Chereads / Cinta Om Bule / Chapter 2 - Pendekatan Ala Bos Jutek

Chapter 2 - Pendekatan Ala Bos Jutek

Aku menarik napas panjang. Ya Tuhan, sampai kapan aku bisa terbebas dari makhluk yang bernama Steve ini. Rasanya ingin teriak, tapi kalau ingat teriakan Steve lebih keras, nyaliku langsung ciut. Ini masih jam enam pagi, Steve sudah sampai di sini. 

Rutinitasku di pagi hari memang menyebalkan, tapi hari ini porsinya berlipat ganda. Ketika aku sudah siap berangkat, Steve melihat arlojinya dan berkata, "Well, it's about one hour and ten minutes." 

Hih kampret! Dia menghitung berapa lama menungguku. Resek nih bule! Lagi pula siapa yang nyuruh dia datang ke sini? 

Aku segera berpamitan pada Ibu, mencium punggung tangannya dengan takzim.

Perjalanan ke kantor sepi tanpa percakapan. Aku malas memulai obrolan. Rasanya aneh. Ngerti nggak sih? Satu mobil sama bos yang hampir tiap hari berteriak marah manggil namaku. Mana Steve nggak seumuran. Mau ghibahin apa coba sama Om-Om model begini?

Eh, tapi kan ini mobilku ya. Steve yang numpang. Kenapa aku jadi terintimidasi gini sih? Terserah aku dong mau ngapain di mobil. Jariku menekan tombol play dan teriakan Chester Bennington menggema dalam mobil. Steve menoleh ke arahku. Aku pura-pura lihat ke jendela. 

'Bodo amat. Ini mobilku, kalau kamu nggak suka, sana turun naik taksi!'

Sayang, aku hanya berani bicara dalam hati.

"Who doesn't like it? Pretty cool huh!" kata Steve tertawa sambil membesarkan volume.

Aku menoleh ketika Steve menyanyi. Suaranya bagus juga ternyata.

"I didn't know you can sing like that!" kataku.

Steve membalas dengan tertawa lepas.

Selama hampir empat tahun bekerja, aku hanya mendengar teriakannya di kantor.

Saking seringnya Steve marah, satu kantor sudah hafal di luar kepala do and don't jika berhadapan dengan Steve.

Dua bangunan lagi mobilku akan berbelok dan memasuki basement. Aku berdoa semoga tidak ada yang melihat Steve satu mobil denganku. Terutama Beck. Dia pasti akan mendapat bahan untuk meledek dan menertawakan penderitaanku. 

Sepertinya keadaan aman, tidak ada tanda-tanda keberadaan anak satu divisi di basement. Baru jalan beberapa langkah, aku mendengar sapaan di belakang punggungku, "Good morning, Steve, Kania." 

Halah! Kenapa Beck harus muncul di saat seperti ini. Apa daya aku hanya bisa pasrah. Pasti Beck akan meledekku tiap ada kesempatan.

"Hi Beck!" Balas Steve. Lalu mereka berdua sibuk dengan obrolan sistem operasional baru di kantor dan pelatihan hari ini. Sejauh ini, mood Steve bagus. Entah pukul sepuluh nanti ketika pelatihan sistem diadakan.

***

Kami semua sudah berkumpul di ruang meeting. Masing-masing menghadap ke monitor. Sementara Steve sibuk berkeliling, memastikan kita semua tidak membuat kesalahan dengan sistem baru. Semua berjalan normal tanpa ada teriakan. Di akhir meeting, Steve menampilkan email perpisahan yang sudah disetujui kantor pusat di Jerman. Untuk sementara ruangan menjadi gaduh. Ya, mungkin mereka terlalu gembira. Akhirnya bos galak pergi juga.

Kami kembali ke meja masing-masing. 

"Steve pindah, sepi dong, nggak ada yang teriak manggil kita," celoteh Beck.

"Eh, biarpun dia doyan marah, tapi Steve itu sebenernya baik," kata Dion.

"Iya beneran baik loh, nggak pelit. Suka bantu orang. Cuma sayangnya kalo marah nyemburin kata-kata pedes, kayak nggak dipikir kalo ngomong," sambung Maya.

