Hujan deras mengguyur kota sejak sore tadi, malam pun semakin terasa mencekat, jam baru menunjukkan pukul 8 malam namun terasa tak ada kahidupan karena kebanyakan orang akan duduk berdiam diri di dalam rumah walau hanya sekedar rebahan atau menonton tv, ada juga yang akan menciptakan kenangan indah bersama keluarga dengan bercengkerama sambil meminum teh hangat di sertai makanan ringan, tertawa lepas melihat tingkah laku anak-anaknya yang masih kecil.
Namun berbeda dengan yang di rasakan Ellaine, hatinya begitu gelisah tanpa sebab, ia mencoba menghubungi Varo namun berkali-kali panggilannya tak terjawab, perasaannya kini semakin tak karuan, apa yang sebenarnya terjadi?
Di sisi lain yang jauh dari tempat Ellaine berada, sosok pemuda terlihat tak berdaya terkapar di sebuah jalan raya, ia terpental jauh dari motornya akibat kecelakaan, mobil yang ikut dalam kecelakaan itupun terlihat sudah tak berbentuk, entah pemiliknya masih hidup atau sudah meninggal, masih menjadi tanda tanya.
Suara ambulans mulai terdengar, para petugas medis dengan cekatan mengeluarkan tandu dari mobil dan segera mengangkat tubuh pemuda tak berdaya yang tak lain ialah Varo.
Tubuhnya yang berlumuran darah akan membuat siapapun yang melihat akan mengira ia sudah tak bernyawa.
Mobil segera melaju menuju rumah sakit.
"Permisi sus, di mana ruangan korban kecelakaan barusan?" Tanya Tuan Gilson cemas.
"Apakah yang anda maksud adalah pemuda bernama Alvaro Gilson?"
"Ya, dia putraku"
"Oh dia ada di ruangan VIP nomor 12"
"Terima kasih sus"
Dengan secepat kilat ia segera menuju ruangan yang di maksud oleh suster, masih dengan tergesa-gesa ia berjalan sambil menelepon istrinya, memberi tahu di mana ruangan Varo di rawat, agar tak perlu lagi bertanya. Ia yakin kalau istrinya itu pasti sangat shok mendengar kabar kecelakaan Varo.
Semua keluarga Varo sudah berkumpul di depan pintu ruangan, mereka terlihat gusar, terus menunggu dokter selesai memeriksa Varo.
Ibunya tak berhenti menangis dan berdoa untuk keselamatan putranya.
Ceklek…
pintu terbuka, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah penuh keringat dan lesu.
"Bagaimana keadaan anak saya dok?" tanya Gilson khawatir.
"Maaf, saya sudah berusaha sebaik mungkin" Dokter menjawab dengan lemah.
"Maksud anda?"
"Pasien mengalami pendarahan yang cukup hebat, saat ini dia hanya mempunyai sisa sedikit waktu, entah dia bisa melewati masa kritisnya atau tidak itu tergantung dirinya, tapi kemungkinan itu sangat kecil" Penjelasan dokter membuat Zeline, ibu Varo pingsan seketika, tante Sherli yang menyangga Zeline ikut merasa hancur mendengar keponakannya yang tak berdaya.
"Apa tidak ada cara untuk menyelamatkannya? tolong bantu saya dok" Gilson mulai menangis.
"Kita hanya bisa menunggu keajaiban" jawab dokter dengan pasrah.
Semua yang ada di sana menangis pelan, tak menyangka akan kehilangan Varo secepat itu.
Saat mereka tengah berduka ponsel Gilson berdering, di lihatnya nama di layar ponselnya. Ia mendesah.
"Halo, ada apa nak?"
"Om, maaf mengganggu, saya menghubungi Varo berkali-kali kenapa tidak ada jawaban? Apa Om sedang bersamanya?" tanya Ellaine di ujung telepon.
"Oh, maaf nak, dia lagi Om suruh untuk ke Bandung mengunjungi kakeknya, di sana memang jaringannya sangat jelek. Mungkin karena itu dia tak bisa di hubungi" Jawab Gilson membohongi Ellaine. Ia tak ingin membuatnya khawatir karena keadaan Varo.
"Oh jadi gitu Om, ya sudah kalau begitu saya tutup dulu" Ellaine mengakhiri.
"Kenapa nggak terus terang padanya tentang Varo?" Tanya Gerry, adik Gilson.
"Aku nggak bisa membuatnya khawatir sementara dia sedang berada di luar negeri, Varo juga pernah berpesan kalau terjadi sesuatu padanya untuk tidak memberitahu Ellaine dulu" Wajah tua itu tampak khawatir.
"Tapi jika kita tidak memberitahunya apa suatu saat dia bisa menerima?"
