Negara E
Ekor mata seorang Leo menyapu setiap sudut ruang yang terlihat begitu megah, dipenuhi dengan barang mewah atau mungkin sangat mewah. Dalam hati ia membandingkan… oh c'mon… tempat pos penjaga depan mansion ini saja tidak sebanding dengan gubuk reok milik mendiang ayah nya, apalagi… hhh… tetap saja, ia merasakan kekosongan berada di sana.
Ia butuh seseorang yang bisa mendengar keluh kesah nya, tapi dia saja berada di negara orang lain. Lebih tepatnya, orang yang telah membelinya seharga 10 milyar. Pemuda itu sempat bertanya walau dalam hati, siapa Nyonya yang mereka maksud? Pertanyaan demi pertanyaan semakin bertambah dalam benak Leo. Ia sedikit melirik beberapa pelayan yang tengah menunduk hormat pada nya. Dan juga…
"Aku Helena Scarlett, kepala pelayan di sini. Kelima pelayan itu yang akan mengurus semua keperluanmu, jadi apa pun yang kamu ingin dan butuhkan minta pada mereka. Jangan menolaknya. Kamu tidak mau kan mereka di pecat karena penolakan darimu," Leo menggeleng mendengar peneluturan wanita berumur 63th itu.
Ia menatap remot yang dia terima dari salah satu pelayan, "I-ini untuk apa?" tanyanya meralih ke arah Helena sedikit bingung.
"Nomor Satu sampai Lima adalah nomor mereka. Coba tekan nomor berapa yang kamu inginkan."
Leo menekan nomor 3, dan dalam hitungan detik suara getaran dari saku salah satu pelayan terdengar.
"Tuan butuh sesuatu?" Tanya sang pelayan dan Ia bisa melihat benda bulat di tangan kanan nya.
"Itu artinya, kamu butuh pakaian. Baiklah, mereka akan melakukan tugas nya masing-masing. Sekarang sebaiknya kamu istirahat ini sudah tengah malam."
Melihat Helena mulai melangkah, Leo dengan cepat menahan. "Tunggu Nyonya, aku ingin bertanya sesuatu." Ujar nya berharap kali ini, ia bisa mengeluarkan segala pertanyaan nya.
"Panggil aku Helena,"
Leo menggeleng, "Nyonya lebih tua dari aku, akan sangat tidak sopan jika… "
"Kalau begitu, bibi saja. Dan apa yang ingin kamu tanyakan?"
Leo berdehem, "Bibi, aku hanya ingin tau dia siapa? Kenapa dia… "
"Kamu akan tau nanti. Dia hanya mengatakan, apapun pertanyaan tentang nya simpan dan susun baik-baik. Semua nya akan terjawab dan dia sendiri lah yang menjawab nya. Tapi tidak untuk sekarang." Helena tersenyum tipis, "Baiklah aku permisi." Pamit Helena sedikit menunduk hormat begitu juga para pelayan. Leo yang merasa tak sopan jika seperti itu pun, ikut membungkuk pada mereka sebagai rasa hormat dan sopan nya.
Mata Leo sedikit mengintip, sampai pintu tertutup ia menegakkan badan nya, kembali menatap ruangan yang akan ditempati.
Perasaan kosong dan hampa itu kembali menjalar, dengan langkah pelan ia mendudukkan bokong di bawah kemudian bersandar memeluk lutut nya. Kini pikirannya tertuju pada makam sang ayah. Jika ia disini, siapa yang akan merawat makam tersebut. Sedangkan ibunya… wait, ibu? Bukan lagi.
Wanita jahat itu sudah bukan ibunya.
Raut wajah senang sang ibu kembali dalam ingatan nya dan ia membenci wajah itu.
10 milyar! Apa ia bisa mengembalikan uang tersebut? Tapi sampai matipun uang itu tidak akan bisa didapat. Lalu dia harus apa? Menerima semua nya dan tetap berada di tempat yang sama sekali tidak di kenalinya, namun tidak itu mungkin karena dia bukan barang mainan seperti yang orang itu inginkan.
Pemuda seperti Leo tidak akan diam saja, dia tak seperti itu. Sejak kecil ia sudah tau apa, bagaimana cara agar bisa mendapatkan uang walau itu tak seberapa.
Kalaupun ia harus bekerja sampai mati, akan dia lakukan. Seberapa pun hasil nya it's oke, yang penting dirinya bisa bernafas dengan tenang karena dapat mengganti hutang tersebut. Leo sudah menganggap uang yang wanita itu terima adalah hutang, dan ia harus membayar nya.
Di sisi lain, Layla keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di susul Helena yang masuk membawa secangkir kopi untuknya.
