Chereads / Bulan Dikekang Malam / Chapter 4 - Bab 4

Chapter 4 - Bab 4

Jangan tanya bagaimana groginya Bulan saat ini. Berdua saja dalam mobil dengan lelaki asing, yang baru ia temui hari ini. Beberapa kali tangan kecilnya meremas ujung kaus bermotif bunganya.

"Pak."

"Mbak."

Keduanya lantas terkekeh kecil lantaran bicara pada saat bersamaan. "Saya duluan boleh, Pak?" tanya Bulan, sebab ia sudah tak nyaman berada di dalam mobil mewah ini. Dareen mempersilakan.

"Begini, saya mau minta maaf atas kelakuan temen saya tadi, Pak. Dan lagi, saya mau turun di sini saja. Tidak apa, bisa pesan ojek online. Jujur saya gak nyaman, lagi pula Bapak tidak tahu 'kan, tujuan saya mau ke mana?" Dareen mengangguk setuju. Gadis yang duduk di sampingnya ini benar, ia tak tahu ke mana tujuan gadis itu.

Dareen menepikan kendaraannya. "Kamu mau ke mana?" tanya Dareen. Bulan menyebutkan tujuannya yang berbeda arah dengan tujuan Dareen.

"Tidak apa, saya ingin berterima kasih sekali lagi. Kita lanjut."

"Tapi saya gak nyaman, maaf."

"Kalau begitu anggap saya tidak ada di sini. Selesai." Dareen kembali melajukan mobilnya. Mengambil kandang pesanannya dan mengantar ke alamat yang Bulan tuju.

Sebenarnya, lelaki di sampingnya tak mutlak membuatnya gusar. Melainkan dirinya sendiri, entah mengapa tiba-tiba perasaannya menjadi tak karu-karuan. Ternyata benar, begitu tiba, pemandangan yang pertama ia lihat sungguh menyayat hati. Pria tua yang tamak akan harta kembali mengancam Bu Rahma.

Bulan lekas turun hingga lupa mengucapkan terima kasih. Ia berlari dengan napas yang memburu, dari kejauhan terlihat Pak Hamzah seperti sedang marah pada Bu Rahma. Gadis bertubuh mungil itu takut. Iya, dia takut kalau-kalau pria berkumis tebal itu membuat ibu asuhnya menangis. Sungguh, Bulan tak akan pernah sanggup melihat bahkan jika itu hanya setetes air mata yang jatuh, dari netra tua Bu Rahma.

Di dalam mobil, Dareen tak mengambil hati atas kelakuan gadis yang telah menyelamatkannya pagi tadi. Ia yakin ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar berterima kasih padanya. Yang terpenting, ia sudah membalas kebaikan gadis itu.

🍂🍂🍂🍂🍂

Malam penuh ketegangan berlalu, lagi-lagi lelaki tua itu mengingatkan soal kekurangan sewa. Kepalanya serasa mau pecah tiap kali mengingat ketamakan Tuan tanah itu. Bulan harus memutar otak, mencari solusi terbaik untuk keuangan saat ini. Hingga sesuatu yang begitu berat terlintas di benaknya.

Apa aku cuti kuliah aja, ya? Biar bisa fokus cari uang? Batinnya. Namun, segera ia buang jauh pikiran gila itu. Susah payah ia mendapatkan beasiswa, mana bisa dikorbankan begitu saja.

Gadis berkulit putih itu pun mengecek saldo tabungannya. Melihat sejumlah angka di sana, ia yakin itu cukup untuk melunasi kekurangan. Selesai bersih-bersih, Bulan menemui Bu Rahma di ruangannya.

"Bu, ini Bulan ada sedikit tabungan. Cukup buat bayar sewa."

"Ini tabungan kamu, Nak. Sudah, simpan aja."

"Enggak, Ibu harus ambil ini atau Bulan marah. Bulan gak mau kalau sampai Pak Hamzah mengancam Ibu lagi." Bu Rahma hendak memotong ucapan Bulan. Namun, langsung gadis itu potong.

"Tidak ada penolakan, Bulan berangkat ke laundry dulu. Siang baru ke kampus. O ya, kalau ada apa-apa segera hubungi Bulan, ya, Bu."

