14 Years Ago.
Chicago-USA
05:00 PM.
"Are you, oke?" seorang anak bernama Anatashia bertanya hati-hati kepada lelaki yang tengah meringkuk disudut kamar.
Lelaki itu tersenyum. "Ya. You look such beautiful," pujinya.
Dia, gadis berusia sepuluh tahun itu tersenyum. Pipinya sudah merona semerah tomat.
"Take yourself, ya! Biarpun aku jauh, aku tetap ada di tempat yang sama, saat kau membutuhkanmu."
Anatashia tersenyum manis.
Tiba-tiba seorang pria berjas datang menghampiri dengan langkahnya tergesa. Wajahnya marah, menatap penuh benci bocah laki-laki berusia empat belas tahun yang kini sudah tertunduk. Kemudian pria itu bersimpuh dihadapan Natashia lalu mengusap lembut rambutnya.
"You ready, baby?" tanya pria itu sambil mengulurkan tangannya siap mengajak.
Anatashia menangangguk gentar.
Wajahnya berubah murung dengan tangan yang perlahan meraih tangan pria itu. "Dont hate me." Lirihnya.
"Ne-ver." Balas bocah lelaki itu tertatih.
Pria berjas itu akhirnya pergi bersama Natashia. Setiba keduanya di depan pintu, pria yang masih menatap bocah ketakutan itu menutup pintunya kasar juga rapat-rapat lalu menguncinya dari luar.
"I hate you!" Teriak bocah laki-laki itu sambil menggedor-gedor pintu. Tangannya memegang lalu membanting apa saja yang ia temukan di ruangannya. Ia mengamuk hebat dengan isakan tangis yang keras.Â
Hingga kemudian ia menjatuhkan dirinya ke lantai. Terbaring lemah dengan tetesan air bening yang tersisa disudut matanya.
Terdengar dari luar ruangan suara langkah cepat seperti berlari. Dari dalam, terdengar jelas bahwa napasnya tak beraturan. Seseorang itu membuka pintu dengan cepat lalu menyalakan lampu.
"Marcel?" panggil orang itu, yang suaranya milik perempuan dewasa. Tangannya terus menepuk pipi bocah itu yang matanya terpejam.
"Marcel?" panggilnya sekali lagi. Kali ini wanita itu menangis. "Help!" teriaknya kemudian berlari keluar rumah untuk meminta bantuan.
✻ ✻ ✻
Suara tetesan inpus menggema ruangan dengan serba hijau laut itu. Tercatat, ini sudah ketiga kalinya Marcel keluar-masuk Rumah Sakit.
Dari balik dinding kaca besar, wanita tadi menatap bocah itu dengan miris. Ia merasa buruk dan gagal menjadi seorang Ibu.
"Are you oke, aunt?" tanya seorang bocah perempuan berpakaian khas pasien. Usianya sekitar sembilan tahun.
Wanita itu membungkuk lalu tersenyum. "Ya." Setidaknya melihat bocah perempuan itu tersenyum, hatinya menjadi lebih baik.
"Mrs. Reynata?" seorang dokter memanggil.
Wanita yang terpanggil itu mengusap airmatanya lalu menghampiri. "Bagaimana Marcel?"
Dokter itu memegang tangan wanita yang bernama Reynata untuk menguatkan. "Kita bicara nanti. Saat ini Marcel ingin bertemu denganmu."
Reynata mengangguk dengan senyuman lalu masuk ke dalam bersama sang dokter.
"Mam, forgive me!" Lirih bocah itu dengan posisi duduk serta mata sayupnya.
Reynata yang mendengar tak kuasa menahan airmatanya. Ia memeluk tubuh anaknya itu dengan erat dan penuh penyesalan. Dalam pelukan sang mama, Marcello Briliant Scott, nama lengkap bocah itu melambaikan tangan ke seorang anak perempuan di depan pintu yang lebih dulu melambaikan tangan kepadanya.
