Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Bulan Dikekang Malam

🇮🇩Lily_Sandika
--
chs / week
--
NOT RATINGS
10.8k
Views
Synopsis
Menyewakan rahim? Secuil pun tak pernah ada dalam benaknya. Namun, tetap ia lakukan. Demi menyelamatkan panti asuhan, demi adik-adiknya yang begitu ia cintai. "Tugasmu hanya melahirkan seorang anak untukku. Sebagai imbalan, panti asuhan selamat, dan tanah itu menjadi milikmu." Itulah yang Laila tawarkan padanya. Bulan Maulida, gadis manis berwajah sendu. Harus rela menyerahkan diri juga hidupnya pada seorang Dareen Maulana, dan hidup di bawah tekanan dari Laila, istri sahnya. Kepatuhan Bulan dan kelembutan Dareen, membuat benih-benih cinta tumbuh di antaranya. Saat menyadari itu, tentu Laila tak tinggal diam. Ia melakukan segala cara agar Bulan menjauhi suaminya. Bagaimana nasib Bulan selanjutnya? Mampukah ia bertahan di bawah kekangan Laila?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

Bulan tengah bersiap-siap, mengganti seragam kerjanya dengan kaus biru langit dan rok hitam selutut yang sudah berada di dalam tasnya. Gadis manis berkulit putih itu berencana mengunjungi panti asuhan di mana dirinya dibesarkan dulu. Sejak lulus SMP, Bulan memutuskan hidup sendiri. Dia merasa sudah saatnya hidup mandiri, tak ingin menjadi beban panti lagi. Sejak kecil, tiada harinya tanpa belajar hingga saat lulus SMA ia berhasil kuliah melalui program beasiswa, yang setiap tahun selalu kampus itu adakan.

Selesai berganti pakaian, berpamitan pada teman-teman yang masih bergelut dengan pakaian kusut dan kotor, Bulan bergegas memesan ojek daring, agar tak terlalu malam saat tiba di panti nanti. Menggunakan kendaraan roda dua memang lebih efektif ketimbang kendaraan umum lainnya. Sekitar 45 menit, sampai juga Bulan di tempat tujuannya. Setelah membayar ongkos, Bulan melangkah santai memasuki pelataran yang masih penuh dengan pepohonan yang rindang. Belum sempat ia berjalan jauh, nampak seorang lelaki paruh baya keluar dari pintu utama dengan mimik muka tak bersahabat. Ia kenal, itu adalah pemilik tanah di mana bangunan ini berdiri, Pak Hamzah.

Bulan ingat, Pak Hamzah sering mengancam akan menggusur panti jika pihak pengelola tak membayar sewa tepat waktu. Mungkinkah Bu Rahma telat bayar? Tanya Bulan pada dirinya sendiri. Sebelum ke ruangan pengurus, Gadis manis berambut sebahu itu menemui adik-adiknya yang masih asyik bermain di kamar.

"Malam adik-adik Kakak, kok belum pada tidur?" Anak-anak langsung berhamburan, berebut untuk bisa bersalaman dan memeluk kakak mereka. Bulan lantas membuka goodie bag berisi mainan yang ia beli siang tadi.

"Kak Bulan kok datangnya malam?" tanya salah satu anak bernama Bagas.

"Kakak 'kan kalau siang kerja. Jadi, baru bisa ke sini kalau malam," jawab Bulan sembari mengajak adik-adiknya untuk duduk bersama.

"Kalian kok belum tidur?" tanya Bulan.

"Kita belum ngantuk, Kak. Iya 'kan temen-temen." Anak-anak yang lain mengangguk setuju, dengan apa yang Bagas katakan. Bulan tersenyum, tingkah lucu mereka adalah obat paling ampuh untuk segala lelahnya. Tetapi, seketika ia teringat Pak Hamzah.

Waktu sudah cukup larut, Bulan menemani adik-adiknya beristirahat sambil mendongeng. Sesekali ia menatap sekeliling. Di kamar ini dulu ia tinggal sebelum memutuskan untuk hidup sendiri. Dahulu panti asuhan ini dihuni banyak anak. Namun, sejak Pak Hamzah menaikkan harga sewa, anak-anak yang di bawah usia 10 tahun terpaksa harus dipindahkan ke panti asuhan lain, sebab keuangan yang sudah tak mumpuni. Setelah memastikan bocah-bocah itu terlelap, gadis manis berlesung pipi itu lekas beranjak dari duduknya dan bersiap menemui ibu yang selama ini mengasuhnya. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, ia sempat berbalik, menatap wajah polos tak berdosa, membayangkan nasib mereka kedepannya, bila rumah ini digusur. Tak terasa matanya mulai panas.

"Gak boleh nangis, Bulan. Gak boleh. Semua pasti baik-baik aja," ujarnya menenangkan diri sendiri.

