Chereads / The Perfect Unexpected / Chapter 2 - After Years

Chapter 2 - After Years

"...Haa, jadi kau tidak tahu sekarang dia berada di mana?" tanya seorang perempuan yang terdapat nama Andrea di topinya, kepada gadis muda yang sedang bercermin didepan toilet.

Gadis itu menggeleng lalu membasuh wajahnya sekali lagi di keran wastafel.

"Oh, I see, sekarang aku jadi tahu, kenapa kau masih sendiri."

Gadis itu mengernyitkan dahinya. "Itu sama sekali tidak ada hubungannya, An. Lagipula semester akhirnya ini kita sangat sibuk. Jadi aku tidak butuh seorang pria."

"Ha! Ayolah. Dengar Bia, tidak usah pakai embel-embel 'sudah semester akhir'. Sekarang kau terima saja pria bernama Jesse itu lalu mulailah berhubungan dengan dia. Dari pergi berkencan, watch movie, and sex, come on! Dikelas hanya kau saja yang aku rasa masih mempertahankan keperawananmu itu."

Gadis muda itu tercengang. Ia tidak percaya dengan Andrea, satu-satunya sahabat yang ia miliki berkata seperti itu. "Apa kau meremehkanku, An?"

"Kalau iya, kenapa?"

Gadis itu mendelik. "Baiklah, aku akan tidur dengan seorang pria tapi dengan pria yang akan ku pilih sendiri. Jadi berhentilah menjodoh-jodohkanku dengan Gio, Kenan, Rushel apalagi sekarang Jesse? Siapapun tau bahwa dia adalah laki-laki brengsek."

Andrea menghela napas. "Terus siapa? Berhentilah bermimpi kalau sikap dan penampilanmu masih seperti ini, Bia." Andrea jadi kesal sendiri.

Gadis yang dipanggil Bia itu melihat detail dirinya sendiri. "Memangnya apa yang salah denganku?"

"Yang benar saja! Selama ini kau tidak tahu? Bia, kau ini terlalu apa adanya. Maksudku, ini bukanlah dirimu yang sesungguhnya." lalu Andrea melipat tangannya di dada. Matanya melihat secara rinci sosok sahabatnya ini dari ujung kaki hingga kepala. "Atau jangN bilang kau mengincar pria yang tadi kau ceritakan itu? Yang bertemu denganmu sepuluh tahun lalu?"

Gadis itu melotot. "Itu tidak mungkin, An."

"Kenapa?"

"Sebab dia tidak tahu namaku."

Lagi-lagi Andrea tersulut. "Tidak tahu bagaimana? Hampir setiap hari kau berkunjung ke kamarnya. Berbincang, bercanda, mengerjakan PR, sampai bilang I Love You juga, tapi kalian tidak saling kenal?"

"Bukan. Maksudku pria itu hanya tahu nama belakangku. Edelwies."

"Oh my, Bianca!"

"Apa? Apa itu salah?"

"Shut up!" Andrea kesal. Sangat kesal sekali. Ia meninggalkan gadis bernama Bianca Edelwies itu seorang diri di toilet.

"An, kau mau ke mana?" Bia memperlihatkan setengah badanya dari pintu toilet.

"Aku ingin merenung perihal bagaimana bisa aku bersahabat baik dengan orang bodoh sepertimu," teriaknya.

Gadis itu menyeringai. Ia juga tidak mengerti kenapa dulu ia terus melakukan itu. Tapi apa sesalah itu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama belakang? Dia hanya ingin terdengar seperti tiga kakak perempuannya saja yang memiliki nama depan indah yang berasal dari nam bunga.

Kalau memang harus ada yang di salahkan, salahkan saja ibu dan ayah Bianca, memberikan nama yang berbeda seenaknya tanpa memikirkan diri lagi perasaannya.

