Bulan sudah berganti. Itu tandanya Dasha sudah menetap sebulan di kontrakan ini. Dasha nampak gusar. Karena belum ada uang untuk membayar kontrakan. Ia benar-benar terlalu gengsi untuk pekerjaan kasar. Putra yang tidak terlalu di harapkannya untuk bisa membayar kontrakannya pun kini jadi harapannya. Sesuai dengan janji Putra yang akan membayar kontrakan Dasha.
"Maaf ya, Dash. Gue belom ada duit buat bayar kontrakan," ucap Putra siang itu ketika akan makan siang.
"Ya ngga papa, Put. Lo ngga usah minta maaf. Kan bukan kewajiban lo harus bayar kontrakan gue," ucap Dasha berusaha menyembunyikan kecewanya.
"Kemarin gue udah ada duit. Tapi kebablasan gue pake buat beli 'barang'. Kemarin gue sakau banget. Pengen banget make 'itu'," jelasnya.
"Iya, Put. Ngga papa kok," ucap Dasha berusaha tersenyum. "Yaudah yuk. Makan," ajak Dasha lalu membuka tempat makan yang dibawa Putra. Hanya ada satu.
Nasi goreng pedas kesukaan Dasha. Tapi entah kenapa. Dasha tidak selera untuk memakannya.
TOK TOK TOK!
Pintu terkejut mengejutkan Dasha dan Putra. Dasha tau siapa yang datang. Ia pun beranjak dari duduknya dan membukakan pintu.
Pak Marto datang dengan senyumnya. "Misi, Neng. Bapak dateng mau nagih uang kontrakan nih," ucap Pak Marto.
Dasha bingung, "Ng.. itu, Pak,"
"Pak, bisa minta tenggang waktu ngga? Duit dia belum di transfer dari orang tuanya. Dia juga belum kerja. Jadi belum bisa bayar," saut Putra tiba-tiba berdiri di belakang Dasha.
"Oh gitu..." raut wajah Pak Marto berubah kecewa. "Yaudah kalo gitu. Saya kasih waktu tenggang dua hari seperti ucapan saya kemarin ya," ucap Pak Marto. Tak ada lagi senyum di bibirnya.
"Baik, Pak. Maaf belum bisa bayar,"
Pak Marto berusaha tersenyum lalu pergi. Dasha terdiam. Putra yang hendak duduk kembali pun mengurungkan niatnya dan menatap Dasha.
Putra menepuk pundak Dasha. "Tenang aja, Dash. Besok pasti ada duitnya. Gue jamin, gue usahain," ucap Putra berusaha menenangkan.
Dasha menoleh dan tersenyum. Ia merasa sangat jatuh. Seratus lima puluh ribu yang dulu di anggapnya remeh, kini benar-benar di butuhkannya, dan ia benar-benar tidak bisa mendapatkannya. Seratus lima puluh ribu, yang biasanya termasuk kurang untuk biaya makannya ketika jajan diluar rumah, kini terasa banyak ketika dia tidak memilikinya. Untuk membayar kostan.
Duit seratus sisa kemarin sudah habis untuk membeli detergen dan lainnya. Karena Putra kemarin tidak memegang duit begitu banyak. Uang yang hanya cukup untuk jajan Putra seorang diri.