Bel baru saja meraung keras sebanyak tiga kali, menandakan pelajaran di sekolah nmenengah atas itu telah usai. Suara riuh mulai terdengar kian ramai beberapa menit setelahnya. Jemari tangan dan kaki tak bisa lagi digunakan untuk menghitung siswa berseragam putih abu mulai yang menuju tempat parkir, kendaraan roda dua mereka terparkir di bagian depan sekolah dekat gerbang utama. Hanya boleh motor saja yang boleh diparkirkan di area sekolah, jika membawa mobil dipersilahkan untuk menggunakan area milik warga yang juga mengelola parkir. Beberapa dari mereka tergesa pulang setelah memberikan selembar uang dua ribuan kepada office boy sekolah yang merangkap menjadi penjaga parkir saat pulang sekolah.
Terlihat seorang siswi berambut sebahu sedang berjalan dengan santai keluar dari kelasnya yang mulai sepi, sebuah sweater berwarna kuning terang hampir menyembunyikan seluruh seragam putih abunya. Wajahnya yang putih nampak lebih cantik karena pantulan warna mencolok pakaian luarnya itu.
Seorang gadis dengan rambut dikuncir belakang berusaha menyusul langkah siswi ber-sweater kuning itu sesaat dia keluar ruang kelas.
"Amanda, tunggu aku." Amanda menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang ke arah suara itu.
"Hey, Natasya. Aku kira siapa, tumben kamu pulang belakangan," ujar Amanda sambil menyematkan sebuah senyum di wajahnya.
"Iya," ujar Natasya seraya menarik napas panjang sesaat dia berada di samping Amanda. "Aku belum bisa move on dari soal ulangan matematika tadi, Manda. Aku enggak menyangka akan sesusah itu soalnya, aku menyempatkan melihat buku catatan dulu tadi jadi tertinggal yang lain." Natasya menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan sambil tersenyum getir. Amanda tersenyum melihat kelakuan teman sekelasnya itu.
"Aku kadang iri dengan kamu yang sama sekali tidak pernah ambil pusing dengan pelajaran yang sulit sekalipun, Manda. Aku lihat kamu santai saja saat ada ulangan, tidak seperti aku yang harus membaca ulang pelajaran bahkan berkali-kali. Beritahu aku dong tipsnya supaya bisa seperti kamu. Tidak perlu belajar tapi selalu ranking satu, tidak belajar mati-matian tetapi juara umum di sekolah dengan nilai paling tinggi dari semua kelas." Mata sipit Natasya merambati sosok di depannya dengan penasaran.
"Aku belajar kok, Nat. Aku juga belajar seperti kamu dan yang lain. Jadi apa yang kamu katakan itu sama sekali tidak benar," ujar Amanda dengan sebuah senyuman di ujung bibirnya.
"Tapi enggak seperti aku dan yang lain lakukan 'kan, Manda? Sekali atau dua kali aku memang pernah melihat kamu membaca buku pelajaran."
"Nah itu kamu tahu, Nat. Aku juga belajar."
"Seharusnya untuk menjadi juara umum untuk semua kelas gaya belajar kamu tidak hanya seperti yang aku lihat, Manda. Ayolah beritahu aku tipsnya apa, aku sangat terpukul tadi saat ternyata aku enggak bisa menjawab soal ulangan yang biasanya mudah untukku." Natasya mulai merajuk dengan memasang wajah memelas.
"Sebenarnya aku tidak punya tips, Nat. Mungkin aku terlahir dari sebuah keluarga dengan otak pintar, jadi aku mewarisinya secara genetis." Amanda terdiam sejenak karena dia tidak yakin dengan kalimat yang diucapkannya. Dia teringat Papanya bukanlah orang yang pintar, malah sekarang terkena Alzheimer. "Sambil jalan yuk ngobrolnya, Nat."
Natasya mengangguk, dia mengikuti Amanda yang mulai mengayunkan langkahnya. Gadis bermata sipit itu berjalan di sisi kanan siswi yang ber-sweater kuning itu. Sesekali matanya mencuri pandang sosok yang ada di sebelah kirinya. Sebenarnya dia mempunyai rasa iri yang sangat terhadap Amanda, dia tidak hanya mempunyai kecantikan yang membius, kapasitas otaknya juga membuat banyak orang mengacungkan dua jempol kepadanya.
"Aku curiga kepindahan kamu ke sekolah ini karena di sekolah lama kamu dianggap terlalu pintar dan tidak ada guru yang bisa mengajar kamu." Natasya melengkapi kalimatnya dengan tertawa kecil.
"Jangan meracau, Nat. Kamu terlalu jauh menyimpulkan." Amanda ikut tertawa.
