"Ga," panggil Dina malam itu. Dia sudah berdiri di depan kamar Raga dengan membawa minuman dan makanan yang ia beli tadi.
Pintu terbuka beberapa menit kemudian, rupanya Raga sudah tidur malam itu.
"Kenapa?" tanya Raga sambil membuka matanya yang sudah lengket.
"Aku gak bisa tidur," jawab Dina. "Besok aku udah mulai kerja."
Raga diam dan menatap wajah Dina.
"Mau minta temenin begadang?"
Dina tersenyum kemudian mengangguk. Ia berjalan ke arah bangku yang terletak tak jauh dari pintu kamar Raga. Ada beberapa jemuran Savira yang lupa wanita itu angkat. Bukan sembarangan jemuran tetapi ada bra dan juga celana dalam berenda.
Raga yang melihatnya langsung memalingkan wajahnya karena malu.
"Aku gak tau kalau kamu itu baik," ucap Dina tiba-tiba. Ia membuka penutup kaleng sodanya.
"Biasa aja kok," sahut Raga.
"Tadi sama mbak Vira, aku gak nyangka kamu bakalan begitu cemas dan langsung bawa dia ke klinik."
Raga terkekeh kemudian mengambil soda yang diulurkan oleh Dina.
"Kayaknya semua orang pasti bakalan begitu deh, aku cuma mau membalas kebaikan dia soalnya udah izinin aku tinggal di sini. Dan gratis, dia juga gak sengaja bantu aku keluar dari rumahku."
Entah mengapa Raga malah menceritakan masalah ini pada Dina. Ia sangat terbuka dengan perempuan itu berbeda ketika bersama dengan Savira. Apa karena persamaan umur mereka?
"Kamu kenapa mau keluar dari rumah kamu?" tanya Dina.
"Apa ya? Ayah aku—aku gak betah sama dia," jawabnya. Raga menoleh ke arah Dina sekilas kemudian menatap ke depan lagi.
Ketika ia mendongak, ia melihat banyak bintang malam ini. Sangat indah mungkin karena sudah jam satu malam dan rasanya sangat sunyi.
"Ga, kalau misalnya kamu mau nolongin mbak Vira. Kamu bisa dong kalau gitu nolongin aku?"
Raga menaikkan kedua alisnya. "Nolong apa?"
"Uhmm—ini soal mantan pacarku yang itu—kalau misalnya dia nemuin aku—"
"Kalau dia nemuin kamu?"
"Tolong—bilang sama dia kalau kamu pacarku," lanjut Dina tanpa ragu.
Raga diam, kemudian menghela napasnya.
"Pura-pura jadi pacar kamu?"
Dina mengangguk.
Raga berpikir sejenak. Dia meletakkan kedua tangannya di belakang untuk menumpu tubuhnya. Wajahnya menengadah menatap langit malam lagi.
"Aku lagi gak punya pacar, kayaknya gak apa-apa kalau cuma pura-pura."
Dina kemudian tersenyum.
"Emangnya pacar kamu masih nyari kamu?"
"Iya, kayaknya dia masih nyari aku."
"Kalau dia ngajak nikah kamu, gimana?"
"Gak mau."
"Kenapa?"
"Pacaran aja udah main kasar apalagi kalau udah nikah."
Raga mendadak teringat dengan ibunya. Hal itu sama seperti yang ibunya alami selama berumah tangga dengan ayahnya selama ini. mendapatkan perlakuan kasar bukan seperti layaknya suami yang memperlakukan istri.
"Bagus kalau begitu, kamu jangan mau nikah sama lelaki begitu," ucap Raga.
"Kayaknya kamu bukan tipe yang begitu ya, Ga."
Kali ini Raga tersenyum. Mana bisa dia menjadi mirip seperti ayahnya ketika dia saja membenci ketika ayahnya memperlakukan ibunya seperti samsak tinju.
"Menurut kamu mbak Vira gimana?"
"Si Tante?"
Dina terkekeh tiap kali mendengar Raga menyebut Savira dengan panggilan tante, sepertinya Savira terlalu muda untuk dipanggil tante oleh Raga.
Kecuali jika Raga masih anak TK mungkin masih wajar jika dia memanggilnya dengan sebutan tante.
"Iya."
