"Kerja dimana, Mas?" tanya petugas itu lagi.
"S—saya hanya bekerja part time, sepulang kuliah," jawab Rangga.
"Lanjut S2, ya? Ingin menjadi dosen juga seperti Mbak Abel."
"S—saya … masih semester satu … dan sedang mengambil S1, Pak," ujar Rangga, sebenarnya malu mengakuinya.
Petugas tersebut melihat berkas milik Rangga.
Pada berkas itu, menunjukkan kalau usia Rangga memang baru 19 tahun. Dimana usianya lebih muda 10 tahun dari Abel.
"Kamu … sebegitu terpesonanya dengan Mbak Abel, sampai rela menikah muda?" bisik petugas tersebut.
"Mas, sudah jangan mengganggunya. Lekas urus dan segera ganti mode pintu apartemen saya," timpal Abel yang sejak tadi hanya diam, namun mendengarkan pembicaraan mereka.
Rangga dan petugas itu hanya menyeringai, menanggapi ucapan Abel.
"Banyak yang mengincar Mbak Abel. Kamu harus menjaganya baik-baik, ya. Tunjukkan kalau Mbak Abel ini adalah milikmu,"
***
"Rangga? Kamu sedang chat dengan siapa?"
Rangga tersentak dan menjatuhkan ponselnya ke lantai.
"Rangga, saya hanya bertanya. Kenapa kamu sekaget ini?" tanya Abel, merasa heran.
"S—saya kaget karena Ibu menegur tiba-tiba. M—maaf, Bu …," jawab Rangga, segera mengambil ponselnya yang jatuh.
Abel menggelengkan kepalanya, melihat gelagat aneh Rangga.
"Saya akan ke kamar untuk tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur, Rangga," ujar Abel, dengan nada tidak mengenakkan.
Abel beranjak dari sofa dan menuju ke tangga untuk ke kamarnya.
Rangga masih melihat Abel yang berlalu kian menjauh. Ia merasa kalau ada yang lain dengan istrinya. Sedikit lebih dingin, mungkin saja karena Abel adalah dosen yang mood nya terkadang bisa naik dan turun, mengikuti banyaknya tugas kuliah.
Rangga melihat layar ponselnya, ia memilih untuk mematikannya. Ranga mengambil remote untuk mematikan televisi dan akhirnya menuruti apa kata Abel untuk segera tidur.
***
Di kampus, Rangga mendapat pesan dari Abel untuk datang ke ruangannya. Sayang saat diperjalanan, ia bertemu dengan Hanin dan akhirnya ia memilih untuk bicara dengan Hanin lebih dulu dan menunda perjalanannya menuju ke ruangan Abel.
"Ada tugas yang harus dikumpul?" tanya Hanin, penuh perhatian.
"Iya. Bu Abel menungguku. Hmmm, apa siang ini kita bisa makan bersama?" tanya Rangga.
"Tentu saja. Segeralah pergi ke ruangan dosenmu, aku akan menunggu di kantin," jawab Hanin begitu sumringah.
"Baik, nona cantik," balas Rangga, mengusap rambut Hanin dengan gemas.
Rangga berlalu dan segera masuk ke dalam gedung perkuliahannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke lift, yang akan membawanya ke lantai empat, dimana ruangan para dosen berada di sana, termasuk ruangan Abel yang terpisah dengan dosen yang lain, karena selain perannya sebagai dosen wali, ia adalah seorang ketua program studi.
Tok tok tok!
Rangga mengetuk pintu ruangan Abel, meminta izin untuk masuk.
Abel menoleh dan melihat Rangga yang sudah berada dibalik pintu.
"Masuk!" ucap Abel, memberikannya izin.
Cklek.
Rangga membuka pintu dan kembali menutupnya. Ia segera melangkahkan kakinya menghampiri meja sang istri.
"Ada apa, bu?" tanya Rangga, yang tidak tahu apa maksud dan tujuan Abel memanggilnya ke ruangan itu.
"Siang ini temani saya makan di luar," pinta Abel, tetap fokus pada pekerjaannya, dimana matanya sama sekali tidak beralih dari laptop.
Rangga diam, berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.
"Kenapa diam?" tanya Abel, butuh jawaban dari Rangga.
"B—baik, Bu," jawab Rangga, akhirnya menyetujuinya.
"Tunggu saya di bawah. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya sebentar," perintah Abel.