Lagipula mana mungkin pria yang selaluberlarian dikepalanya itu mengingatnya? Bertahun-tahun sudah berlalu begitu saja, dan pria itu tidak pernah menghubunginya sekalipun. Di lihat dari berbagai majalah dan papan iklan yang besar di jalan, Marcello yang tumbuh menjadi sangat tampan itu juga terlihat semakin sibuk.

Deretan prestasinya siapa yang tidak tahu, bahkan tingkat ke popularitasnya sudah mengalahkan Mr. Rayyen Scott, pria kejam yang bagi Bianca tidak pantas dipanggil papa.

Bianca menghela napas panjang. "Memikirkan big guy itu hanya membuatku pusing. Tapi, ku harap kau masih baik-baik saja," ucap Bianca sambil tersenyum. Ia terus memegang satu majalah yang diambilnya dari ransel.

Setelah cukup lama memandangi majalah itu, kemudian Bianca keluar untuk mencari Andrea.

✻ ✻ ✻

Berlin-Germany.

10:00 AM

"Sir, nona Kin sudah ada diluar." ucap seorang pria berjas sambil menunduk.

"....."

"Sir?" panggilnya sekali lagi.

"Mengapa masih di sini? Sekali kau berbicara aku juga mendengarnya. Suruh dia masuk." Pria itu memukul mejanya keras.

"Ba-baik, sir." dengan gelagat ketakutan pria berjas itu pergi dari ruangan pria yang duduknya masih menghadap dinding.

"Permisi, Mr. Cello?" ucap seseorang perempuan berpakaian rapi sambil tersenyum ramah.

Pria itu membalikan kursi kerjanya lalu berdiri mengulurkan tangannya. "Panggil saja Marcel. Silahkan duduk."

Perempuan itu meraih uluran tangan itu lalu menurut dan memperkenalkan diri. "Nama saya Keinarra Kin, semester akhir Universitas Hamburg."

Pria itu memperhatikan secarik kertas yang menerangkan beberapa informasi. "Japannesse, right?"

Keinarra mengangguk.

Sesaat Marcello tampak berpikir. "Mulai besok, on time datang pukul 09.00 AM."

Keinarra sumringah. "Tentu saja, sir." Tanganya ia ulurkan lagi sebagai bentuk sepakat.

Marcello meraih tangan itu dengan senyuman pelit. "Oh ya, dont call me, Cello. And that the rules"

Keinarra mengangguk mesti ia tidak mengerti alasannya kemudian keluar dari ruangan besar itu.

Setelah diam diwaktu yang agak lama, pria itu, Marcel sapaannya, berjalan ke balkon ruangannya dilantai empat puluh. Birunya langit yang terus ia amati seakan berubah menjadi kanvas, kanvas putih yang perlahan menggambarkan satu sosok di sana. Sosok yang samar dan terus terngiang dikepalanya. Setidaknya sudah terjadi tiga tahun terakhir ini. Entah siapa itu, tapi tidak ada yang lain yang tergambar di sana. Hanya dia, anak perempuan berusia sembilan tahun yang memiliki senyuman menawan. Melihatnya juga menjadi alasan mengapa Marcel betah memandangi langit dalam waktu yang lama.

Nit!

Arloji dipergelangan Marcel menunjukan pukul 10.00 AM. 3 Januari, benar hari ini. Satu jam setengah dirasa cukup bagi jet pribadinya mengantar ia ke bandara Chicago, untuk menjemput Anatashia, adiknya.

Marcel membuka laptopnya lalu menghubungi seseorang dengan panggilan video.

"Dont do that, guy!" sahut seorang gadis cantik di layar laptop itu.

"What? Aku sudah siap landas."

Gadis itu menepuk kepalanya sendiri. "Oh my God, you're so jerk."

"I Love you too, sis," balasnya sambil tertawa.

"Dasar gila. You know what? Aku bisa meminta Kaneth menjemputku. Jadi kau tidak usah repot-repot begini."

Marcel tersenyum. "Oke see you later."

