Chereads / A Song of the Angels' Souls / Chapter 8 - Warung Kopi

Chapter 8 - Warung Kopi

Rava duduk di sebuah warung kopi yang sepi. Pandangannya terhujam ke langit-langit. Saat sang pemilik warung mengantarkan kopi susu kepadanya, ia tetap tak berkutik.

Apa yang harus dilakukannya? SMA saja dirinya tidak lulus. Apakah bisa dirinya bekerja kasar dengan tubuhnya yang jarang bergerak? Perlukah dia sekolah lagi? Uang dari mana? Atau mungkin dia bekerja menjaga toko atau semacamnya? Apa dirinya yang jarang bersosialisasi dengan orang ini mampu?

Kening Rava mengerut saat seorang pemuda berkacamata duduk di sebelahnya. Pemuda berambut pendek itu tersenyum ramah kepada Rava, yang cuma membalas dengan anggukan canggung. Begitu mau meraih cangkirnya, Rava mendapati perempuan dengan rambut merah yang dikucir duduk di hadapannya. Perempuan yang wajahnya bernuansa latin seperti artis telenovela itu juga tersenyum kepadanya.

Rava kesal. Ia sedang ingin menyendiri, tetapi dua orang itu malang merecokinya. Apa mau mereka? Bukankah banyak tempat kosong di warung itu? Rava ingin pindah tempat, tetapi di saat yang sama dia merasa itu tak sopan.

"Mau pesen apa, Mas, Mbak?" tanya sang penjaga warung, seorang bapak berkumis tebal.

Si pemuda berkacamata menunjuk rentengan minuman sachet di belakang sang penjaga. "Es cokelat aja, Pak. Yang mana aja."

"Saya mau mie goreng pake telor, Pak. Dua dijadiin satu. Telornya juga dua. Minumnya es teh aja," pesan si perempuan berwajah artis telenovela.

Kekehan kecil meluncur dari mulut si pemuda berkacamata. "Dia ini suka banget yang namanya mie instan. Katanya itu makanan terenak yang pernah ditemuinya. Kalau bidadarimu bagaimana? Suka juga?"

Rava yang sedang menyeruput kopinya langsung tersedak hebat. Dia tak sempat bereaksi saat si perempuan berwajah artis telenovela menggenggam tangannya. Rava bisa merasakan kelembutan dan kehangatan dari tangan perempuan itu.

"Perkenalkan, aku Ione dan dia tuanku, Stefan," ucap perempuan berkulit cokelat terang itu.

Otak Rava seolah berhenti berfungsi. Selain degup jantungnya naik gara-gara tangannya dipegang oleh wanita cantik, ia juga tak mengerti situasinya sekarang. Tuan lain dan bidadari lain datang kepadanya? Apa ini deklarasi perang? Apa dirinya akan diculik dan dijadikan sandera?

"Hei, seharusnya sekarang kamu sudah bertanya tentang apa mau kami," ujar Ione, masih memegangi tangan Rava.

Dengan gerakan lembut, Stefan memisahkan tangan Ione dan Rava. "Maaf, kami membuat kamu kaget. Kami melihat pertarungan kamu kemarin. Aku kagum dengan kamu yang mau mengorbankan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa, walau itu cuma untuk seseorang."

"Memangnya, apa yang kamu korbankan?" tanya Alsie penuh selidik.

Nafas Rava tertahan. Kepalanya pun menunduk. Isi perutnya seolah bergejolak. "Maaf, tapi aku nggak mau membicarakan itu dulu."

"Nggak masalah," sahut Stefan, melebarkan senyum hangatnya. "Kami di sini memang bukan mau membicarakan itu. Kami di sini ingin mengajak kamu bekerjasama."

"Kerjasama?" Dahi Rava mengernyit.

"Apa kamu nggak berpikir kalau pertarungan antar bidadari ini kejam? Bagaimana bisa mereka memilih pemimpin dengan menyuruh para kandidat saling membunuh?" Stefan menahan ucapannya ketika pesanannya datang. "Makasih, Pak."

"Kamu tipe pendiam, ya?" tanya Ione lagi. Suaranya sedikit tak jelas karena mulutnya tengah mengunyah mie goreng.