"Dia baik kok, meskipun ceroboh."
"Kamu kenapa manggil dia tante?"
"Seneng aja sih waktu liat dia marah-marah aku panggil tante, tapi akhir-akhir ini dia gak marah. Jadi kurang seru."
**
Pagi-pagi sekali Savira sudah keluar dari kamarnya. Dia melihat Raga dan Dina sudah rapi. Dina dengan seragam barunya kemudian Raga, mungkin dia mau ke kampusnya untuk mengurus cutinya. Atau entahlah.
"Mau berangkat kerja?" tanya Raga ketika Savira duduk di kursi meja makan.
"Iya."
"Udah sembuh?" tanya Raga lagi.
Dina menatap bagaimana Raga berbicara dengan Savira.
"Udah, aku semalem udah minum obatnya. Dan rasanya udah enakan sekarang."
"Mau bareng?"
"Gak usah, aku masih nanti kok berangkatnya. Sama Dina aja tuh."
Dina yang disebut namanya langsung menatap Raga. "Iya Ga, sama aku aja. Aku lupa jalan ke sana soalnya."
"Ya udah kalau gitu."
Setelah ke kampus Raga hendak menemui ibunya yang saat ini pasti ada di rumah. Ia khawatir karena sejak tadi malam ibunya itu tak bisa dihubungin oleh Raga.
"Ga jangan lupa training lagi ya, nanti beda tema sama yang kemarin," ucap Savira mengingatkan. "Seminggu lagi kamu udah bisa kayak yang lain kok."
"Iya."
"Jangan nanya gaji dulu."
"Enggak."
Lalu setelah makan Raga bersiap akan pergi pagi itu bersama dengan Dina yang berada di belakangnya. Ia tampak senang ketika berangkat dengan Raga, mungkin selain karena dia tak perlu memanggil ojek online. Dia bisa mengobrol lebih lama dengan lelaki itu.
Namun sayangnya ketika di perjalanan Raga diam saja sejak tadi. Dia tak seperti kemarin yang rajin berbicara.
"Kamu kenapa ga? Lagi ada masalah?" tanya Dina. Kepalanya sudah berada di samping kepala Raga.
"Gak apa-apa, aku kepikiran sama ibuku."
"Mau ke sana abis ini?"
"Iya."
Lalu percakapan itu berhenti sampai sana. Hingga dia selesai mengantarkan Dina di tempat kerjanya. Di sebuah minimarket yang berjarak 5 km dari rumah Savira.
Dina menatap kepergian Raga dengan senyum tipis di bibirnya.
"Siapa Din?" tanya temannya, dia juga masih baru di sana.
"Pacar," jawab Dina.
"Kalau dari belakang sih keliatan ganteng."
"Emang ganteng kok, dia model di majalah."
"Serius?" Temannya seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Dina.
"Nanti kalau majalahnya udah terbit aku kasih tahu ke kamu."
Dina mendadak menjadi begitu percaya diri dengan mengatakan bahwa Raga adalah pacarnya.
**
Suara pintu pagar terdengar dari ruang tamu rumah Rosma. Ketika dia pergi melihat melalui jendela dia melihat anaknya sedang berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Rosma buru-buru membukakan pintu untuk Raga dan mengajaknya sarapan.
"Raga udah sarapan, Bu."
Ibunya tak mungkin sarapan dengan ayahnya karena semalam ayahnya tak pulang.
"Kenapa sms sama telepon dariku gak diangkat?" tanya Raga.
"Hape ibu ilang tadi malam, gak tau jatuh di mana?"
"Emangnya ibu pergi ke mana malam-malam?"
Rosma tak bisa memberi tahu yang sebenarnya terjadi.
"Ga, ibu kayaknya mau ceraiin ayah kamu."
Mata Raga membulat, masih tak percaya dengan apa yang baru saja masuk ke dalam telinganya.
"Tapi ayah kamu mau kamu ikut sama dia."
"Buat apa?! Raga udah dewasa, jadi bisa putusin sendiri." Raga memeluk ibunya itu sangat erat. "Ibu tenang aja, Raga gak bakalan ninggalin ibu."
"Iya, ibu percaya."
"Tapi tunggu dulu." Raga menguraikan pelukannya. "Kenapa ibu tiba-tiba berubah pikiran?"