Aku tak ingin menanggapi. Mataku sibuk membaca email dan menyelesaikan pekerjaan. Aku ingin pulang tepat waktu, biar bisa mampir nonton film di bioskop. Aku baru ingat satu hal, kunci mobilku masih dibawa Steve. Mau minta, takut kena sembur. 

Beberapa saat kemudian, gawaiku berbunyi, pesan dari Steve.

[Wait for me. Pulang bareng ya.]

Ah elah, nunggu sampai kapan Bambang? Ada film bagus di bioskop ini. Kubalas pesan Steve.

[Aduh jangan lama-lama. Aku mau nonton film.]

Sepi, tak ada balasan dari Steve. Aku hanya mendengar sepasang kaki melangkah keluar dari sarang.

"Ada yang mau ikut nonton film? Saya traktir!" 

Aku terkejut mendengar teriakan Steve. Tumben nggak teriak pakai bahasa Inggris. Anak-anak bersorak. Malam itu, kita nonton dan makan malam sebagai perpisahan Steve. 

Akhirnya, aku dan Steve ketahuan satu mobil.

"Cie ..., ada yang lagi pdkt Guys!" Beck berkomentar tengil.

Steve menatapku, sedangkan aku menunduk pasrah. Niatnya pengen me time, gara-gara Steve, satu pasukan jadi ikut semua. Masih mending kalau mereka nggak ngasih komentar. Dari tadi, aku sudah babak belur dikomentarin sama mereka. Ah sudahlah, toh mereka juga cuma bercanda.

Dalam perjalanan pulang, mataku berat. Aku tertidur cukup lama di mobil dan terbangun ketika mobil memasuki komplek perumahan. Tanganku menyingkirkan jaket kulit Steve untuk menyelimutiku.

'Ada sisi manusianya juga nih Steve.' Sekali lagi, aku hanya berani bilang dalam hati.

"Kania ...." Steve memulai pembicaraan.

Aku tergagap. Baru buka mata, eh diajak ngomong.

"A-apa?"

"Kamu sudah lancar kan, kerja dengan sistem baru?"

Ah elah Bambang, bahas itu lagi. Ini sudah malam, Bos. Please deh!  Males jawab.

"Jangan buat bos baru kamu marah."

Bodo amat. Mendingan aku tadi pura-pura tidur. Bete deh diajak ngomong soal kerjaan jam setengah dua belas malam.

"Are you listening me, Kania?" Waduh, mulai kembali ke selera asal nih lidah Steve. 

Aku hanya mengangguk, saat Steve melirikku.

"Waktuku tinggal besok. Please, jangan buat kesalahan. Aku nggak mau kamu dimarahi sama orang lain." Sebelum keluar dari mobil, Steve ngomong seperti itu.

Eh apa, coba sekali lagi.  Nggak mau lihat aku dimarahi sama orang lain? Bukannya kamu hari tiap hari teriak di depanku, Steve.

"Steve, why do you care for me?"

Aku kembali bertanya. 

Steve hanya menatap mataku. Malam itu, untuk pertama kali, kurasakan sorot mata Steve begitu berbeda. Rasanya panas dingin ini tengah malam dipandangi bule umur 38 tahun. Kok jadi salah tingkah ya.

"I care for you deeply."

"Why?" Jawab pertanyaanku Bambang. Hih, ayo bilang kalau kamu suka sama aku!

"Why you so stupid?" Steve tertawa.

Kampret! Aku keluar dari mobil. Steve mengantarku sampe ke dalam rumah. Menjelaskan pada Ibu kenapa anak perempuannya pulang tengah malam. 

***

Suara Ibu membuyarkan mimpiku di pagi itu.

"Kania, bangun! Itu loh Steve sudah datang. Ih kamu itu loh, perempuan kok bangunnya siang. Kalah sama Steve. Bangun!"

Ini adalah pagi kedua, aku melongok ke luar kamar. Steve sudah rapi, aku baru bangun tidur.

Ih, gimana rasanya ya punya suami yang suka bangun pagi? Apalagi serajin Steve gitu. Ish, apa sih kok jadi mikir kemana-mana. Mendingan aku langsung mandi, siapa tahu nanti Steve iseng menghitung waktu menunggu.