Stefan menyeruput minumannya. "Intinya, aku dan Ione ingin mengajak bidadari lain untuk sepakat agar jangan saling membunuh lagi. Lalu, dengan tidak adanya kemungkinan ratu akan terpilih, kita akan memaksa pihak penyelenggara untuk menghentikan perang ini."

Rava mendengar bunyi sendawa yang cukup keras. Ia melotot saat tahu piring Ione sudah kosong. Ione pun cuma cekikikan melihat ekspresi pemuda itu.

"Dengan bekerjasama, kita juga akan semakin kuat melawan para monster yang datang," tambah Stefan, tampak tak peduli bidadarinya makan dengan kecepatan di luar nalar.

Rava kembali terdiam, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Memaksa pihak penyelenggara untuk menghentikan perang ini? Semacam bernegosiasi? Apa itu mungkin?"

"Jujur, kami juga tidak tahu." Kali ini Ione yang menjawab. "Tapi, menurutku ini lebih baik daripada membiarkan bidadari-bidadari itu saling membunuh. Kamu mengerti tujuan kami, kan? Kamu sendiri sampai berkorban agar bidadarimu tidak bisa membunuh lagi. Kamu tahu nyawa itu sungguh berharga."

"Setelah melihat kamu menghentikan bidadarimu membunuh itu, aku tahu kamu adalah orang yang tepat. Kamu itu satu visi dengan kami," imbuh Stefan, menepuk pelan pundak Rava. "Jadi, bagaimana? Maukah kamu ikut dengan kami?"

"Pokoknya, kami ini akan menghentikan kegilaan ini. Bagaimanapun caranya," tukas Ione.

Rava menelan ludah. Sama sekali tak memandang Ione ataupun Stefan. "A-aku belum tahu mau ikut apa nggak."

TIba-tiba Ione berdiri, memicu Rava berjengit kaget. Pemuda itu kembali tak bisa berkata-kata apa-apa ketika Ione menunjuk mukanya.

"Kami bakal ikut ke rumah kamu! Kami bakal tunjukkan kalau kami ini tidak jahat," ucap Ione dengan nada berapi-api.

Mulut Rava hanya membentuk kata 'hah' tanpa suara.

***

Rava sebal kepada dirinya sendiri yang tadi terlalu gugup, sehingga tidak sanggup berkata 'tidak' kepada dua orang itu. Maka di sanalah mereka, memasuki gang sempit menuju rumahnya. Rava mendorong motornya, mengiringi Stefan dan Ione.

Satu bidadari saja sudah membuat jantungnya sering berolahraga. Bagaimana dengan dua?

Setibanya di rumahnya yang mungil, Rava memakirkan motornya di halaman, langsung membuka pintu kayu yang kusennya sudah keropos di sana-sini. "Masuk, yuk."

"Di sini saja, Rav," ucap Stefan lirih.

Ione duduk begitu saja di pelataran keramik rumah itu. "Kalau ibu kamu dengan obrolan kita, bisa-bisa dia kebingungan, kan?"

"Ah, sebentar." Rava pun masuk ke rumah, menemukan ibunya sedang membersihkan ruang tengah. "Lyra mana, Bu?"

"Lagi lari pagi, padahal sekarang udah agak siang." Ibu Rava melongok ke arah pintu depan. "Ada tamu? Masuk Mas, Mbak!"

"Di sini saja, Bu. Ngadem," jawab Stefan.

"Tumben kamu bawa temen," bisik ibu Rava.

Mendengar nada antusias dalam ucapan ibunya, Rava jadi merasa tidak nyaman. Sebegitu kurang bersoalisasikah dirinya, sampai membawa tamu saja membuat ibunya senang?

"Cuma temen main game online," jawab Rava sekenanya, berjalan menuju dapur.

"Biar ibu aja yang ...."

"Nggak usah, Bu." Setelah meracik tiga gelas sirup dingin, Rava kembali bergabung dengan kedua tamunya, membawa nampan berisi sirup tersebut dan setoples keripik singkong balado.

"Apa ini?" Belum juga dipersilahkan, Ione meraih toples itu dan memakan isinya. Ia sedikit terbatuk, tapi matanya berbinar. "Ini enak sekali! Walaupun agak pedas buatku!"

"Sepertinya di dunia bidadari nggak ada yang setara micin, ya?" ceplos Rava, menengok ke ujung gang saat mendengar derap dari sana.

