Supir tak jadi meneruskan ucapannya dikarenakan seseorang yang mengerem mendadak itu keluar dari mobilnya dan mengetuk-ketuk jendela mobil. Tepat ke arah Khaibar yang duduk di kursi belakang. Khaibar pun membuka kaca mobilnya. Menatapi seseorang yang sudah berwajah keriput di balik kaca tersenyum penuh penyesalan ke arahnya.
"Nak, maafkan Kakek yang tak sengaja menghentikan mobil secara mendadak, Kakek benar-benar tak tahu kalau ada lampu merah di depan, jadi langsung saja mengerem mendadak, apa kamu terluka? Apa mobilnya lecet? Biar Kakek ganti," ucap kakek itu dengan tangan yang dikatupkan. Khaibar hanya tersenyum, ia pun membalas ucapan kakek.
"Gak apa-apa, Kek, enggak ada yang luka kok, masalah mobil santai saja, nanti bisa dibawa ke bengkel, Kakek tak usah merasa bersalah, santai saja! Yang penting Kakek juga baik-baik saja kan?" Khaibar menatapi kakek itu dengan seksama. Memandangi wajah yang sudah tak muda lagi, tapi masih saja terlihat tampan dan gagah. Ia tak habis pikir kalau masih ada orang yang tanggungjawab seperti kakek, biasanya kebanyakan orang kaya hanya cuek dan pergi begitu saja karena uangnya banyak, tapi kali ini kakek itu sangat tulus hingga rela turun dari mobilnya untuk memenuhi tanggung jawabnya.
"Benarkah? Kamu baik sekali, Nak. Terima kasih," ucapnya sembari merogoh kantongnya lalu memberikan sepotong kertas. Semacam id card kepada Khaibar. Khaibar menerimanya saja tanpa tahu isi id card itu. "Itu id card Kakek berupa nama dan nomor, barangkali kalau ada apa-apa kamu bisa menelepon Kakek, mungkin kita bisa kapan-kapan bekerjasama antar peruhaan." Akhirnya Khaibar tahu maksud dari kakek itu. Tangannya pun membenarkan jas yang sedikit berantakan gara-gara rem mendadak tadi, seraya memasukkan kartu itu ke dalam kantongnya.
"Baiklah, Kek, terima kasih juga ya, Kakek juga sangat baik, ya sudah itu lampu lalu lintas sudah berubah, Kakek harap berhati-hati ya, saya mau permisi dulu karena mau ke kantor takut telat, assalamu'alaikum," ucap Khaibar dengan senyuman manis ke arah kakek itu lalu menepuk pundak pak supir agar segera jalan.
Kakek itu pun mengangguk dan menatapi Khaibar yang sudah berjalan semakin jauh di pelupuk matanya. Kakek pun membatin. 'Sangat jarang pemuda yang sangat sopan seperti dia, bahkan dia tak marah-marah kepadaku karena aku tabrak, tapi kenapa wajah itu sangat familiar? Aku seperti pernah lihat di mana gitu, apa aku salah? Atau memang iya, tapi aku pikun? Entahlah.' Kakek terus mencoba mengingatnya. Lama juga dia mengingat, tapi tak muncul juga ingatannya. Akhirnya dia berjalan ke mobil saja dan menyuruh supir untuk menjalankan mobilnya.
Di sepanjang perjalanan. Khaibar mengambil id card yang diberikan kakek tadi dan memandanginya. Memutar-mutar kartu itu dan tersenyum sebentar. Ide itu lalu bermunculan sendiri. Khaibar berharap semoga saja papa mertuanya mau, barangkali saja suatu saat mereka bisa bekerja sama. Hingga perusahaan bisa diperluas dan saling menguntungkan.
"Tuan muda, sudah sampai," ucap pak supir yang sudah memasukkan mobil ke halaman kantor. Khaibar yang sedari tadi tak memandangi jalanan dan hanya berfikir saja ia pun melongo. Menurutnya kenapa sangat cepat sampainya, padahal dia tak melihat jam yang ada di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih. Itu artinya perjalanan dari rumah ke kantor memakan waktu sekitar 40 menit.
"Ehhh sudah sampai ya, Pak? Aku kira masih lama dan sangat jauh kantornya, kalau begitu besok-besok sedikit siang saja berangkatnya hehe, ya sudah kalau begitu, terima kasih, Pak, sudah mengantarkan saja! Bapak pulang saja! Nanti saya mau pulang naik taksi gak apa-apa," kata Khaibar yang sudah semakin sok akrab kepada pak supir. Pak supir hanya mengangguk mengiyakannya. Dia pun menunduk tanda hormat, lalu pergi meninggalkan Khaibar yang memandangi gedung kantor yang menjulang tinggi dan sangat mewah.
