Chereads / DASHA & JAKARTA / Chapter 11 - ULTIMATUM PAPA

Chapter 11 - ULTIMATUM PAPA

Tidak terasa sudah memasuki pertengahan bulan Dasha berada di kontrakan. Tapi ia belum juga bekerja. Dasha terlalu gengsi untuk terjun ke jalan. Bekerja pekerjaan kasar seperti kata Putra waktu itu. Pengamen? Mau memainkan alat musik apa dia? Bermain alat musik saja tidak bisa. Dasha hanya bisa bernyanyi. Urusan kualitas, mungkin masih di bawah penyanyi Rossa. Tapi, ngga jelek-jelek banget.

Dasha menghela nafas. Lama-lama ia merasa jenuh juga tidak ada aktifitas di kontrakan. Setiap hari yang dia lakukan hanya mandi pagi-bengong-menunggu Putra datang-makan siang bareng Putra-ngobrol sama Putra-mandi-bengong lagi-tidur. Kalau pakaian menumpuk, cucian masuk dalam aktifitas sambil ngobrol dengan Putra.

Dalam lamunannya, tiba-tiba handphone Dasha berdering tanda chat BBM masuk. Membuyarkan lamunan Dasha. Ia pun segera melihat handphonenya. Dasha terkejut ketika tertera nama Evan Benedict disana.

"Papa.." ucap Dasha.

sy fikir km cm bbrp hr sj kabur dr rmh. sy tnggu brmnggu2 tp tdk jg plg k rmh. trnyta km betah dluar sna. dlm waktu 24 jam km tdk plg, Papa akan tlfn polisi buat cr km.

DEG!

Polisi? Papa tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sebisanya, Papa selalu menepati apa yang dia katakan. Berarti Papa benar-benar akan lapor ke polisi.

"Ah. Paling cuma gertak doang," ucap Dasha berusaha santai. Tapi di dalam hatinya, ia sangat was-was. Tiba-tiba pintu kamar Dasha terketuk. Dasha segera bangkit dari duduknya dan membuka pintu.

"Putra? Kan belum jam makan siang," bingung Dasha.

Putra langsung masuk ke dalam. "Kampret. Emang tiap jam makan siang aja gue kesini? Gue bete diluar. Bingung mau kemana. Mau 'jualan' lagi banyak laler ijo," curhat Putra ketika duduk. Menyebut polisi sebagai laler ijo, karena memakai rompi berwarna hijau.

"Gila ya lo. Nekat banget. Banyak polisi malah keluar. Bukannya di rumah aja,"

"Ngeri gua kalo tau-tau di grebek,"

"Lha bego. Kalo lo kesini, sama aja gue yang kena grebek dong?"

"Ya lah. Kan kita sehati, sejoli, sahabat sampe mati, satu bui,"

"Anjir! Pale lo satu bui! Jangan sampe lah! Duh amit-amit!" ucap Dasha segera mengetuk-ngetuk kepalanya kemudian ke lantai.

"Lha orang kaya tau gerakan gitu juga?" tanya Putra yang langsung mendapat tatapan sengit dari Dasha.

"Misi, neng," ucap seseorang membuat keduanya langsung melongok ke arah pintu masuk kontrakan yang tidak tertutup.

"Ya, Pak? Ada apa?" tanya Dasha langsung berdiri, di ikuti Putra.

"Kagak, neng. Cuma mau kasih tau aja, bayaran kontrakan kalo bisa tepat waktu. Kalo emang nunggak ya cuma di kasih tenggang waktu dua hari," pesan Pak Marto.

"Oh gitu. Oke, Pak," jawab Dasha.

"Ohya. Eneng sekolah apa kerja sebenernya? katanya sekolah? Kok saya ngga liat eneng sekolah?"

Dasha terdiam. Bingung. "Ng.. Sekolah, Pak. Tapi saya pengen kerja aja, Pak, daripada sekolah. Liat orang punya duit kayaknya enak gitu. Jadi saya ngga pengen ngandelin duit orang tua lagi" ucap Dasha asal-asalan.

DOENG! Alasan macam apa itu. Putra menatap Dasha. Tatapan yang dapat di artikan seperi, 'Lu apaan sih? Bego banget!'.

"Ooohh gitu... Soalnya kata Ibu sebelah, si Eneng kerja. Makanya saya nanya. Yang bener yang mana?"

"Sekolah, tapi maunya kerja. Yaudah dua-duanya aja, Pak. Hehehe," canda Dasha.

Sudah tanggung kelihatan bodoh, bodoh saja sekalian! batin Dasha.

"Yaudah kalau gitu. Saya pamit ya. Permisi," ucapnya hendak pergi namun tertahan oleh seorang Ibu yang tiba-tiba menghampiri.

"Ealaaah Pak Marto disini rupanya. Dari tadi saya cariin. Itu Pak Marto, tagihan listrik kenape jadi tujuh puluh lima rebu ya? Orang sering mati listrik gitu," tanya Ibu ini cempreng.

"Saya mah kasih harga sesuai PLN aja, Mpo. Lagian udah tahun berapa ini, pasti naik harga listrik. Kalo masalah mati listrik mulu mah urusan PLN itu," jawab Pak Marto sekenanya.

"Yee si bapak gimane? Kan bapak juragannye. Ye bapaklah yang nanya langsung kesono. Masa iye saya yang nanyain?" sergah Ibu ini langsung khas betawi.

"Iye iye tar gue tanya orang PLN nya. Bawel bener dah lo ah," ucap Pak Marto lalu pergi. Ibu itu pun pergi, setelah memandang Dasha cukup lama kemudian tersenyum.

Dasha terdiam. Listrik naik dua puluh lima ribu di bilang mahal oleh Ibu itu. Padahal itu tidak seberapa. Karena jumlah yang masih terjangkau oleh Dasha. Mengingat darimana dirinya dan kastanya. Semakin dalam ia menyadari, bahwa kehidupan jalanan masih banyak yang belum ia tau.