Rangga menunduk. Ia berbalik badan dan segera keluar dari ruangan Abel.
Cklek.
Rangga menutup pintu ruangan tersebut, ia menghela napasnya, bukan karena merasa lega. Tetapi karena bingung harus beralasan apa pada Hanin.
"Hanin pasti kecewa," gumamnya risau.
Rangga tidak berani menghampiri Hanin ke kantin, karena ia khawatir kalau Abel akan cepat menyelesaikan pekerjaannya.
Rangga : Hanin, maaf sekali. Siang ini aku diminta untuk membantu Bu Abel. Ada sebuah project yang ingin ia berikan padaku. Jadi siang ini aku harus pergi makan siang dengannya, untuk membicarakan project ini.
Rangga hanya bisa mengirimkan pesan kepada Hanin.
Cklek.
"Rangga? Kamu masih di sini? Saya memintamu untuk menunggu di bawah, di lobby," ujar Abel heran, melihat suaminya masih berada di depan ruangannya.
"Oh, s—saya baru saja mendapat panggilan dari teman saya. Kalau saya terima dan masuk ke dalam lift, pasti signal nya hilang, Bu," jawab Rangga, memiliki alasan yang tepat.
"Oh, begitu … ayo kita pergi."
Abel berjalan lebih dulu dari Rangga. Dan bahkan saat di dalam lift, Rangga juga tetap berada di belakang Abel.
"Rangga, lain kali kamu tidak boleh seperti ini," ucap Abel.
"Hm? Seperti ini … bagaimana, Bu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Jangan berada di belakang saya. Beradalah di depan atau di samping saya," pinta Abel.
Ting!
Pintu lift terbuka, membuat Rangga tidak menyahuti lagi ucapan Abel.
Mengikuti permintaan Abel, Rangga berusaha untuk berjalan di sebelah Abel, tidak lagi di belakangnya. Langkah mereka menuju ke area parkir mobil untuk dosen. Meski ia adalah suami Abel yang sudah tinggal satu rumah, tapi ia merasa bangga jika bisa berpergian bersama Abel, yang nyatanya adalah seorang dosen. Teman-teman akan memandangnya kalau Rangga adalah mahasiswa terbaik yang dapat diandalkan oleh dosen. Padahal, bukan seperti itu kenyataannya.
'Seharusnya aku bangga memiliki istri seperti Bu Abel. Sayangnya, aku tidak bisa membanggakannya,' batin Rangga bergumam.
"Rangga, segera masuk!" perintah Abel menyadarkan Rangga dari lamunannya, dimana ia yang sudah lebih dulu berada di dalam mobil.
Rangga mengangguk, merasa malu dan segera masuk ke dalam mobil.
Mobil Abel berlalu dan memperlihatkan Hanin yang sedang berdiri dibalik sebuah mobil, penasaran dengan Rangga yang akan pergi dengan Abel.
"Rangga bukan mahasiswa berprestasi, tapi kenapa Bu Abel memilih dan mempercayainya untuk menjalankan sebuah project?" gumam Hanin bertanya-tanya.
Hanin segera menuju ke area parkir mobil mahasiswa dan juga umum, untuk ke mobilnya dan ia kemudikan, mengikuti mobil Abel yang baru saja berlalu.
Hanin membawa mobilnya sedikit lebih cepat dari biasanya, karena Abel mengemudi dengan laju. Ia sedikit kesulitan karena belum begitu mahir mengemudi. Namun takdir masih memberikannya kesempatan untuk dapat menguntit Rangga dan Abel, hingga mobil mereka menepi di sebuah pujasera.
Hanin menunggu Rangga dan Abel keluar lebih dulu dan masuk ke dalam area pujasera tersebut. Hanin membiarkannya agar tidak terlalu terlihat kalau ia sedang menguntit.
Hampir lima menit Hanin menunggu dan akhirnya ia tidak sabar dan memilih untuk keluar dan segera mencari keberadaan Rangga dan Abel.
Ketemu!
Rangga dan Abel duduk di tengah, dimana Hanin akan mengambil tempat duduk di dekat mereka.
Hanin sengaja memainkan ponselnya, agar tidak menoleh pada Rangga.
"Hanin!" Terdengar suara Rangga memanggilnya.
Hanin tersenyum, memunggungi tempat duduk Rangga dan Abel.
"Hanin? Kamu sedang apa di sini?"