Khaibar hampir tak percaya. Gedung itu benar-benar seperti surga dunia, dia tak pernah melihat gedung seperti ini sebelumnya, karena ia sewaktu bekerja hanya melihat gedung yang sederhana, meskipun dia pernah bekerja di perusahaan besar, tapi baginya tak sebesar perusahaan mertuanya ini, hingga mulutnya menganga dan tak berkedip.
Semua orang yang datang dengan bergantian seiring berjalannya waktu. Menatap heran ke arah Khaibar yang hanya mematung. Mereka saling berbisik dan ada juga yang kagum dengan ketampanannya. Semua orang tak mengenal Khaibar, jadi hanya mengira dan menerka, mungkin pemuda itu karyawan baru, mungkin peminta sumbangan, dan macam-macam terkaan mereka.
Tapi, salah satu diantara mereka yang datang memandangi Khaibar dengan memicingkan matanya. Ia pun menunjuk ke arah Khaibar dan langsung berbicara. "Bukankah kamu, Khaibar? Kamu Khaibar kan?"
"Iya, saya Khaibar, dari mana kamu tahu?" tanya Khaibar yang tak ingat siapa gadis yang di depannya itu. Ia hanya sesekali menatap sekilas gadis itu. Membuang mukanya dengan cepat. Karena memang Khaibar seperti itu tak suka memandang gadis dengan waktu lama.
"Kenapa tidak kenal? Aku kan teman Kim, dan kemarin aku datang ke pernikahan kalian, jadi sangat kenal jelas kamu, apalagi kamu itu suami—" ucapan gadis yang bernama Keke itu terhenti saat deheman keras datang menyela pembicaraanya. Ia terbungkam dan menggigit bibir bawahnya. Melihat yang ternyata deheman itu berasal dari papa Kendrick yang menenteng tas dan sudah di depan matanya.
"Kalian sedang apa berkerumunan di luar seperti ini! Apa tidak masuk? Ayo cepat masuk dan bekerja! Perusahaan tak menggaji kalian hanya untuk menggosip saja, jadi cepat kembali ke tempat masing-masing!" perintah Kendrick selaku direktur di kantor ini. Mereka yang ketakutan langsung kelabakan dan berhamburan bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya, sangat takut saat atasan sudah menyemburkan larvanya.
Khaibar pun tersenyum saat Kendrick semakin mendekat ke arahnya. Ia pun lalu menepuk pundak Khaibar dengan keras. Berdecak keras seraya menggelengkan kepalanya.
"Apa kamu sengaja di luar saja karena ingin dipuji para wanita? Kenapa tidak masuk? Bukankah sudah sampai setengah jam yang lalu? Apa kamu mau berjemur di luar sini?" Khaibar terus menggeleng. Ia mengaku salah dengan menundukkan kepalanya. Dia tak berniat seperti itu, hanya saja terpukaunya membuat Khaibar tak berdaya hingga tak mampu untuk masuk ke dalam kantor rasanya.
"Kalau tidak, ya sudah masuk! Jangan di luar saja! Kerjaan kamu sangat banyak, kamu harus menemani Papa meeting hari ini, menggantikan Papa presentasi dan kalau kinerja kamu bagus, kamu akan Papa jadikan asisten," ujar Kendrick dengan wajah yang selalu datar. Dia berjalan masuk duluan tanpa menunggu Khaibar yang merasa terkejut dengan ucapan Kendrick. Namun, tanpa waktu lama Khaibar pun tersadar dan berlarian menyusul papa mertuanya.
Bibirnya komat-kamit, menghilangkan nervous untuk menghadapi semua wajah baru di kantor mertuanya. Berharap Khaibar bisa ramah seperti biasanya, tapi membuat papa Kendrick tak terima malahan Khaibar disuruh menjadi orang yang cuek saja.
"Jangan sok kegatelan, jadilah orang berwibawa! Dingin lebih baik agar tak menciptakan gosip! Oke! Awas kalau Papa lihat kamu berbicara kepada orang yang tak selevel dengan kita, apalagi bergosip!" Khaibar mengangguk patuh. Senyuman yang semula manis terlihat kecut karena tak terima dengan keputusan papa Kendrick. Tapi mau bagaimana lagi ia harus patuh untuk mengambil hati mertuanya itu.