Keduanya saling timpal senyum tulus penuh keluguan.
Dokter yang kemudian menyadari menghampiri pintu dan membukanya lebih lebar. Membuat Reynata tergusar dan ikut memperhatikan.
"Ruangan kamu di mana, sweety?" Tanya dokter lembut.
Anak perempuan itu menunjuk keluar.
Reynata ikut mendekati bocah yang ternyata anak perempuan tadi. "What is your name, honey?"
"My name is Edelwies, aunt."
Reynata mengangguk. "Nanti akan saya antarkan dia keruangannya, dok. Dia anak yang diluar tadi," jelasnya.
Dokter itu mengangguk kemudian berpamit untuk pergi ke ruangannya.
"Edel, ini Marcello. Dia anak sulung, auntie."
Bocah itu tersenyum lalu melambaikan tangannya lagi. "Hello, big guy Cello." Sapanya ramah.
Marcello tersenyum.
Sejak itu keduanya telah resmi berteman dengan baik.
Terhitung sudah hampir sepekan ini Edel selalu mengunjungi Cello, bocah laki-laki yang umurnya lima tahun lebih tua itu. Bahkan Reynata dan Lily, nama kakak dari Edelwies juga telah saling mengenal satu sama lain.
Reynata tidak pernah melihat anak sulungnya ini begitu ceria, bahkan tawanya dalam sehari bisa terdengar beberapa kali. Semua ini berkat anak yang memperkenalkan diri seperti nama salah satu bunga tercantik, Edelwies. Semoga dengan ini, kesehatan putranya membaik dan bisa segera pulang ke rumah.
"Who's hungry?" Tanya Reynata sambil tersenyum.
"Me! Me!" Edelwies menunjuk jarinya sampai berjinjit.
"Marcel too, mam."
"Oke! Wait a sec." ucap Reynata yang kemudian berjalan keluar ruangan meninggalkan keduanya.
"Edel, apa yang kau bawa itu?" tanya Marcel penasaran.
"This my homework's book. Big sister membawakannya tadi, tapi setelah ku lihat, ini agak sulit."
Marcel mengulurkan tangannya. "Boleh aku lihat?"
"Hm!" Edelwies mengangguk.
Marcel tersenyum melihat soalan itu. Lalu mengerjakannya tanpa izin. Edelwies mengerutkan dahinya lalu memperhatikan. Kurang dari lima menit Marcel bisa menyelesaikan lima belas soal matematika Edelwies. Anak perempuan itu tercengang dan merasa takjub.
"Waaa! You're the smarter guy," katanya sambil bertepuk tangan.
Marcel tertawa. Tangannya mengusap rambut Edelwies. "Itu bukan apa-apa. Tunggu sampai Kau bertemu dengan Natashia."
"Who?"
"My lil sister."
"And where is she?"
"London. Dia sedang menjadi perwakilan sekolah untuk lomba fisika Internasional."
Edelwies bertepuk tangan sekali lagi mendengar cerita hebat dari sosok orang yang juga ia anggap hebat. "Kau akan perkenalkan aku kepadanya?"
"Sure."
"Bagaimana kalau setelah keluar dari sini, kau lupa denganku, big guy?"
"Itu tidak akan terjadi."
Edelwies tampak berpikir lalu mencatat sesuatu di kertas yang ia sobek dari bukunya. "This my sister phone number. Call me every nite."
Marcel mengamati baik-baik kertas itu. "Lalu, apa yang akan aku katakan kepada Lily?"
"Take easy." Edelwies berdeham. Ia berdiri dan memperagakan cara orang dewasa bicaranya. "Hello, Lily. It's me, Cello. I am Edelwies's boyfriend. Where are my Beauty Stranger?"
Marcel tertawa terbahak-bahak. "Wait, Beauty Stranger?"