"Ya habis bagaimana aku tidak menyimpulkan seperti itu, Manda? Kamu masuk setelah kita berbulan-bulan belajar dari rumah menggunakan handphone. Tiga bulan di sekolah ini pandangan semua guru bahkan kepala sekolah tertuju kepadamu. Mereka yang sebelumnya mendapatkan predikat sebagai siswa pintar, juara kelas dan juara umum tiba-tiba tidak ada apa-apanya dengan kehadiran Amanda Maharani Utama." Tidak ada kalimat yang diucapkan oleh Amanda untuk menanggapi apa yang diucapkan oleh Natasya, ketua kelas 11 MIPA 1. Dia hanya menoleh sesaat dan tersenyum kecil.
"Anggap saja aku mempunyai karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta," kata Amanda akhirnya.
"Karunia? Pasti menyenangkan sekali mempunyai hal itu. Jika boleh aku tahu karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk kamu itu apa? Aku ingin berdoa meminta hal yang sama kepada-Nya. Manda," ujar Natasya dengan wajah serius. Amanda mengukir senyum di wajahnya mendengar pertanyaan gadis bermata sipit di depannya.
"Begini, Nat," ujar Amanda sambil menghentikan langkahnya lalu menarik napas panjang. "Sebenarnya apa yang aku alami adalah sebuah bentuk keanomalian dari otak, malah beberapa ilmuwan menyebutkan apa yang aku alami adalah sebuah kecacatan. Tetapi aku menyebut apa yang aku alami ini sebagai sebuah karunia dari Sang Pencipta, aku yakin setelah kamu mengetahui apa yang aku alami kamu akan mempertimbangkan kembali hal yang akan kamu minta dalam doa, Nat."
Natasya menatap dalam teman sekelasnya ini, dia merambati setiap sentimeter wajah gadis yang menjadi pujaan setiap siswa di SMA Pilar Bangsa. Seperti ada sebuah keraguan yang tiba-tiba terbit di wajahnya saat mendengar penuturan Amanda.
"Jika kamu enggak keberatan, boleh aku tahu apa yang sedang kamu bicarakan, Manda?"
"Aku ini sebenarnya mengidap Hyperthymesia, Nat."
"Hyperthymesia? Apa itu?"
"Itu semacam sebuah keanomalian fungsi otak, Nat. Agak susah menjelaskannya, tetapi kamu bisa cek di google atau youtube. Oh iya aku pernah lihat drama Korea yang temanya adalah Hyperthemesia itu."
"Wow, Drakor ya? Coba judulnya apa, nanti aku tonton."
"Remember, judulnya 'remember'. Coba kamu cari saja filmnya, itu film serial."
"Siapa yang main di film itu, Manda?"
"Entahlah, aku enggak kenal bintang Korea. Tapi filmnya bagus, keren dan menguras air mata."
Dua orang siswa berseragam menghampiri mereka yang kembali berjalan menyusuri selasar kelas, mereka nampaknya adalah sepasang kekasih karena sebelumnya terlihat sedang asyik bercengkerama di taman sekolah yang rimbun.
"Halo, Kak Manda, Kak Natasya," sapa sang siswa dengan percaya dirinya.
"Halo, Leon, Shireen. Ada yang bisa dibantu?" Natasya balas menyapa, Amanda hanya menyematkan sebuah senyum kepada mereka karena dia belum mengenal kedua siswa itu. Ketua kelas 11 MIPA 1 memang mengenal mereka karena sama-sama anggota Majelis Permusyawaratan Kelas.
"Enggak, Kak Nat. Kami hanya ingin menyapa Kak Manda saja sekalian ingin berkenalan dengan sosok yang menjadi gunjingan di setiap pelosok sekolah ini," kata Leon seraya menatap takjub sosok di depannya. "Memang benar gosip yang beredar, Kak Manda ini adalah sosok yang maha perfect."
Shireen menoleh ke arah pemuda yang ada di samping kanannya lalu menghadiahkan sebuah cubitan kepada kekasihnya itu, sorot matanya menandakan dia cemburu dengan kalimat yang diucapkan oleh Leon.
"Maaf, maksud aku enggak kesana, Yang," ujar Leon sambil mengusap-usap lengannya bekas cubitan.
"Apa yang enggak, Say? Aku mendengarnya sendiri dengan telingaku yang masih normal ini."
"Enggak, Yang. Aku ini sudah nyaman ada di samping kamu, sejak aku merasakan kenyamanan itu aku tidak ingin dinyamankan oleh yang lain lagi."
"So sweet," ujar Shireen dengan wajah tersipu. Amanda dan Natasya tersenyum melihat kelakuan kedua adik kelasnya.
"Oh iya, Kak Manda. Perkenalkan aku Leon, kelas 10 IPS 2 dan ini tulang rusukku yang bernama Shireen. kelas 10 MIPA 2." Siswa berambut belah tengah itu mengulurkan tangannya yang disambut oleh Amanda tanpa ragu, Shireen pun melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh kekasihnya itu.