Bu Rahma hanya bisa mengangguk, entah kenapa bocah itu selalu begitu. Tak pernah pikir panjang jika sudah berurusan dengan tolong menolong.

Setelah Bulan berangkat, Bu Rahma pun mulai membantu Bi Nunik mencari resep aneka kue basah dan kering, di internet. Rencananya, besok mereka baru akan berbelanja dan membuatnya. Kemudian, dijual ke pasar. Lumayan untuk menambah-nambah pemasukan. Sebab mereka tak bisa seterusnya berpangku tangan pada Bulan, gadis itu juga perlu menabung untuk hidupnya.

Sesampainya di laundry, seperti biasa ia segera mengepak baju-baju yang sudah siap antar. Karena baru Bulan saja yang memiliki surat izin mengemudi. Jadi, untuk sementara gadis berparas ayu itu dulu, yang mengantar-jemput pakaian kotor dan bersih. Bukan tidak ada karyawan laki-laki, tapi dia sedang cuti pasca menikah.

"Dicek lagi, Lan. Takut ada yang ketinggalan," ucap Leni. Bulan pun menurut, ia kembali memeriksa keranjang besarnya.

"Aman, Kak. Aku berangkat dulu, ya," pamit Bulan mantap.

Tak lupa helm berstandar nasional Indonesia ia kenakan. Dan Bulan pun melajukan kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang. Ya, tidak boleh terlalu kencang, hati dan pikirannya kini tengah dilanda kegundahan. Ia takut jika nanti sampai membahayakan orang lain.

Entah sampai kapan masalah sewa ini akan berlangsung. Andai besok bisa terlunasi pun, bulan berikutnya akan tetap kembali seperti ini. Memikirkan itu membuat hatinya kian nyeri. Bukan karena jumlahnya, bukan. Tetapi, karena segala ancaman yang kerap Tuan tanah itu lontarkan.

Pernah sekali ia bertanya, ke mana perginya para donatur yang dulu sering datang berkunjung. Sebab sejak ia memasuki usia sekolah dasar, orang-orang yang datang ke panti kian jarang. Saking jarangnya, bisa dihitung dengan jari, berapa kali orang-orang itu datang dalam setahun. Namun, Bu Rahma menegurnya. Beliau bilang, pertanyaan yang ia ajukan sangatlah tidak benar.

Sejak itu, ia tak lagi bertanya. Dan setelah dipikir-pikir, saat itu ia benar-benar lancang dan tidak pandai bersyukur. Aih, dasar bocah lancang. Rutuknya dalam hati.

☘️☘️☘️☘️☘️

Di sebuah kafe yang mengusung konsep outdoor. Lengkap dengan segala tanaman hias yang menjadikan tempat itu begitu rindang dan sejuk. Sekumpulan wanita-wanita yang bisa ditebak dari golongan kelas atas, tengah asyik berbincang ria. Saling bersahutan dalam membanggakan karir serta kesuksesan suami-suami mereka.

"Halo semuanya, maaf lama. Biasa, 'kan harus melayani suami dulu," tutur Laila disambut gelak tawa teman-temannya. Mereka semua rata-rata istri pengusaha. Namun, hanya Dareen yang namanya masuk dalam daftar 15 orang terkaya di Indonesia.

"Iya tahu, yang selalu jadi pengantin baru," kelakar Rachel yang juga teman semasa kuliahnya. Sementara yang lain ikut tertawa renyah.

"Wanita yang tidak bisa mengandung, tak ubahnya sebuah pohon tanpa buah. Tidak bermanfaat," sindir salah seorang wanita, yang memang sejak awal tidak menyukai Laila.

"Pohon jati bahkan tidak berbuah, tapi harganya sampai selangit. Bermanfaat ataupun tidak, bukan dilihat dari berapa nyawa yang keluar dari rahimnya. Namun, dari pola pikir juga tindakannya. Mulutmu bahkan jauh lebih wangi daripada melati," sarkas Laila, kemudian menyeruput secangkir teh yang sudah terhidang di meja.

Rahang wanita yang baru saja mencoba untuk memprovokasi Laila mengeras. Di bawah meja, tangannya pun mengepal kuat menahan amarah. Tatapannya pun, tak berpaling barang sedetik dari wajah ayu Laila.