Chereads / Dendam Lama di Kehidupan Kedua / Chapter 9 - Akhir dari Keributan

Chapter 9 - Akhir dari Keributan

"Jika ibuku bisa membuktikan kebenarannya, apa kamu akan mengakui bahwa yang terjadi hari ini merupakan perbuatanmu yang sengaja menjebak ibuku? Karena kamu cemburu bahwa ibuku lebih muda dan lebih cantik dari kamu! Bibi Suratmono, aku menghormatimu sebagai penatua, kau tahu sendiri betapa pentingnya reputasi seorang wanita. Konsekuensi dari fitnah mu kepada Ibuku akan membuatmu sengsara dan memalukan. Kurasa kau sudah paham semuanya!"

Jelita Wiratama mendorong pintu halaman, "brak!"

Wajahnya muram, dia menatap dingin wanita sombong itu di halaman dengan tangan melingkar di pinggangnya, seolah dia sedang melihat mayat dalam peti kayu di tanah.

Kemudian Jelita Wiratama mengalihkan pandangannya dan mengamati halaman sekitar, melihat bahwa halaman yang biasanya tenang itu saat ini ramai dengan kerumunan orang-orang. Dan diantara kerumunan orang-orang itu beberapa terlihat baik, dan beberapa terlihat geram.

Bibi Suratmono melihat Jelita Wiratama tidak memperlihatkan wajahnya yang lugu, kemudian dia mengerutkan dahinya sambil berkata, "Heh! kamu anak asing berani sekali menentang orang yang lebih tua. Oh ternyata keluarga pelacur ini. Dasar, bajingan kecil. Ck ck, apa yang kamu punya sehingga berani sekali berbicara denganku? Kau tahu Ibumu itu tidak tahu dengan pria mana dia bergaul dan melahirkanmu! Jangan pikir bahwa kamu dapat menentukan mana yang benar dan salah. Apapun alasanmu, keluargamu tetaplah seorang pencuri!"

Mendengar kata-kata kotor dari mulut wanita desa yang sombong itu, Jelita Wiratama sangat marah.

Bukan karena dia tidak tahan dengan penghinaannya, tetapi Intan Suratmono ini sering menyinggung tentang ayahnya yang tidak pernah terlihat. Ini merupakan topik terlarang di keluarga Wiratama, karena orang inilah yang membuat ibunya trauma. Setelah mengalami trauma, dia menjadi gila sejak itu. Ketika dia masih kecil, dia melakukan hal yang tidak masuk akal dan sering berteriak-teriak memanggil ayah, setiap kali dia seperti itu, nenek mulai memukulinya, hal inilah yang membuatnya menderita luka fisik dan mental.

Hari ini Nenek tahu bahwa akan ada tamu yang datang ke rumah, jadi dia harus pergi berbelanja untuk membeli persediaan. Hanya nenek moyang tua dan ibu dengan masalah mental yang berada di rumah. Nenek moyang ini sangat pendiam, dan dia tidak peduli dengan siapapun kecuali dirinya sendiri.

Saat ini, Jelita Wiratama sangat mengkhawatirkan keadaan ibunya, dan kebenciannya terhadap Intan Suratmono semakin menjadi-jadi.

Benar saja, ekspresi Rosalina Wiratama berubah, dia melepaskan angsa gemuk besar yang selama ini membuatnya terobsesi itu. Dia menundukkan kepalanya dengan murung, dan tampak putus asa.

Jelita Wiratama tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang salah. Kakek yang berdiri di sampingnya tidak tahan untuk tetap diam, kemudian kakek mengambil beberapa langkah ke depan, auranya terbuka penuh, membuat orang-orang menundukkan kepalanya.

"Anjing liar berani datang ke sini untuk menggonggong, binatang ini tidak bisa membedakan antara benar dan salah, bahkan jika pemiliknya menyembunyikan niat jahat dan melihat sesuatu ke dalam hitam dan putih" kakek Haris Mahesa menyipitkan mata tajamnya. Menatap pria yang berada di samping Intan Suratmono. "Kamu tidak layak untuk merendahkan Rosalina, bahkan memfitnah Rosalina telah merayumu? Lelucon yang luar biasa! Sekarang, Bawalah hewan itu bersamamu, kembali ke tempatmu, dan keluar dari sini!"