Untuk mengurangi pikiran negatifnya, Bulan memilih berkeliling terlebih dahulu sebelum menemui Bu Rahma. Mengingat setiap momen kebersamaan dengan teman-teman senasibnya dulu. Yap, dari mulai bisa melihat dunia, jangankan melihat, mengetahui siapa orang tuanya pun tidak. Ibu panti hanya bilang jika seseorang menitipkannya di sini, dan berkata kalau ayah juga ibu Bulan telah pergi ke alam berbeda.

Langkahnya terhenti kala berada di ruang tengah, tempat anak-anak biasa berkumpul jika ingin menonton televisi. Di sana tergantung sebuah foto dirinya, bersama teman seumurannya dulu. Bulan mendekat, mulai mengamati wajah yang ada di sana satu per satu, sambil mengetes ingatannya.

"Agifa, Syam, Iranda, Darsa, ini siapa, ya?" tanya Bulan pada dirinya sendiri sambil berusaha mengingat.

"Vivi. Yang dulu pernah nangis karena kamu cubit." Bulan tersenyum malu. Bagaimana bisa ia lupa nama orang yang sudah ia buat menangis? Begitu kira-kira pikirnya.

"Bi Nunik, aku jadi malu."

"Malu kenapa? Saat itu kalian masih anak-anak, belum ngerti mana yang baik dan buruk. O ya, udah ke Bu Rahma?" tanya wanita yang sudah Bulan anggap sebagai ibu sendiri itu.

"Ini baru mau ke sana, Bi. Gimana kabar Bibi?" tanya Bulan sambil bergelayut manja di lengan kiri wanita paruh baya itu. Bi Nunik tersenyum bahagia. Baginya, salah satu saat membahagiakan adalah ketika anak-anak yang dulu ia rawat masih mau bertingkah manja padanya.

"Bibi baik, Nak. Sudah sana ke Bu Rahma." Bulan langsung melepas rangkulannya dan memberi tanda hormat, sebagai kesiapan untuk menjalankan perintah.

Di ruangan bernuansa putih, Bu Rahma tampak melamun. Wanita berjilbab lebar itu sampai tak menyadari, kalau gadis yang dulu sering ia gendong sudah duduk tepat di sampingnya. Pikirannya jauh berkelana, memikirkan bagaimana solusi untuk bisa lepas dari jerat ketamakan Pak Hamzah.

"Bu ...," panggil Bulan ramah.

"Bulan," jawab Bu Rahma singkat lalu memeluk tubuh gadis kecilnya. "Kapan datang?" sambungnya, tanpa melepas pelukan.

"Sekitar sejam lalu. Tadi ke kamar adik-adik dulu," jawab Bulan. Bu Rahma pun melepas pelukannya.

"Bu, ada yang aneh di muka Bulan?" tanyanya, pasalnya Bu Rahma menatapnya begitu intens.

"Kamu tadi ketemu Pak Hamzah?" Bulan mengangguk.

"Beliau menagih uang sewa. Sebenarnya Ibu sudah bayar, tapi ...." Bu Rahma memotong perkataannya, ia bingung harus mengatakan ini pada gadis di depannya atau tidak. Jika iya, maka Bulan akan mengambil pekerjaan lebih banyak lagi, sudah cukup ia membebani anak asuhnya ini. Namun, jika tidak entah pada siapa lagi ia akan berbagi perasaan.

Bulan mengernyitkan dahinya dan berkata, "Pak Hamzah menaikkan uang sewa lagi?"

"Beliau mengancam akan langsung membawa alat berat untuk menghancurkan rumah kita ini, jika bulan depan Ibu tak membayar kekurangannya." Bulan menggenggam tangan renta ibu asuhnya.

"Bu, hal itu gak akan terjadi. Percaya sama aku." Bu Rahma tersenyum. Ya, setidaknya itu bisa meringankan sedikit beban pikirannya.

"Kamu harus nginep, bahaya anak gadis pulang tengah malam begini." Bulan tersenyum dan mengangguk.

🌺🌺🌺🌺🌺

Fajar mulai menyingsing, sang raja siang mulai menampakkan kegagahannya. Cahaya kuning keemasannya menelusup masuk melalui celah-celah jendela, membangunkan gadis cantik dari mimpi indahnya. Bulan tak lekas mandi, ia membantu Bu Rahma dan Bi Nunik memasak untuk sarapan. Setelah makanan matang dan tersaji di meja, Bulan menuju kamar adik-adiknya. Mereka sudah terbiasa bangun pagi, jadi, sekali teriakan selamat pagi sudah cukup untuk membangunkan.

"Selamat pagi adik-adiknya, Kakak. Sarapan sudah siap, kalian mandi, ya. Terus kita sarapan sama-sama," teriak Bulan lalu kembali ke kamarnya. Ia juga harus mandi, atau nanti akan terlambat ke kampus. Hari ini ia ada jadwal kuliah pagi.

Mandi, sarapan, sudah. Saatnya berangkat kuliah. Namun langkahnya berhenti, jantungnya berdetak sangat kencang, lelaki yang saat ini paling ia takuti berada tepat di hadapannya. Pak Hamzah kembali datang.