akhir rapat yang akan mulai siang ini."
Sayangnya, "Tapi." Seperti biasa pula, "Jika Darius sampai menolak ...." Maaf Clara tidak datang dengan gratis atau tanpa syarat.
Wanita itu mengisyaratkan kematian, "Paham?" Dan tersenyum lebar kemudian kepada Lucius yang mengangguk mengerti sembari menelan ludah takut.
"Luar biasa!" Clara melompat maju untuk mencium pipi kanan Lucius yang masih sibuk terdiam takut atas ancaman si wanita, masih terlalu ingat apa yang kekasihnya itu hampir lakukan terakhir kali dia membuatnya marah.
Mengabaikan horor di mata Lucius, "Aku akan menyuruh seseorang untuk membereskan dan menyiapkan pakaian Darius untuknya, lalu pergi menemui Darius untuk apa pun yang dia inginkan dariku hari ini." Clara melanjutkan penjelasannya dengan tenang.
Memegang pipi yang baru saja dia cium, "Sampai ketemu di meja makan saat sarapan nanti, Sayang." Sebelum beranjak pergi dengan sedikit tidak rela.
Sentuhan yang lepas kontak itu membangunkan Lucius yang menatap sang kekasih pergi, terus meminta maaf kepada Darius karena harus menyeret sang saudara ke dalam masalahnya. Lagi.