AKU sangat terkejut saat Rain sedang terbaring di kasur lalu di kompres oleh seorang pria yang tak ku kenal.
"Rain lu kenapa?" Tanyaku pada Rain
"Dia demam tinggi bang." Sahut pria yang tak ku kenal itu.
Aku langsung memandanginya. Pria itu sepertinya sebaya dengan Rain. Wajahnya lumayan ganteng. Tubuhnya tinggi kurus dan memakai kacamata. Kulitnya pun putih, baru pertama kali ini aku bertemu dengannya.
"Siapa lu?" Tanyaku pada pria tersebut.
"Kenalkan bang, nama gua Tristan." Jawab Tristan memperkenalkan dirinya seraya menyodorkan tangannya.
"Owh Tristan, gua Radit kakaknya Rain." Seruku membalas jabatan tangannya. "Sejak kapan lu kenal sama Rain?"
"Baru 2 hari ini bang."
"Dimana kalian bertemu?" Tanyaku dengan tegas dan penasaran.
"Ngg... itu..., di... di..."
"Dimana?" Selaku kesal.
"Di diskotik bang." Sahut Tristan merasa ketakutan dan menundukkan kepalanya.
"Apa? Diskotik? Kenapa dia bisa sampai ke tempat itu?" Tanyaku marah sambil menarik kerah bajunya Tristan.
"Gu.. gua gak ta.. tau bang. Di... dia sendiri ya.. ya... yang datang." Jawab Tristan gugup ketakutan.
"Brengsek lu, awas saja kalau gua tau lu yang mengajaknya kesana." Seruku kesal lalu melepaskan tanganku dari kerah baju Tristan.
"Kenapa dengan Rain? Apa yang terjadi dengannya?" Tanyaku lagi.
"Di.. dia tadi telpon gua bang suruh datang ke sini. Katanya dia lagi demam." Jawab Tristan.
"Terus udah lu bawa dia ke dokter?"
"Belum bang, tapi gua udah ajak Rain ke klinik tapi dia tidak mau. Katanya dia mau minum obat warung saja. Jadi gua belikan obat demam untuknya."
Aku langsung duduk di samping Rain seraya mengusap kepalanya. Tak terasa air mataku menetes dan menyesal telah meninggalkannya sendiri di rumah. Berharap dia akan mandiri dan menjadi pria yang lebih baik, tapi malah dia merusak dirinya sendiri.
Rain pun perlahan membuka matanya. Aku langsung menghapus air mataku.
"Ra... Radit...!" Seru Rain pelan.
"Iya Rain, gua di sini. Badan lu panas sekali. Kita berobat ke rumah sakit ya." Sahutku merasa khawatir. Rain pun menganggukkan kepalanya.
"Lu bisa nyetir mobil?" Tanyaku pada Tristan.
"Bi.. bisa bang." Jawab Tristan gugup.
"Ya udah ini kunci, lu bawa mobil. Gua akan bawa Rain ke rumah sakit." Seruku seraya memberikan kunci mobil kepada Tristan.
Aku langsung mengangkat tubuh Rain yang terasa berat. Lalu aku menuruni tangga dan memasukkan Raib ke dalam mobil. Aku duduk di belakang menjaga Rain yang aku baringkan.
"Lu panas banget Rain. Lu bertahan ya, kita akan sampai ke rumah sakit." Seruku sambil mengelus kepala Rain.
"Diiit, gua minta maaf ya." Seru Rain pelan.
"Eh, minta maaf kenapa? Lu gak salah, gua yang salah karena meninggalkan lu sendiri di rumah." Seruku merasa bersalah.
"Cepat sedikit lu nyetirnya." Ketus ku pada Tristan.
"I...iya bang." Sahut Tristan lalu menambah kecepatan mobil.
Setelah sampai di rumah sakit, aku langsung masuk ke IGD menggendong Rain. Dokter pun datang memeriksa keadaan Rain.
"Bagaimana Dokter?" Tanyaku penasaran.
"Dia cuma demam, nanti aku kasih resep obat buat dia." Jawab Dokter tersebut.
Setelah dokter memberikan resep, aku langsung bergegas menebus obatnya di apotik. Setelah obat diberikan, aku langsung membayar semua biaya rumah sakit.
Setelah selesai semua, aku kembali pulang ke rumah. Sesampai di rumah aku bergegas masuk sambil menggendong Rain. Aku langsung membaringkan Rain di atas kasur.