Ia tersenyum sambil menutup layar laptopnya kemudian bergegas.

✻ ✻ ✻

"An, mengapa buru-buru?" tanya Bianca yang masih mengejar Andrea menuju parkiran kampus.

"Sepupuku yang mendadak mengabarkan ingin datang ke sini, Bia." jawab Andrea yang kini membuka dan masuk ke dalam mobil.

"Jadi kenapa mengajakku? Bukankah kau tadi sedang marah?"

"Ya, memang. Tapi Alex yang memintaku untuk mengajakmu."

"Alex?" lirih Bianca dengan pikiran yang mulai memuat ingatan tentang pria itu.

Beberapa saat akhirnya mereka tiba di Midway's International Airport, Chicago. Suara operator menggema bergantian menghiasi tempat itu dengan berbagai informasi. Sambil membawa paper craft bertulis Foy, Bianca celingukan dengan embusan napas lelah.

"Sorry, Bia. Petugas sialan itu tidak membiarkan aku memarkirkan mobilku dengan cepat setelah mendengar orang penting akan datang ke tempat ini." jelas Andrea kesal.

Bianca menoleh ke belakang. Mencari tahu subjek yang dimaksud sahabatnya.

"Dont look!! Kau tidak akan percaya apa yang security bilang tentang rongsokan yang ku kemudikan. Gash, I really hate them."

Beberapa menit berlalu, seorang pria datang dan langsung menyambar pelukan hangat ke arah Bianca yang kini melotot. Pria itu datang dengan setelan casual dan senyum yang memperlihatkan gigi gingsulnya.

"Miss you so much, Bia," ucapnya.

"Hei, sepupu mu itu, aku." protes Andrea seraya berkacak pinggang.

Pria itu, Alex, melepas pelukannya lalu bergantian memeluk Andrea.

Suasana jadi begitu canggung begitu Alex meletakan lenganya Bianca. Seperti memang tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Padahal tepat dua tahun lalu, Alex yang dulu seperguruan tinggi bersama Bianca pergi tanpa berkabar dan memutuskan hubungan yang terjalin dibelakang Andrea, secara sepihak. Bianca kembali merasa bodoh saat ingatan dirinya sudah menangisi pria sialan ini.

Bianca menyingkirkan tangan Alex lalu memilih melangkah disebelah Andrea. Ketiganya kini berjalan ke arah parkiran.

"Sebaiknya kita berpisah di sini saja. Setelah ini aku mendadak ada urusan." tukas Bianca berbohong.

"Biar sekalian aku antar. Maksudku, aku dan An."

Bianca menggeleng. "Tidak perlu. Nice to meet you again, Alex." ucapnya lalu memisahkan diri dari mereka yang sekarang keheranan melihat gadis itu bersikap aneh.

Bianca mulai mengetik sesuatu dilayar ponselnya sembari berjalan. Ia ingin meminta maaf kepada Andrea atas sikapnya tadi. Mulutnya berucap terus dengan jari yang berkali-kali menyusun kata untuk menyusun kalimat yang pas.

"An, aku--awh!" Bianca terjatuh setelah menabrak sesuatu dan spontan membersihkan telapak tangannya dengan ringisan.

"Apa kau baru saja memanggilku?"

Bianca mendongakkan kepala lalu meneguk ludahnya susah payah. Dilihatnya seorang wanita cantik dan anggun berpakaian mewah sedang tersenyum ke arahnya. Mungkin selain Steffany Forsberg, ketua cherrleaders di High School-nya dulu, gadis inilah gadis kedua yang dinilai Bianca nyaris sempurna.

Gadis itu mengulurkan tangannya untuk membantu Bianca berdiri. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Bianca merapikan setelannya. "Ya. Maaf, aku ..." gadis itu sekarang kehilangan kata-kata.

"Anatashia." ucap dia memperkenalkan diri.