Seperti yang disebutkan sebelumnya, meskipun kakek Haris Mahesa adalah seorang sastrawan, penampilannya sangat menipu, tubuhnya yang gagah dan tinggi terlihat seperti manusia besi. Perkataan kejam ini membuat Aji Suratmono sangat malu seolah-olah dia ingin menggali lubang untuk menyembunyikan wajahnya.

Bahkan jika akhirnya terbukti bahwa angsa gemuk besar ini milik keluarga mereka, mereka tetap merasakan malu. Memikirkan hal ini, dia menatap istrinya dan menyesali apa yang dia dengar barusan.

Intan Suratmono mendengar perkataan kakek Haris Mahesa dan hendak melawan, tapi dia terkejut saat melihat pria itu menatapnya dengan kejam. Dengan cepat berkata "Hei kamu, orang tua, jangan berkata sembarangan! Jika kamu ingin membuktikan wanita ini tidak bersalah, coba panggil saja angsa ini dulu!"

Jelita Wiratama duduk jongkok di samping ibunya. Jelita Wiratama memandang meskipun ibunya tenggelam dalam dunianya sendiri dengan menundukkan kepalanya, tetapi tidak ada tanda-tanda kegilaan dalam dirinya. Meskipun memang agak aneh, Jelita Wiratama merasa lega.

Jelita Wiratama memalingkan pandangannya, kemudian matanya tertuju pada badan angsa gemuk besar tersebut. Jelita Wiratama melihat angsa hitam besar dan gemuk ini memang pantas diperebutkan, meskipun masih di bawah umur, tapi tubuhnya yang gemuk seakan membuatnya terlihat seperti angsa dewasa. Paruhnya berwarna kuning cerah dan matanya kecil bulat terlihat sedang melirik semua orang.

Ya, angsa gemuk ini sebenarnya sedang memperhatikan tingkah manusia disekitarnya. Jelita Wiratama tiba-tiba menyadari bahwa matanya sangat menarik, betapa angkuhnya caranya melihat, seolah dia membenci semua makhluk lain kecuali dirinya sendiri. Namun, Jelita Wiratama merasa angsa ini terlihat sedikit berbeda dari angsa pada umumnya, lehernya agak pendek!

"Bodoh, ayolah! Bersihkan mulut wanita kotor ini!"

Pada suasana yang menegangkan ini, sebuah kalimat tiba-tiba terlontar dari mulut gadis itu, semua orang tercengang. Haris Mahesa segera menoleh untuk melihat dan hampir tertawa.

Mata Jelita Wiratama sangat tajam, dia memasang ekspresi seperti serigala di wajahnya. Dia sedang berpura-pura berbicara dengan angsa "Putri, beritahu semua orang bahwa kamu adalah milikku, wanita dengan mulut penuh kotoran itu, oh itu Bibi Suratmono, dia ingin mencurimu."

Kakek Haris Mahesa hampir tertawa melihat tingkah laku Jelita Wiratama yang benar-benar lucu itu. Dia berpikir bahwa jika saja seekor angsa benar-benar dapat memahami kata-kata manusia, maka dunia akan sangat luar biasa. Kebenaran masalah yang terjadi hari ini dapat dilihat oleh siapapun dengan mata yang teliti, tetapi Intan Suratmono dan suaminya sengaja mempermainkannya, jika angsa ini digunakan untuk pembuktian, maka akan menjadi hal yang buruk!

Tidak ada yang tahu bahwa ide ini melintas di benak Jelita Wiratama. Akan ada kejadian yang menyenangkan setelah ini.

Jelita Wiratama melihat angsa gemuk itu untuk sementara dan memberi nama angsa tersebut dengan "Dilly". Awalnya Jelita Wiratama masih terlihat biasa saja, lalu kemudian menatap Intan Suratmono dengan tatapan jijik. Jelita Wiratama kemudian membuka sayap angsa itu. Sayap angsa itu mengepak lalu angsa itu terbang ke pohon bunga persik di halaman dan menatap orang-orang disekitarnya seperti tatapan sinis.

Tanpa menyebutkan bagaimana angsa gemuk bisa terbang ke atas pohon, sebuah tatapan mata yang merendahkan semua orang itu tidak bisa diterima. Seekor angsa gemuk bernama "Dilly" bahkan bisa memiliki tatapan seperti itu!

