Chereads / Winona, Ibu Tiri Idaman, atau Janda Pujaan? / Chapter 25 - Memegang Tangannya

Chapter 25 - Memegang Tangannya

Bagaimanapun, Winona tidak terlalu peduli dengan dua panggilan yang datang dari nomor tidak dikenal ke nomor Tito. Winona kini duduk di depan komputer dan menjawab email kantor. Hatinya dikacaukan oleh Tito tadi, dan sekarang punggung tangannya masih hangat.

Pria itu sedang bersandar di kursi dengan selimut wol halus di lututnya. Sinar matahari menerpanya seperti lapisan emas di bulu matanya.

Saat ini ada ketukan lembut di pintu, "Tuan, dokter ada di sini."

"Kalau begitu, aku akan kembali ke kamar dulu." Tito bangkit. Winona juga bangkit untuk mengantarnya pergi.

Dokter itu berusia empat puluhan dan membawa seorang asisten. Mereka menyapa Winona dengan sangat sopan dan mengikuti Tito kembali ke kamarnya. Winona sudah tidak ingin bekerja, jadi dia hanya berkeliaran di halaman beberapa kali.

"Bunga apa ini?" Winona memandang pria berbaju hitam yang memegang kaleng kecil berwarna merah muda. Dia bukan seorang ahli yang mengetahui sebagian besar bunga dan tanaman, jadi dia tidak tahu tanaman apa saja yang telah ditanam di halaman paviliun miliknya.

"Ini…" Anak buah Tito menjawab dengan ragu.

Saat ini, pintu kamar Tito tidak tertutup. Setiap gerakan di halaman bisa didengar oleh Tito. Winona juga bisa mendengarkan percakapan antara dokter dan Tito. Tampaknya sang dokter menyuruh Tito agar mendapatkan istirahat yang cukup dan juga ada beberapa hal yang biasanya perlu diperhatikan. Terdengar klise, tapi Winona benar-benar mendengarkannya.

____

Ketika hendak makan siang, Winona berkata bahwa dia ada janji pada siang hari dan dia tidak akan makan di rumah. Tito memegang tongkat kecil dan menggoda burung-burung di halaman. Ada dua sangkar burung yang tergantung di bawah atap galeri Keluarga Talumepa yang berisi dua kakak tua yang dibeli oleh Pak Tono.

Tito juga melihat beberapa alat pancing di sudut tembok yang biasanya digunakan oleh para lansia untuk menghabiskan waktu. Dia tidak tertarik dengan ini, dan tentu saja tidak mengerti mengapa beberapa orang suka melakukan ini. Mungkin karena mereka tidak sadar bahwa hidup sangat cepat, jadi mereka takut kalau benar-benar menganggur. Akhirnya, mereka memelihara burung dan memancing.

Tito melihat sekilas Winona yang sudah berganti pakaian dan keluar. Dia mengenakan setelan hitam sederhana. Ada rok ketat di bagian pinggul, dan kemeja putih di atasnya. Winona tampak sederhana dan bermartabat, dan sosoknya cantik. Mata Tito berayun dari pinggangnya yang ramping. Tanpa sadar, tongkat yang dibawa menusuk ke sangkar burung dengan keras.

Tito hanyalah seorang tamu, dan hubungan antara keduanya tidak sampai ke tingkat itu. Secara alami tidak nyaman untuk menanyakan apa yang akan Winona lakukan. Untungnya, Pak Tono berkata, "Pergi menemui manajer?"

"Ya, aku ingin membicarakan sesuatu. Apakah kakek ingin kue? Aku akan membawakanmu sesuatu."

"Oke."

Setelah Winona pergi, Pak Tono seolah mengerti isi hati Tito dan berjalan ke arahnya, "Manajer itu berusia lebih dari empat puluh tahun. Dia rekan Winona di studionya. Dia sudah lama menikah, dan punya anak SMP. Manajer itu memiliki hubungan yang baik dengan istrinya. Mereka kadang datang ke sini membawa anak-anak mereka untuk makan malam bersama." Dalam bentuk terselubung, Pak Tono berusaha memberitahu Tito agar tidak khawatir. Keluarga Talumepa tidak ada hubungannya dengan manajer itu, jadi Tito bisa optimis tentang hubungannya dan Winona.

Pak Tono menepuk bahu Tito, "Tito, kita tidak minum banyak tadi malam. Sambil menikmati sore ini, mari kita mabuk hari ini." Dia pun membawa anggur keluar dari tempat persembunyiannya.

____

Winona keluar untuk membicarakan pekerjaan. Ada dua hal. Pertama, ada perusahaan yang ingin membeli studionya dan bergabung menjadi perusahaan besar. Sumber daya manusianya pasti berbeda, tetapi itu juga berarti Winona akan kehilangan hak kepemilikan studio. Sebenarnya hal itu memiliki kelebihan dan kekurangan. "Aku akan memikirkannya lagi." Winona buka suara.