"Kita lihat saja dulu keadaan Varo, semoga saja semakin membaik, baru kita memberinya kabar, untuk sementara tolong sembunyikan kejadian ini darinya jika ia bertanya" Pinta Gilson pada adiknya. Gerry mengangguk.
Setelah Varo koma selama 1 minggu barulah ia tersadar. Semua orang tampak menangis haru. Dalam 1 minggu itupun semua orang berusaha mencari alasan ketika Ellaine menghubungi keluarga Varo satu persatu.
"Sungguh, ini merupakan sebuah keajaiban, dia bisa tersadar dalam masa kritisnya. Tapi ada satu hal yang saya sendiri masih ragu" kata dokter memberi penjelasan kepada Gilson.
"Apa yang membuat anda ragu dok? tolong katakan" pinta Gilson.
"Meskipun dia sudah melewati masa kritisnya, namun ada satu organ yang sudah tidak berfungsi lagi, dan kemungkinan umurnya tidak akan lama" kata dokter menjelaskan.
"pendarahan yang di alaminya sangatlah fatal, bagian kepala belakangnya terbentur sangat keras sehingga ia akan merasakan sakit kepala yang luar biasa" lanjutnya.
"Apa ada cara lain untuk membuatnya bisa hidup lama dok? tolong lakukan apapun itu, saya bersedia menanggung berapapun biayanya, asal putraku bisa hidup" Gilson memohon dengan penuh air mata.
"Masalah hidup dan mati seseorang bukan di tangan dokter, kami hanya manusia biasa yang hanya menjalankan tugas kami sebagai dokter. Dan saya sudah melakukan sebaik mungkin yang saya bisa" kata dokter pasrah.
"Pa, tak perlu memohon seperti itu, dokter benar, hidup dan mati sudah di tentukan Tuhan, papa jangan khawatir, mungkin ini memang takdirku" suara serak Varo mengagetkan Gilson, ia menoleh, menatap putranya dengan tatapan luka. Hatinya sungguh ngilu melihatnya tak berdaya. Gilson menghampiri Varo.
"Kamu bangun nak? jangan dengarkan dokter, dia sedang bercanda dengan papa, bukankah begitu dok?" kata Gilson sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah dokter.
Dokter itu hanya tersenyum.
"Tak perlu menyembunyikan apapun dari ku pa, aku sudah mendengar semuanya" kata Varo.
Gilson menangis, dokter itu segera pergi meninggalkan mereka, memberinya ruang agar bisa melepaskan semua yang ada di hatinya.
"Varo, apa kita berobat saja ke luar negeri, papa yakin kamu bisa sembuh di sana" kata Gilson sambil memegang tangan Varo.
"Tak ada gunanya pa, mungkin memang takdir hidupku hanya sampai di sini, maafkan aku belum bisa membuat papa bangga kepadaku" Varo menitikkan air mata. Di dalam ruangan hanya ada Gilson dan Varo, anak dan ayah itu saling menangis menahan rasa sakit akan kehilangan. Ibu Varo dan keluarga yang lain sedang pulang ke rumah masing-masing, karena selama Varo belum sadar mereka selalu berada di sini siang dan malam. Saat ini gantian ayah Varo yang berjaga.
"Pa, bolehkah aku meminta sesuatu untuk yang terkhir kalinya?" pertanyaan Varo sungguh mengiris hati Gilson. Orang tua mana yang tak merasa sakit hatinya saat anaknya mengatakan itu?
"Katakan, apa yang kamu inginkan?" Gilson menjawab dengan tersenyum. Ia ingin menguatkan putranya walau hanya dengan perpura-pura tegar.
"Tolong panggilkan Kyano untukku, suruh dia kembali secepatnya" kata Varo dengan penuh harap.
"Dia sudah papa hubungi, saat kamu kecelakaan papa langsung menghubungi semua orang, tapi waktu itu adikmu masih menjalani ujian selama seminggu, jadi papa katakan saja padanya bahwa lukamu tak parah, dia bisa kembali setelah selesai ujian. Maafkan papa nak" kata Gilson merasa bersalah.
"Kenapa papa minta maaf, papa sudah melakukan yang terbaik, dia tidak boleh meninggalkan ujiannya hanya karena diriku, bukankah kita masih punya waktu?" Varo tersenyum.
"Nanti coba papa tanyakan lagi apa dia bisa kembali dengan cepat, kamu istirahatlah".
"Pa, apa Ellaine menghubungi papa?"
"Berkali-kali" Gilson menunduk.
"Lalu apa yang papa katakan padanya?"
"Papa membohonginya dan terus membohonginya, papa tidak bisa memberi tahu keadaanmu yang sesungguhnya. Papa menunggu kamu, maafkan papa" Kata Gilson menerawang.
Varo tersenyum, kemudian menggenggam tangan tua yang sudah keriput itu.
"Terima kasih pa" kata Varo tulus.