Chereads / Simfoni Asmara Sepasang Bintang Jatuh / Chapter 21 - Dua atau Tiga Hal (2)

Chapter 21 - Dua atau Tiga Hal (2)

Ini awalnya adalah lagu tema dari sebuah drama urban idola remaja di kehidupan sebelumnya. Andi mengingat lagu pembukanya yang penuh gairah dan liriknya yang penuh ekspresi.

Entah apakah orang lain akan suka, tapi Andi merasa lagu itu sangat cocok dengan pria muda yang berdedikasi untuk mengejar impian menjadi seorang penyanyi.

Pertama, dia menulis liriknya, dan tak lama kemudian, dia sudah menyelesaikan bagian pertama dari musik pengiringnya.

Sudah sewajarnya dia tidak mau bersikap konyol dan memberikan partitur penuhnya sekarang. Saat itu dia tidak hanya sedang berdua dengan bosnya, dan ada produser musik di sebelahnya. Tentu saja dia akan berhati-hati.

Pak Hengki melihat kehati-hatian Andi dan tersenyum, lalu berkata, "Tidak usah terlalu berhati-hati. Meskipun saya orang biasa-biasa saja di industri ini, saya masih memiliki etika!"

Andi berpikir sejenak. "Kalau begitu saya akan menyanyikannya sekali, lalu silahkan didengarkan apakah lagunya cocok."

Setelah mendapatkan persetujuan Pak Hengki, Andi menghampiri beberapa alat musik di dekat sana dan mengambil sebuah gitar listrik.

Setelah pendahuluan yang penuh semangat, Andi bernyanyi dengan suara yang dalam:

Bagi kalian yang menyerukan kejenuhan,

namun enggan kembali pulang setiap hari,

'Kan kupinta kalian pulang,

pulang setiap hari. Rumah tetaplah rumah!

Aku tidak ingin pulang.

Jika kau ingin kembali, kembalilah.

Kemudian klimaks bernada tinggi terdengar:

Jangan atur apa yang boleh dan tak boleh kulakukan,

Jangan khawatir akankah ku menang, ataukah tidak

Kuberikan secuil perasaan pada dunia,

Yang mencintaiku tidak membantuku membuat keputusan,

Keputusanku dibuat oleh satu orang,

Satu orang itu adalah diriku sendiri.

Masa mudaku adalah penggerakku!

Lagu "Keputusan Satu Orang" tidak hanya mengejutkan Pak Hengki, tapi juga Pak Daud. Itu juga membuat takut Yenny dan Sinta. Ternyata pria itu masih punya jiwa liar!

Yang paling terkejut adalah Jeffrey. Dia mengepalkan tangannya; ini musik yang dia inginkan, ini musik yang dia inginkan. Bukan alunan lembut, tapi teriakan yang liar.

Liriknya sudah terpatri di dalam hatinya.

Usai Andi menyanyikan lagu itu, para penonton bertepuk tangan.

Pak Hengki berkata, "Sudah lama sekali saya tidak mendengar lirik yang begitu dalam, anak muda, luar biasa!"

Andi menjawab dengan sopan, "Yang seperti ini bisa ditemukan di mana-mana!"

Michelle tampak cerah, dan dia ingin bersorak dengan penuh semangat. Sayangnya, ini bukan saat dia boleh berbicara. Dia hanya bisa berteriak dalam hati, 'Ah, Kak Andi memang layak menjadi seorang senior. Karyanya tetap luar biasa!'

Melihat kemampuan Andi dari lagu ini, Pak Daud juga merasa sangat puas. Tanpa basa-basi, dia berkata, "Kalau begitu kita sepakat. Biayanya akan disamakan dengan yang terakhir. 250 juta, ya?"

"Tunggu. Kami mau 300 juta untuk lagu ini!" kata Sinta tiba-tiba.

Pak Daud memperhatikan Andi tanpa bicara. Ekspresinya mengatakan, "Apa jangan-jangan wanita ini adalah agennya?"