Rava langsung membuang muka dan menutup wajahnya saat Lyra sudah semakin dekat. Gadis itu tengah berjalan dengan napas ngos-ngosan dan tubuh penuh peluh. Namun, tentu bukan itu yang membuat wajah Rava seperti disambar hawa panas untuk kesekian kalinya.

"Ada apa?" Stefan ikut melongok dan ia pun langsung melongo.

Karena keringat, tank top yang dikenakan Lyra jadi lebih menempel ke kulit dan sedikit tembus pandang, menyembulkan bagian tertentu yang cukup terlihat dari luar. Dan tentu saja, dengan tanpa penahan, bagian dada Lyra bergerak-gerak liar ke sana ke mari.

Krek!

Kepala Stefan dihadapkan paksa ke arah lain oleh Ione. Sambil memegangi lehernya, Stefan menganga kesakitan.

"Teman kamu, Rav?" tanya Lyra, seolah tak terjadi apa-apa.

"Kenapa kamu keluar dengan pakaian seperti itu, sih!" Wajah Rava menghadap Lyra, tetapi matanya melirik ke samping, membuat ekspresi bicaranya menjadi aneh.

Ione merangkul Lyra, langsung berkata dengan nada ceria, "Kamu tahu, di bumi ini ada sebuah penemuan spektakuler bagi kaum wanita, loh. Namanya bra. Fungsinya untuk menahan dada kita. Kalau bergerak dengan menggunakannya, dada kita jadi tidak akan ke mana-mana. Itu cocok sekali untuk dada besar seperti kita."

"Aku sudah mencobanya, tapi kekecilan dan tidak nyaman," jawab Lyra dengan nada datar. "Ngomong-ngomong, ucapan kamu itu memberi kesan kalau kamu bukan berasal dari bumi. Kamu seperti baru saja tahu tentang bra. Manusia bumi seharusnya tahu tentang bra sedari dulu."

Omongan Lyra memang benar, tetapi tetap saja terdengar absurd di telinga Rava.

"Perkenalkan, aku Ione, seorang bidadari." Ione memberikan senyum lebar. "Tapi, aku datang ke sini tidak untuk bertaru ...."

Serta-merta Lyra mendorong Ione. Cahaya putih pun mulai menyelimuti tubuh bidadari Rava.

"Tunggu!" cegah Rava dan Stefan secara bersamaan.

"Aku tidak keberatan bertarung denganmu, tapi lebih baik kita pindah ke tempat yang sepi," ucap Ione santai. "Kalau kita bertarung di sini, Piv akan mengaktifkan pembekuan wilayah di lingkungan ini. Bisa-bisa ada kecelakaan di jalanan terdekat. Kalau di tempat sepi, Piv hanya akan mengaktifkan penghalau.

Lyra pun tak jadi memasang kuda-kuda. Cahaya yang menyelimuti tubuhnya juga lenyap.

"Penghalau?" Rava mengernyitkan dahi.

"Kalau ada monster atau bidadari bertarung di tempat terdapat banyak manusianya, pihak penyelenggara melalui Piv akan membekukan lingkungan. Tapi, kalau bidadari akan bertarung di tempat sepi, mereka hanya akan mengaktifkan semacam pembatas tak terlihat. Pembatas ini akan mencegah manusia untuk datang, mereka akan balik arah ketika sudah dekat dengan area pertarungan itu," terang Stefan sambil mendekati Ione. "Kamu mau ngapain, Yon? Kita di sini ingin berdamai, bukan mau bertarung."

Lyra menoleh kepada Rava. "Berdamai? Apa kamu percaya dengan mereka, Rava? Kamu seharusnya tahu, semua bidadari adalah musuh kita, mau dia baik atau jahat."

Tak bisa memberi jawaban, Rava hanya mengangkat bahu.

"Terkadang, untuk meyakinkan seseorang itu tidak cukup dengan kata-kata." Ione nyengir lebar. "Baru berkenalan saja, Nona Lyra ini sudah ingin menyerangku, Stef. Artinya, dia lebih ingin bertarung, daripada berdiskusi."

"Ada lapangan tak terlalu jauh dari sini." Lyra menunjuk ke arah utara. "Di sekitarnya cuma ada semacam perkebunan berlumpur. Aku rasa, hanya sedikit orang yang akan ke sana."

"Baik." Ione mengangguk mantap.

Rava memegangi keningnya. Ia sangsi semuanya akan baik-baik saja.