"Yep. Padahal sudah aku bilang aku ini unik bukan aneh, tapi mereka tidak mau dengar, jadi ya sudahlah." Edelwies mengendikan bahunya. Ia berbicara seperti gadis berusia dewasa di mata Marcel.
Marcel tertawa sekali lagi, kemudian ia mengulurkan jari kelingkingnya diikuti Edelwies setelahnya. Kedua jari mungil mereka berkaitan lalu wajah keduaya sumringah dan penuh tawa.
Tak lama setelah perbincangan ringan antara dua anak itu. Seseorang datang dengan langkahnya kasar serta bergerombolan.
"Marcel? Mengapa kau malah santai-santai di sini?" Tanya pria itu kasar.
"Papa? Edel, sebaiknya kau pergi dari sini." pinta Marcel panik.
Edelwies mendadak tak bersuara. Matanya fokus ke arah seorang pria berjas hitam yang suaranya menggelegar. Bahkan suaranya dinilai lebih keras dibanding saat daddy-nya memanggil ketika marah.
"Mr. Scott, anda tidak boleh berteriak di sini!" ujar satu perawat yang berusaha menenangkannya.
Pria itu tersulut melihat anaknya mengacuhkannya. Setelah mendorong perawat laki-laki itu dengan kasar, pria itu memegang lengan Marcel kuat lalu menariknya.
"Papa, dont! Please." Marcel kesakitan.
Pria itu membuka selang infus anaknya sembarangan lalu menariknya ke toilet dan menyelupkan kepalanya Marcel ke dalam ember berisi air.
Tanpa perantara Edelwies menyaksikan itu semua. Kakinya lemas dengan mata yang sudah menangis. "Kak Cello?" lirihnya.
Dari luar pintu Reynata melihat keributan diruangan anaknya langsung menjatuhkan dua kantong standing pouch berisi junk food lalu berlari panik.
"Kak Cello!" lirih Edelwies sekali lagi.
"Go-E-del-Wies!RUN!!" ucap Marcel sekuat tenaga saat kepalanya keluar dari ember.
Seperti rambatan, berita Mr. Scott salah satu pria yang nama dan wajahnya sering ada di majalah barisan Rich and Businessman telah memaksa untuk membawa putra sulungnya keluar dari Rumah Sakit tersebar luas. Dahlia yang mengetahui itu langsung datang dan membawa adiknya pergi dari sana. Di depan semua petugas bahkan semua pasien dan keluarga pasien yang menjenguk, tangan Marcello masih ditarik paksa oleh pria itu. Dari posisinya, Edelwies terus menangis melihat teman sekaligus kakaknya diperlakukan seperti itu. Mungkin pria bernama keluarga Scott itu adalah sosok ayah yang paling kejam di muka bumi ini.
Kini bocah perempuan itu hanya bisa khawatir dengan mulut yang berpanjat, semoga Marcello, dan auntie Reynata, baik-baik saja.
Marcel menoleh pada Edelwies yang masih melihatnya bersama kerumunan orang-orang di sana. Marcel tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah bocah perempuan itu.
Edelwies terus menangis seraya melambaikan tangannya juga.
"I-Lo-ve Yo-u." bibir Marcello bergerak lambat dan berulang.
Edelwies tersenyum. Mulutnya berucap. "Lo-ve Yo-u too, big guy!"
Keduanya sekali lagi saling timpal senyuman tulus. Manik mata mereka sama-sama tidak saling berpaling,sampai tubuh Marcel hilang ditelan oleh jarak yang entah berapa kilometer dari Edelwies.
Di dua kehidupan yang penuh perbedaan. Marcello tumbuh melalui kehidupan penuh disiplin juga tekanan, sementara bocah perempuan yang memperkenalkan namanya Edelwies tumbuh sebagai perempuan penggemar cerita genre Romance yang Introvert.
Till finally, in unexpeted chance, keduanya bertemu dengan kenyataan fatal yang hanya tidak diketahui oleh Marcello.