Manajer bernama Caraka itu telah menduganya sejak lama dan hanya tersenyum, "Bagaimana kesehatan Pak Tono akhir-akhir ini? Aku mendengar bahwa dia sudah keluar dari rumah sakit beberapa waktu yang lalu. Dia juga hampir melakukan silat pada dokter saat masih dirawat. Benarkah itu?"

Kelopak mata Winona tiba-tiba terbelalak, "Bagaimana kamu tahu?

"Sudah kubilang, keponakanku bekerja sebagai perawat di rumah sakit, apakah kamu lupa?" Winona tiba-tiba mengangguk. Dia tentu saja ingat.

"Jika tidak ada yang salah dengan Pak Tono, aku memiliki proyek di sini. Apakah kamu ingin mengambilnya? Sebuah drama kostum, dikatakan imbalannya 200 juta. Ini untuk sebuah drama bertema kerajaan. Aku akan mengirimkan informasinya nanti, kamu dapat melihatnya."

"Drama bertema kerajaan? Aku khawatir tugasnya sangat berat. Aku mungkin tidak punya banyak energi untuk melakukannya, pak."

"Pihak lain hanya menghubungi studio kita saat ini. Itu artinya mereka sangat berharap pada kita. Drama itu masih dalam tahap persiapan, dan masih banyak waktu. Harga yang ditawarkan juga sangat bagus. Kamu bisa coba pikirkan dulu, Winona."

____

Kurang dari jam dua ketika Winona pulang setelah makan, dia mendengar kakeknya berbicara. Suaranya terdengar serak, dan dia jelas minum terlalu banyak.

"Nona, Anda sudah kembali?" Bu Maria terlihat canggung.

"Dia minum lagi? Kenapa bibi tidak menghentikannya?"

"Aku tidak bisa menghentikannya." Bu Maria tampak menyesal.

Winona dengan cepat memasuki ruang tamu, hanya untuk menemukan bahwa pria tua itu tidak meminumnya sendiri. Dia bahkan membawa Tito bersama-sama. Saat melihat Winona kembali, Pak Tono tersenyum dan melambai padanya, "Winona sudah pulang? Apakah kamu sudah makan? Cepat ke sini, minumlah dengan kami."

"Jangan minum lagi!" Winona mengerutkan keningnya. Kakeknya itu benar-benar tidak menganggap serius tubuhnya. Winona meraih gelasnya dan membantunya kembali ke kamar. "Aku tidak tahu kakek begitu keras kepala. Kakek benar-benar menghabiskan satu botol!"

"Kakek harusnya bisa menahan Tito untuk tidak minum bersamamu. Dia seharusnya tidak minum terlalu banyak!" Winona merasa bahwa kedua orang itu tidak peduli dengan tubuh mereka, jadi dia berbicara lebih keras dari biasanya.

Ketika Winona kembali dari kamar kakeknya, Tito jelas sedikit mabuk. Dia masih memegang gelas anggur. Dia akan mengantarkan minuman itu ke mulutnya. Anak buahnya telah membujuknya untuk minum lebih sedikit sebelumnya, tetapi Tito tidak mendengarkan.

Pada saat ini, Winona hanya menatapnya dalam diam. Lalu, Tito meletakkan cangkir dengan patuh dan duduk di sana tanpa mengucapkan apa pun. Wajahnya seolah berkata bahwa dia baik-baik saja.

Bagaimana dia bisa menjadi seperti ini setelah minum? Winona tercengang olehnya. "Mengapa kalian tidak membantunya kembali ke kamar untuk beristirahat?" Winona memandangi para anak buah Tito dengan agak tidak sabar.

"Tuan menolak untuk pergi." Para anak buah Tito tidak bisa membujuk majikannya untuk kembali ke kamar.

Jika Tito bukan tamu di rumahnya, Winona pasti sudah berteriak secara langsung. Tapi karena Tito adalah tamu, dia tidak bisa melakukan itu dan harus menahan dirinya. "Tito, apakah kamu mau kembali ke kamar dan beristirahat?" Winona berkata dengan nada yang lembut. Suaranya melambat saat ini, seolah sedang membujuk seorang anak kecil.

"Ya." Tito mengangguk. Dia bangun dan sedikit terhuyung. Winona pun mengulurkan tangannya untuk membantunya. Tangannya menggenggam erat tangan Tito. Dia bisa menghirup bau alkohol. Setelah itu, ada gelombang panas yang perlahan menekan telinganya. Tito berbisik di telinga Winona, "Ayo kembali dan istirahat."