Beberapa orang kagum, beberapa iri bahwa keluarga Wiratama dapat memelihara angsa lebih baik dari yang lain, dan beberapa orang mengakui kalau mereka tidak mampu merawat anga seperti itu, salah satunya yaitu Haris Mahesa. Intan Suratmono dan suaminya sangat ketakutan.

Tiba-tiba angsa gemuk itu melakukan hal yang mengejutkan banyak orang.

Tiba-tiba angsa gemuk itu terbang ke arah Intan Suratmono, dan sesaat semua orang menjadi bingung sekaligus terkejut dengan situasi saat ini. Intan Suratmono sangat senang karena dapat menggendong angsa gemuk itu di pelukannya. Ekspresinya yang penuh kemenangan bahkan belum terlihat di wajahnya, beberapa saat kemudian wajahnya seperti kesemutan dan langsung sadar.

"Ah! Tolong! Jangan, jangan mematuk aku! Ah!" Teriakannya terdengar sangat keras, membuat terkejut kepala desa yang sedang melangkah menuju halaman rumah keluarga Wiratama sehingga membuatnya hampir terjatuh.

"Paman kepala desa, pelan-pelan!" Zafran Mahesa buru-buru menghampiri kepala desa. Dia juga mendengar teriakan ini, yang jelas-jelas bukan teriakan dari salah satu anggota keluarga Wiratama. Zafran Mahesa merasa sedikit lega, langkahnya yang sebelumnya terburu-buru kemudian melambat.

Ketika keduanya berjalan ke halaman rumah keluarga Wiratama, pemandangan yang mereka lihat benar-benar menumbangkan imajinasi mereka yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Wajah Intan Suratmono berlumuran darah, rambutnya berantakan seperti kandang ayam, wajahnya yang mengerikan dan teriakan nyaringnya membuat semua orang sangat terkejut.

Ketika Intan Suratmono melihat kepala desa, air mata mengalir di matanya, seolah-olah dia melihat malaikat penyelamat, dia bergegas menghampiri kepala desa dan berkata "Kepala desa, tolong aku!"

Meskipun kepala desa baru berusia lima puluh tahun, dia pernah menderita penyakit sebelumnya sehingga membuat kesehatannya memburuk, jadi dia tampak seperti berusia enam puluhan. Kepala desa tidak dapat menahan tubrukan Intan Suratmono.

"Braak", Aji Suratmono menabrak dinding, wajahnya yang terluka menjadi lebih parah saat ini, sehingga membuatnya sulit untuk melihat dengan jelas. Disisi lain Intan Suratmono jatuh ke tanah dan akhirnya pingsan, kemudian keadaan tiba-tiba menjadi sunyi.

Wajah sombong dan bola mata hitam kecil itu perlahan melihat kerumunan, orang yang dilihatnya menghindari tatapannya, karena takut akan diserang oleh angsa ganas.

Dengan senyum aneh di sudut mulut Jelita Wiratama, dia menatap Aji Suratmono dengan tenang. Pria itu kemudian melihat mata Jelita Wiratama, dia juga melihat bahwa istrinya pingsan dan merasa malu, hawa dingin tiba-tiba terasa di telapak kakinya, hingga terasa mencapai kepalanya.

"Maafkan aku. Hari ini, aku mengakui kesalahan istriku untuk masalah ini, dia, dialah yang memiliki mata yang tajam dan serakah terhadap angsa keluargamu, ini, ini ..."

Melihat bahwa Jelita Wiratama menatapnya dengan tatapan yang dingin, suara pria itu menjadi semakin lirih, dan kata-katanya menjadi semakin tidak jelas. Pada akhirnya, dia tidak bisa berbicara lagi, jadi dia harus tutup mulut.

Siapapun yang memiliki otak dapat memahami bahwa dari awal hingga akhir insiden ini ditujukan pada Rosalina Wiratama, atau seluruh keluarga Wiratama.

Jelita Wiratama menggigit bibirnya, menyipitkan mata sambil melihat keluar halaman, berpikir tujuan keluarga Pramudya dalam berurusan dengan keluarga Wiratama yang tampaknya lebih dari sekedar memata-matai keluarga Wiratama.

Jadi, apa dendam antara keluarga Pramudya terhadap keluarga Wiratama?