"Gue suka sama lo sejak tahun pertama!"
Meili berdecak kecil, ia memutar matanya malas. Menyebalkan, umpatnya dalam hati. Harusnya saat ini ia bisa menghabiskan waktu istirahatnya dengan baik bersama teman-temannya, tapi selalu saja ada serangga tak tahu diri yang berani-beraninya merusak waktunya.
"Mei, apa lo mau jadi pacar gue?"
Seketika Meili menyunggingkan senyum manis, sambil kedua matanya menatap lembut cowok yang berdiri 1 langkah didepannya.
"Rava, makasih udah perhatian sama gue selama ini. Tapi, maaf. Gue gak ada pikiran untuk pacaran atau punya hubungan untuk saat ini dan entah kapan. Maaf ya, Va." Meili menampakkan wajah tak enak.
Rava butuh beberapa detik untuk mencerna jawaban Meili. Setelah otaknya benar-benar mencerna dengan jelas, barulah ia berkedip.
Baiklah, sepertinya sudah selesai, batin Meili. Gadis itu pun berbalik setelah mengucapkan maaf untuk ketiga kalinya.
Grab!
"Sebentar, Mei! Dengerin dulu! Coba pikirin baik-baik! Coba inget lagi apa yang udah kita lalui bareng dua tahun ini!"
Gila. Meili tak tahan, hari ini mood-nya pasang surut dan sekarang ia harus meladeni seekor 'serangga' yang sedang membual soal cinta, ia tak habis pikir.
Perlahan, Meili menoleh dan tersenyum kecil, matanya menatap sayu ke arah Rava.
"Maaf, Rava. Tapi gue gak bisa mandang lo lebih dari temen," Meili mendesah kecil. "Tolong lepasin gue."
Rava terdiam menunduk, ia masih tak percaya. Tangannya yang menggenggam tangan Meili gemetar tanpa sadar. Ia kira selama ini cintanya bersambut, mengingat bahwa Meili selalu tersenyum padanya tiap kali mata mereka beradu temu.
Atau karena sikap baik Meili bila dia ada masalah dalam pelajaran. Dan, mungkin karena tiap kali ia galau, ada Meili yang akan tersenyum hangat padanya dan selalu bilang semua baik-baik saja.
Jadi, apa yang salah? Menurut Rava, harusnya Meili juga mencintainya karena gadis itu selalu ada untuknya. Tidak! Gadis itu pasti hanya berpura-pura tidak menyukainya! Ini pasti adalah cara gadis itu menarik perhatiannya. Ya. Gadis itu pasti sedang bermain hard-to-get pada dirinya agar Rava makin tergila-gila padanya. Gadis itu hanya ingin menguji apakah Rava benar-benar mencintainya atau tidak.
Heh. Rava tersenyum menyeringai, dasar cewek, batinnya berkata. Tanpa sengaja, genggaman tangannya mengencang.
"A-ah!" Meili berusaha menarik tangannya.
"Kalau lo cinta gue, bilang aja, Meili sayang~" Rava tak berniat sedikitpun untuk melepaskan tangan Meili. Justru dengan sedikit paksaan, pemuda itu menarik pinggang Meili kedalam rengkuhannya, membuat gadis itu terkunci dan sulit bergerak.
"U-uh, lepasin gue, Va!" Nada bicara Meili sedikit naik, gadis itu benar-benar marah sekarang.
Rava tetap tersenyum, tangannya bergerak membelai rambut Meili yang lembut. Lantas, ia hirup dalam-dalam aroma wangi rambut Meili yang memenuhi rongga hidungnya.
"Gue cinta lo, Meili. Dari sejak awal lo hadir dalam hidup gue. Gue cinta lo."
Meili mengamuk dalam batin, berkali-kali ia mengumpat, brengsek benar cowok satu itu. Seumur-umur, ia tak pernah membiarkan seorang laki pun untuk menyentuhnya. Dan, kali ini Rava benar-benar sudah melebihi batas.
Berjuang sekeras tenaga untuk mendorong tubuh pemuda itu adalah percuma. Sepertinya satu-satunya jalan baginya hanyalah dengan cara kasar. Meili masih menimbang-nimbang, ia tak mau melakukan suatu hal yang hanya akan mengotori reputasinya.
"Meili sayang~"
Sebelum Meili sempat memutuskan, Rava sudah menggerakkan kepalanya ke bawah, menuju leher Meili.
"Kamu wangi banget sayang~"
Kurang ajar! Dengan kalap, Meili spontan menendang selangkangan Rava, membuat pemuda itu terjungkal dan terjatuh dengan gaya yang tak biasa.
"Brengs*ek." Desis Meili, ia melempar lirikan mengerikan kepada Rava. Lirikan yang bahkan seolah bicara aku-jijik-padamu.
Rava yang kesakitan cepat-cepat berseru memanggil Meili begitu melihat Meili berlalu meninggalkannya.
Menuju keran didekat lapangan, Meili cepat-cepat mencuci tangannya yang sedetik lalu digenggam Rava. Ia kuat-kuat menggosoknya, memastikan seluruh lapisan epidermisnya baik-baik saja.
"Permisi, lo jatuhin ini."
Malas menoleh, Meili merasa ada yang mengajaknya bicara dan itu seorang laki-laki.
"Permisi."
Sembari mengutuk dalam hati, Meili menoleh dan mencoba tersenyum. Tapi ia tak bisa melakukan apa pun kecuali terpaku.
Cokelat terang yang berkilau dengan cahaya matahari menjadi warna rambut siswa tersebut yang tak hentinya bergoyang mengikuti irama angin, terlihat begitu lembut.
Manik birunya terang dan jernih menatap ke depan, ketika melihatnya Meili tidak tahu apa itu langit ataukah samudra. Yang terasa adalah mata itu begitu dalam dan mengerikan, tapi juga indah dalam satu waktu.
Perawakannya gagah dengan tinggi yang sepadan. Wajahnya berseri ditemani seutas senyum yang nyaman dipandang. Rupa dan bentuk yang sempurna.
"Permisi, ini barang lo."