Ke esokan harinya, di sebuah rumah
Gubrak! Pintu kamar Aditya terbuka keras saat cowok itu masih tertidur pulas di balik bedcover bergambar catur. Padahal sekarang udah jam satu siang. Cowok itu masih aja nyenyak bermimpi.
Sejak tiba dari Maroko kemarin, hidup Aditya seperti ke balik-balik. Kalau terang bawaanya ngantuk mulu. Tapi giliran gelap, ngalahin kuntilanak yang jagain pohon mangga. Maklumlah, soalnya perbedaan waktu di Maroko dan di Indonesia kan lumayan jauh. Makanya dia tepar banget waktu sampai di Indonesia jam tujuh pagi.
Seseorang menarik selimutnya, berharap Aditya bisa segera bangun. Tapi sayangnya nggak ngaruh sama sekali. Aditya malah membalikkan tubuhnya membelakangi orang itu.
"Wake up!" Bentak orang itu bak pimpinan di sekolah militer. Ia mengguncang-guncangkan tubuh besar Aditya dengan keras.
Aditya membuka matanya perlahan. Mencoba melihat siapa orang yang mengganggu tidurnya itu. Sial! Padahal Aditya baru saja bermimpi indah banget. Mimpi keliling dunia pakai balon udara kayak di lagu Sherina.
"Adit! Bangun!"
Aditya mengucek matanya, kemudian memandangi cowok di hadapannya dengan tatapan tajam. Cowok itu Andre, kakak semata wayangnya yang punya penampilan dan sifat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan dirinya. Dia dan Andre hanya terpaut tiga tahun.
"Ngapain kamu ke Bandung?" Tanya Andre tanpa peduli dengan wajah adiknya yang masih setengah sadar.
Aditya diam saja. Mungkin berusaha mengontrol sakit kepalanya gara-gara di bangunin tiba-tiba. Dia malah menutup kepalanya dengan bantal seakan nggak peduli dengan pertanyaan kakaknya barusan.
Andre menarik bantal yang menutupi wajah Aditya. Lalu dengan setengah memaksa, ia menarik bahu cowok itu agak keras.
"Kamu bermasalah lagi,ya? Apa lagi yang kamu perbuat? Kamu di keluarin lagi dari sekolah?" Dengan nada tinggi Andre menghujani. Aditya dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan cowok itu.
"Sampai kapan kamu mau mempermalukan keluarga kita?"
Aditya bangkit dan menatap Andre dengan penuh kebencian, seakan sedang berhadapan dengan musuh bebuyutannya. Seperti Harry Potter menatap Lord Voldemart, Batman menatap Jocker, atau Rama menatap Rahwana. Mata Aditya berkilat tajam.
"Jawab!" Bentak Andre. Andre semakin emosi. Wajahnya yang putih memerah. Suaranya agak bergetar karena menahan amarah.
Masih dengan ekspresi sama, Aditya memalingkan muka. Kemudian dengan lantang ia berkata,
"Ngapain elo ngurusin gue? Urus aja diri lo sendiri! So, get out!"
"Aku ngurusin kamu karena aku kakakmu!"
"Nggak usah sok romantis deh lo!" Ucap Aditya nggak kalah keras.
"Jijik gue dengernya."
"Heh! Aku tuh lebih tua dari kamu. Seharusnya kamu bisa menghormati aku sedikit."
Aditya tertawa keras. Kemudian ia kembali merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Ia malas mendengar ocehan kakaknya yang membuatnya bertambah muak. Konyol banget Andre minta di hormati setelah apa yang dia lakukan dulu pada mantan pacar Aditya.