"Benar," kata Andi dengan tegas. Satu lagu itu saja sudah menguras pemikiran Andi, dan kekurangan uang saat ini sangat buruk sehingga dia tidak peduli apakah dirinya harus bersopan-santun!

Sebaliknya, Pak Daud tersenyum. "Aku akhirnya melihat bahwa kalian anak-anak muda tidak bermental tempe. Tiga ratus juta, kalau begitu."

Dan dengan begitulah, para tamu dan tuan rumah saling diuntungkan. Suasananya harmonis, dan bahkan senyum Pak Sandi tampak lebih enak dipandang.

"Baiklah, bisakah aku mengucapkan beberapa patah kata?" Jeffrey bertanya.

Semua orang menyadari bahwa mereka telah mengabaikan sang tokoh utama dari kejadian ini.

"Aku tidak suka beberapa kata dari liriknya. Apa bisa diubah?" tanya Jeffrey.

"Yang mana?" Semua orang penasaran.

"Yang itu!�� Jeffrey menandai beberapa kalimat dengan pulpen.

Semua orang melihatnya. "'Kan kupinta kalian pulang, pulang setiap hari. Rumah tetaplah rumah!," dan "Kuberikan secuil perasaan pada dunia."

Mental pemberontak anak ini cukup kuat. Semua orang bergumam sendiri, tapi melihat wajah Pak Daud, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya.

Pak Hengki bertanya dengan gamblang, "Kau mau menyanyikan kalimat 'Biar ku membuat keputusan sendiri' dua kali?"

Jeffrey mengangguk.

"Bagaimana menurutmu?" Pak Hengki menoleh untuk bertanya pada Pak Daud.

Pak Daud mengerutkan kening, tapi akhirnya setuju!

Sayang sekali! Pak Hengki berpikir dengan menyesal.

Ciri khas lagu ini terletak pada beberapa kalimat yang menyerupai dialog dan konflik antara golongan tua dan generasi muda. Ini adalah titik terang terbesar, tapi pada akhirnya, Jeffrey meminta liriknya diubah. Kesan luar biasa yang sebelumnya ada pun menghilang.

Lupakan, biarkan saja dia melakukannya! Pak Hengki tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya bertugas mengambil lagunya, lalu menerima biayanya. Dia tidak bertanggung jawab setelah itu.

Pak Hengki berbeda dengan Andi. Dia mengaransemen musik. Dia hanya mengambil upah dan tidak menandatangani namanya. Andi sebagai penulis lagu tidak dapat mengubahnya, tetapi tidak masalah bila hak ciptanya sudah dibeli. Anak baru seperti ini belum pernah melihat dari ketinggian di industri hiburan. Tidak ada gunanya membayarnya lebih untuk reputasinya sekarang, apalagi Tuhan mungkin tidak mendengarkan.

=

Setelah menerima cek, Andi meminta istrinya untuk menyetorkan uangnya di bank.

Dia lantas mengobrol dengan Pak Hengki di sana, dan membantu Jeffrey menyusun berbagai pertunjukan. Sinta melihat kontrak yang baru ditandatangani dengan penuh minat.

Pak Hengki menyerahkan sebuah kartu nama, "Pak Andi, kalau Bapak punya waktu, datanglah temui saya untuk duduk dan mengobrol."

Andi bergegas mengambilnya, dan kemudian berkata dengan sopan, "Terima kasih. Maaf, Pak Hengki, saya belum punya kartu nama!"

"Haha, tidak masalah! Pak Andi kerja di mana sekarang? Saya kenal beberapa perusahaan dan studio produksi di kota ini, tetapi saya belum pernah mendengar nama Bapak."

Andi semakin merasa malu. "Saya—saya bekerja sebagai seorang aktor sekarang!"

Michelle menumpahkan kopi yang dipegangnya. Sinta tertawa.

Pak Hengki terkejut. Dia mungkin tidak berharap Andi akan mengatakan sesuatu seperti ini. Apakah kemampuan aktor-aktor muda begitu hebat sekarang?