Tristan masih mengikuti kami sampai ke kamar. Aku tidak terlalu suka melihat Tristan. Sepertinya dia juga khawatir dengan keadaan Rain.
"Lu sudah boleh pulang. Gua akan merawat Rain." Seruku.
"Ta.. tapi bang, gua mau menemani Rain di sinj." Sahut Tristan.
"Gak perlu, gua bisa merawat adik gua. Lu pulang saja. Dan terima kasih lu sudah merawat Rain saat gua tidak ada di rumah." Seruku.
Rain pun menatapku dan Tristan. Aku pun jadi heran melihat tatapan Rain.
"Jangan suruh dia pulang, biarkan saja dia di sini." Seru Rain dengan suara yang sedikit serak.
"Gak apa-apa Rain, gua kan udah ada di sinj untuk jagain lu." Sahutku seraya mengompres kepalanya.
Rain pun tetap bersikeras menahan Tristan agar tidak pulang. Aku pun mengalah dan membiarkan Tristan di rumah ini.
"Ya udah, lu jagain dulu Rain. Gua mau masak bubur buat Rain agar dia bisa minum obat dari rumah sakit." Seruku.
"Baik bang." Sahut Tristan.
Aku pun langsung turun ke dapur untuk memasakkan bubur buat Rain. Aku menjadi curiga pada Rain dan Tristan. Apakah mereka ada hubungan spesial.
Baru saja aku berpikiran yang aneh-aneh, aku jadi teringat peristiwa semalam bersama Andreas. Tiba-tiba aku menjadi kesal dan jijik kalau mengingat kejadian semalam.
"Kenapa gua jadi berfikiran negatif sama mereka. Sedangkan kesalahan gua yang lebih parah. Gua yang marah-marahin Rain saat gua bilang dia gay, tapi malah gua yang melakukan hal tersebut." Gumamku.
Bubur pun masak dan aku langsung mengantarkan semangkok bubur buat Rain. Saat masuk kamar, aku langsung menghampiri Rain.
Aku membantu Rain untuk duduk agar gampang menyuapinya.
Rain pun nurut apa yang ku bilang. Aku pun menyuapi Rain. Tristan terlihat khawatir juga kepada Rain. Sesekali Tristan melihat ke arahku. Saat aku menatapnya dia langsung mengalihkan pandangannya.
Mungkin Tristan berpikir kalau aku tidak peduli dengan Rain. Rain pasti juga sudah banyak menceritakan tentang aku. Pasti saat ini dia berpikir aku adalah kakak yang tidak bertanggung jawab terhadap adiknya.
Bubur pun habis dimakan Rain. Selanjutnya aku memberikan obat kepadanya.
"Cepat sembuh ya Rain." Seruku memberikan obat kepada Rain.
Sehabis minum obat, Rain langsung berbaring dan tak lama tertidur. Saat Rain sudah tidur aku langsung menarik tangan Tristan ke luar kamar.
"Siapa-siapa saja teman Rain saat dia ke diskotik?" Tanyaku.
"Ti.. tidak ada bang. Cu.. cuma a... aku saja seorang diri saat itu menemaninya. Dia sangat mabuk berat hingga aku tak tahu harus mengantar Rain pulang kemana. Makanya aku membawanya ke hotel." Jawab Tristan menjelaskan.
"Lu gak ngapa-ngapain Rain kan?" Bentakku seraya menarik kerah baju Tristan.
"Ma... maksud abang apa?" Tanya Tristan ketakutan.
"Ma.. maksud gua..., ya lu gak apa-apain Rain kan?" Tanyaku balik merasa bingung mau bilang apa.
"Gu... gua gak ada menyakiti Rain bang, sumpah!" Jawan Tristan makin ketakutan.
Aku pun melepaskan kerah baju Tristan. Aku tidak mungkin menanyakan hal tersebut kepadanya. Tidak mungkin aku bilang kalau Tristan melakukan hubungan intim kepada Rain.
Pikiranku tiba-tiba kacau dan aneh-aneh saja yang muncul di benakku. Kenapa aku jadi seperti ini, masa aku menuduh Tristan melakukan hal itu. Kenapa cepat sekali aku berpikiran negatif kepada orang sekarang. Aku menjadi tak terkontrol setelah kejadian semalam yang membuatku sangat kesal.
"Ya sudah, lu pulang saja. Biar gua yang merawat Rain." Seruku.
"Ba.. baik bang." Sahut Tristan langsung lari meninggalkanku.