Namanya Meili Derya. Lahir dengan kecantikan yang orang tidak mudah bosan dengannya. Dia terlihat seperti memiliki segalanya dengan banyaknya cinta yang ia dapat. Sifatnya baik dan ceria, tidak tinggi hati dengan segala nilai plus dalam dirinya.
Banyak orang berada di sekelilingnya, mencintainya dan memberinya perhatian. Dia benar-benar beruntung dan dia faham benar soal itu.
Tapi tentu tidak semua orang sempurna, mungkin hal yang bisa dikatakan kesialannya adalah fakta bahwa ia hadir di dunia dari balik hubungan kotor ibunya dengan saudara ayahnya. Dan, karena itu, lingkaran keluarga mereka mencapai batas akhir.
Dan begitu perceraian diputuskan, entah skenario Tuhan yang amat tak disangka, ibu dan ayahnya meregang nyawa dalam kecelakaan yang mengerikan. Kecelakaan yang ceritanya tidak akan pernah mau didengar oleh Meili. Gadis itu terlanjur benci dengan semuanya. Terlebih fakta bahwa ia akan tinggal bersama saudara ayahnya untuk kedepannya.
Seluruh keluarga ayahnya menolak untuk menyumbangkan tangan merawatnya. Sedangkan, ia tak mengenal satupun keluarga ibunya kecuali satu keluarga yang tinggal teramat jauh. Itu semua karena ibunya memilih untuk kawin lari dengan ayahnya.
Membenci pamannya, Meili tetap tak bisa berkutik ketika ia harus menetap dalam satu atap bersama orang yang paling ia benci. Ia tahu benar soal kenyataan yang menjijikkan itu. Mereka adalah ayah dan anak.
Apapun itu, Meili akan berusaha dengan segala cara untuk segera pergi dari rumah terkutuk itu. Untuk cepat mencari kehidupan baru yang akan mengabaikan sisi lain dan masa lalu dirinya.
###
"...jadi, jika x dikali y, maka...."
Pelajaran sudah lewat dua jam dan Meili lebih memilih termangu diatas tangannya sembari menghayati pergerakan awan di langit. Pemandangan itu selalu jadi alasan di balik ketenangan yang ia rasakan.
Di sebelahnya, ada Diana yang asyik bermain hp diam-diam, berkirim pesan dengan doinya, katanya.
Ingatan Meili kembali menyusuri pada momen tadi pagi. Tentang 'anak baru' yang dihebohkan seluruh kawannya, bahkan mungkin seisi sekolah juga ikutan.
Tadi pagi, Meili tidak berhasil melihat wajahnya dibalik kerumunan siswi-siswi. Hanya tampak sesosok pemuda jangkung dengan rambut cokelat terangnya yang berayun lembut.
Diana sendiri saat itu asyik berceloteh bagaimana indahnya rupa 'anak baru' tersebut. Heavenly face, katanya.
Meili sulit menampik dirinya bahwa sebenarnya, apa yang membuatnya mati penasaran bukanlah rupa 'anak baru' tersebut. Melainkan akibat perasaaan tidak nyaman yang terus saja ia dapatkan sejak pagi.
Perasaan yang mengusik itu muncul begitu saja saat ia mendapati hebohnya orang-orang di sekitarnya karena kehadiran mendadak 'anak baru' tersebut.
"Mei, jajan kuy."
Meili menoleh dan spontan tersenyum. Luvia dan Sella tengah berdiri di depan bangkunya.
"Kuy lah. Eh, Diana ikut nggak?" Tanya Meili seraya beranjak dari duduknya.
Diana mengangguk, "ikut lah."
Empat gadis itu melangkah beriringan menuruni tangga sembari berbincang ria.
Dan, entah kenapa topik hari ini tak bisa terlepas dari si 'anak baru'.
"Gila banget! Cakepnya itu loh, nggak manusiawi." Luvia bersorak kecil.
Sella manggut-manggut menyetujui, "katanya sih dia berondong."
"Eh, masa'?" Luvia bertanya tak percaya.
"Eh, sumpah beneran! Dia lebih muda dari kita dua tahun. Gara-gara aksel dia bisa bareng kita di tahun ketiga." Sahut Diana.
"Really? Gila, amazing banget." Celutuk Luvia,
"Dia cowok sepaket satu-satunya yang pernah gue temui seumur-umur. Coba gue bisa jadi pacarnya." Sella menghela napas, ia geleng-geleng kepala sendiri.
"Jan ketipu sama cakep atau pintermya dia. Bisa jadi dia nggak sebagus itu," Meili angkat bicara.
"Hm, kalau gitu gimana kalo coba kenalan?" Usul Diana cerdas.
"Brilliant idea, Diana cerdas!" Luvia berseru heboh sendiri.
Meili tanpa sadar memutar matanya tak suka. Ia tak habis pikir, apa pula yang benar-benar menarik dari si 'anak baru'? Toh, nanti juga bakal terbongkar busuknya cowok itu, pikirnya.
"Mungkin kalo Meili cocok kali ya buat dia. Ya nggak sih, Mei?" Sella menepuk bahu Meili.
Yang ditanya pura-pura tertawa kecil, "ya nggak lah. Cowok perfect kek gitu mah out of my league. Sella mah ngaco."
"Eh, tapi beneran loh. Kalian serasi banget deh kalo jadian," Sella tetap bersikukuh.
"Iya deh. Secara kalian itu sama-sama kek bukan manusia." Diana ikut menyetujui.
"Tau, nggak faham lagi deh. Waktu ibu lo hamil lo, ngidam apaan coba?" Seloroh Luvia.
"Haha, kalian kenapa sih? Gue juga manusia kali. Jangan kek gitu. Gak enak ntar guenya." Meili tak bisa berhenti tersenyum, tiba-tiba saja mood-nya membaik ke titik maksimal.
"Tuh kan, lo itu udah cantik, ranking satu mulu, kesayangannya para guru, banyak yang nggebet, baik lagi. Gue gak pernah nyesel kenal lo." Diana berceloteh panjang lebar sambil merangkul Meili hangat.
"Makasih. Gue juga seneng bisa kenal lo semua," Meili tersenyum hangat. Sekarang hatinya benar-benar lapang, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sedari pagi kini hilang.