Tapi setelah dipikirkan lagi, dia menyadari bahwa situasi ini sepertinya cocok untuknya?

"Pak Andi tertarik untuk bergabung dengan studio saya?"

"Hah?" Alis Andi mengernyit. Yenny, yang baru saja kembali, ikut terkejut.

"Studio saya biasanya melakukan produksi musik untuk berbagai serial TV. Tentu saja kalau ada yang ingin merekam musik, dan harganya tepat." Melihat Andi ragu-ragu, Pak Hengki melanjutkan, "Tidak perlu terburu-buru. Pak Andi dapat kembali dan memikirkannya."

"Kalau begitu aku pamit dulu!" Andi melihat Jeffrey sudah terbiasa dengan musiknya, jadi dia mengucapkan selamat tinggal.

=

Setelah Andi pergi, Pak Hengki menarik Michelle dan bertanya, "Apakah kamu kenal dengan pemuda itu?"

"Cukup kenal." Michelle menegaskan, "Dia senior saya di universitas!"

"Itu senior kamu? Tapi sepertinya dia tidak terlalu mengingatmu ketika dia melihatmu tadi!"

"Dia dulu adalah sosok yang seringkali ditemui di berbagai pesta malam di sekolah, tapi dia tampil sekali ketika dia akan lulus. Dia jatuh dari panggung dan kepalanya terantuk, dan katanya dia mengidap amnesia selama beberapa waktu. Tapi sekarang sepertinya dia sudah baik-baik saja. Amnesianya sepertinya tidak begitu serius, tetapi sepertinya dia masih tidak bisa mengingat saya."

"Jadi memang satu daerah denganmu! Pantas saja kudengar aksennya agak aneh!"

"Paman, siapa Pak Daud ini? Dia sangat cakap, dia sebenarnya bisa berafiliasi dengan Hassan Entertainment Company. Ini adalah agensi terbesar yang mengkhususkan diri pada penyanyi di Kota Sinan, dan telah bekerja sama dengan stasiun TV kedua sepanjang tahun." Michelle menunjuk ke arah Pak Daud yang sedang berbicara dengan Jeffrey di studio rekaman dengan suara pelan.

"Ini sesuatu yang tidak seharusnya kamu tanyakan, tunggu sampai ada yang pergi!"

"Oh!"

=

Setelah keluar dari gedung, Sinta masih merasa pusing.

"Kak, coba ceritakan padaku!"

Yenny segera menggulung naik lengan bajunya dengan penuh minat.

"Tadi, ketika aku tidak ada!"

"Ah, aku ingat!" Sinta menepukkan tangannya. "Pak Hengki, seorang produser terkenal di industri ini, memiliki hubungan kerja sama dengan banyak perusahaan film dan televisi! Aku baru saja berkata tadi di dalam kantornya. Aku merasa namanya familiar."

"Jadi apa yang diributkan tadi?" Yenny memandang kakaknya dengan curiga. "Hei, hei, kamu bekerja di industri hiburan, tapi kamu bahkan tidak tahu ini. Ini bisa jadi berita!"

"Apanya! Siapa juga yang lebih tertarik menonton industri hiburan daripada menonton artis-artisnya? Berapa banyak orang yang akan mengingat produser, atau seorang penulis lagu!"

"Itu masyarakat umum, tapi kau adalah seorang profesional di industri ini. Aneh jika kau tidak tahu!"

"Siapa yang mengharuskanku untuk tahu soal produser kalau yang kugeluti hanya melibatkan artis-artis baru! Aku bahkan tidak bisa menghitung jumlah artis dari lingkaran hiburan ini, apalagi produser?"

"Ya, ya, Kakak memang benar. Kak, apakah kamu lapar? Kita akan makan," kata Yenny dengan segera.

Menyaksikan pasangan muda itu membicarakan akan makan apa mereka setelah itu, Sinta berpikir apakah hari ini dia sudah terlalu lama mengganggu pasangan muda ini.

Tetapi mengingat dirinya sendirian, Sinta memutuskan: mari ganggu mereka!