"Anak itu terlihat sopan, bagaimana bisa seorang ibu tega melakukan hal buruk seperti itu demi kepuasan nya sendiri." Ujar Helena menggeleng pelan meletakkan kopi tersebut. Wanita paruh baya itu kemudian berbalik menatap Layla yang tengah melakukan perawatan wajah.
"Kamu mendengarku?"
Layla terkekeh. "Aku dengar Helena. Mau bagaimana lagi, sifat manusia tidak ada yang tau kan?" Ia berbalik meraih laptop nya. "Orang seperti nya tidak pantas berada di tempat orang-orang yang tidak menghargainya." Katanya lagi menarik bokong nya untuk segera berdiri.
Helena menggeleng. "Lalu kamu, bagaimana? Dan lagi, butuh mainan? Nona nona, tau pacaran saja tidak bagai… "
"IBU!" Helena tersentak, "Jangan bawa-bawa itu dong nyesek tau, dasar menyebalkan." Layla mendudukkan bokong nya kasar tak peduli dengan kekehan dari Helena atas kekesalan nya.
"Benarkah? Kalau tak ingin diledek, lebih baik cari suami. Ingat, usiamu sebentar lagi 36 tahun, jangan… "
"Kamu kira aku tidak mau apa, aku juga mau tahu. Mereka nya saja yang bodoh, mengira aku hanya gadis polos yang manja." Omelan itu terdengar menggemaskan di pendengaran Helena, "Belum tau rasanya di puaskan oleh ku. Begini-begini aku sangat pintar dalam urusan ran… "
"Lebih baik tidur sekarang, jangan banyak berhayal yang membuat otak mu semakin gila."
"Ish, dasar jahat."
"Tidak peduli, cepat habiskan kopimu dan segera tidur."
Sepertinya ada yang aneh? Bukankah setelah meminum kopi kantuk si peminum akan hilang, lalu bagaimana Helena menyuruh Layla untuk segera tidur? Jadi begini, entah itu semacam obat tidur atau apa, tapi selama ini Layla akan terlelap setelah meneguk kopi tersebut. Aneh bukan, aneh memang dan itulah seorang Layla.
Penghuni mansion pun dibuat bingung mengenai hal tersebut. Namun bagi Layla, ia sangat berterima kasih terhadap sang kopi karena dengan ada nya dia, seorang Layla bisa terlelap tanpa harus bermimpi buruk yang akan membuatnya terbangun seperti orang gila.
"Kalian bisa keluar." Pintah Helena melihat pekerjaan para pelayan telah usai.
"Baik, permisi Nona." Mereka membungkuk ke arah Layla yang mulai berbaring.
Helena menyelimuti Layla, wanita itu mengusap pelan pucuk kepala sang majikan dengan penuh kasih sayang kemudian keluar tanpa mematikan lampu kamar. Ia tau sejak hari itu, Layla tak bisa memejamkan mata jika dalam keadaan gelap.
Di luar kamar Layla,
"Bu, bagaimana? Dia sudah tidur?"
Helena berbalik menatap Maria dengan beberapa makanan di tangan nya. Ia menggeleng melihat kelakuan sang anak, kenapa juga anak nya ini selalu saja makan saat berada di rumah.
"C'mon bu, aku tau kamu pasti ngedumel lagi kan,"
Plak!
"Aduh, ih sakit." Maria meringis setelah mendapat tamparan di bagian lengan.
"Makan saja terus, masih untung badan mu tidak lebar." Maria memutar bola mata jengah mendengar pernyataan sang ibu. "Nona sudah tidur, jadi jangan mengganggu nya." Tambah Helena melangkah meninggalkan sang anak yang mencebikkan bibirnya.
"Siapa juga mau yang mau mengganggu macan betina itu."
•
•
•
Esoknya pukul 08:11 pagi, karena hari ini adalah hari libur tak ada kertas dan juga tulisan yang membuat nya penat, dengan masih mengenakan piyama yang terlihat seksi, rambut acak adul, penutup mata di atas kepala, Layla mengucek-ucek mata nya berjalan ke lantai dasar, tak peduli dengan tatapan para pelayan yang sudah terbiasa dengan situasi tersebut.
Set!
"Nona awas…! "
Para pelayan menutup mulut melotot melihat Layla tersandung karpet di penghujung tangga.
Leo yang tak jauh dari sana mendengar jeritan para pelayan berbalik, ia segera berlari dan menangkap tubuh Layla, memutar badan nya agar kepala gadis itu tidak terbentur.
Duk!
Sstt… ringisan membuat pejaman mata Layla terbuka. Mata bulat nya semakin membulat melihat dekat wajah Leo, begitu juga sebaliknya.
"Ka-kamu… "
"Adik baik-baik aja, kan?"
Heh! Apa-apaan dia!