Bianca tertegun. "Aku Edel, maksudku, Bianca. Kau bisa memanggilku Bia."

Gadis itu tersenyum manis. Matanya memperhatikan almamater yang masih dikenakan Bianca. "Kau semester berapa?"

"Oh, aku semester akhir."

Anastashia mengangguk kemudian satu pria berjas datang dan berbisik ditelinga Anastashia.

"Sekali lagi nice too meet you, Bia. Dan ini, jika mungkin kau sedang mencari tempat untuk magang. Di tempatku banyak posisi yang mungkin bisa kau isi, aku akan senang jika kau datang besok." setelah memberikan kartu nama, Anastashia pergi dengan rombongan pria berjas.

"Woah! I can't believe it." pekik Andrea.

Bianca menoleh. "An? Kau di sini?"

"Ya, aku khawatir kau lupa jalan pulang. Dan coba lihat kau baru saja diberikan kartu nama oleh dia, Anastashia Grace."

Bianca terdiam. Dia tidak tahu siapa itu.

Andrea menghela napas lalu mengajak Bianca melihat satu gedung pencakar langit dari posisinya. "Anastashia Grace, salah satu wanita jenius yang pernah ada. Dan dia adalah young direct diperusahaan yang ujungnya bisa kita lihat sekarang."

"Hah, Seriously? Bahkan ia terlihat masih muda."

"Bukan masih, tapi memang hanya berbeda satu tahun dari kita."

"Bagaimana mungkin?"

"Mungkin saja jika dia tidak merasakan bangku sekolah dasar lebih lama. Dari yang ku dengar diusia 10 tahun, dia sudah berada di nine grade Junior School, dan mendapat gelar strata dua diusia 20 tahun."

"Oh my!"

"Dan kau, secara tidak langsung ditawar untuk berkunjung ke kantornya, that's amazing."

Bianca masih belum bisa berkata apa-apa. Setelah bertakjub ria, Bianca dan sahabatnya itu menyetop taksi dan meninggalkan bandara.

✻ ✻ ✻

Setelah semalam ia banyak pertimbangan mengenai tempat magang, akhirnya Bianca berada disini, disebuah gedung yang saat ini terang-terangan ia lihat front display-nya. Begitu elegan. Baru memasuki lobinya saja, ia merasa ragu dan psimis padahal apa yang ia kenakan merupakan salah satu pakaian terbaik di lemari kamarnya.

'God, help me!' panjatnya dalam hati.

Setelah mengatur napas, ia langsung ke meja resepsionis.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya perempuan yang berjaga.

"Hmm, saya ingin bertemu miss, Anastashia Grace."

Perempuan itu memperhatikan Bianca dengan detail. "Wawancara? Dari perusahaan TV mana, ya?"

"Tidak. Saya salah satu teman." ralat Bianca. Tapi mulutnya berucap dia adalah teman, Anastashia? Bianca ingin kabur saat itu juga rasanya. Betapa bodohnya dia sekarang.

Perempuan itu tersenyum miring lalu menelephone seseorang. "Miss ... ?"

"Bianca."

"Baiklah, ternyata memang anda tidak berbohong. Sekarang anda langsung naik saja ke lantai duapuluh lima lalu tunggu sebentar di sana karena miss Anastashia sedang ada rapat penting." jelasnya.

Bianca terdiam sesaat. Dia tidak menyangka bahwa kedatangannya memang masuk didalam list guest.

Hingga beberapa detik lift berdenting, belum selesai Bianca berdamai dengan apa yang baru saja terjadi, seorang pria, tinggi tegap, berwiba, dan sudah pasti tampan, sedang berdiri dengan karismatiknya.

"Cello!" ucapnya pelan sambil melangkah masuk dengan gugup.

Dia tidak salah, orang di sampingnya ini adalah Marcello Briliant Scott yang wajahnya selalu bisa membuat ia bahagia meski hanya melihat lewat aneka media.