Mantan pacar Aditya? Ya, Silvi Anggraini namanya. Cewek yang sangat dicintai Aditya dengan segenap jiwa dan raganya selama hampir dua tahun. Tapi apa yang terjadi? Aditya melihat Silvi bermesraan dengan Andre sewaktu mereka tinggal di Maroko. Setelah kejadian itu Aditya tidak memedulikan Andre dan Silvi. Kabar terakhir yang Aditya dengar, Andre dan Silvi berada di kota yang sama. Andre menjalankan bisnis coffee shop di Bandung, dan Silvi memutuskan tidak melanjutkan sekolah di Maroko, lalu pindah sekolah ke Bandung karena keluarga Silvi memang tinggal di Bandung.
Andre, cowok yang terkenal paling sabar di antara teman-teman serta keluarganya jelas tambah naik pitam.
"Percuma aku ngomong sama orang kayak kamu!" Ujarnya sambil beranjak dari kasur Aditya dan berjalan pergi meninggalkan kamar cowok itu dengan gusar.
Ketika mengetahui Andre telah keluar dari kamarnya, Aditya beranjak dari tempat tidur. Dengan langkah terseret, ia mengambil tas ranselnya dan mengeluarkan seluruh isinya Handpone, notes, bolpoin, kaus, handuk kecil, parfum, dan sebuah sepatu.
Aditya menarik tali sepatu itu dan meletakkannya dengan hati-hati di atas meja. Sejenak ia tertegun. Heran melihat warna sepatu converse tersebut.
Ukuran sepatu tersebut termasuk mungil. Warna sebenarnya biru. Tapi karena kotor, warna birunya menjadi agak pudar. Tapi uniknya, jika di perhatikan dengan teliti di list samping kanan ada tulisan yang sudah agak pudar "Ara cantik yang punya" Alay banget!
"Sepatu ini dekil banget. Tapi kenapa cewek itu masih mau pakai ya? Cewek kan kebanyakan anti sama yang kotor-kotor. Tapi kenapa cewek itu...." Aditya berbicara sendiri.
Ia lalu membuka tas kecilnya dan mengambil kamera kesayangannya. Cowok itu memang penggila fotografi. Kerjaannya jalan-jalan dari satu kota ke kota lain untuk hunting foto. Dia mulai menekuni hobinya itu sejak awal masuk SMP. Jadilah sekolahnya hancur-hancuran gara-gara sering bolos untuk hunting foto.
Pas lulus SMP, dia sengaja di kirim orangtuanya ke Maroko agar dia nggak sering di-drop-ut kayak yang sudah-sudah. Kelakuannya itu menurut orangtuanya memalukan nama besar keluarga Danendra. Yap, keluarga Danendra adalah salah satu keluarga tersohor di dunia pembisnis di Jakarta. J.B. Danendra, kakeknya, adalah pengusaha sukses pemilik Danendra Group yang banyak memiliki bisnis hotel, kafe, dan restoran.
Aditya mengarahkan kameranya ke sepatu converse tadi, mencari angle yang tepat. Kemudian di tekannya salah satu tombol dan... klik! Ia tersenyum lebar. Dilemparkannya sepatu converse itu ke bawah kolong tempat tidurnya. Lumayan juga buat nakut-nakutin tikus.
Sebenarnya Aditya menyukai foto bernuansa human interest. Karena ia merasa bisa merasakan apa yang di rasakan oleh objek dalam fotonya itu. Baginya, foto selalu memberikan cerita tersendiri tentang kehidupan. Ya, kehidupan yang kadang sulit untuk di pahami. Foto juga membuatnya nggak pernah merasa sendiri meskipun berada di tempat sepi.
"Selamat pagi, Den Adit," sapa Bik Inah, pembantu keluarga Danendra yang telah mengabdi sejak Aditya masih imut-imut. Bik Inah membawa nampan berisi segelas susu dan roti tawar. Wanita tersebut hafal banget kalau Aditya paling benci sama makanan yang manis-manis. Roti aja nggak mau di kasih apa-apa. Tawar kayak sandal.
Aditya mengaruk-garuk kepalanya sambil menguap lebar. Sejenak ia mengelap wajah dengan ujung kausnya. Menghilangkan iler-iler yang mungkin masih menempel.
Bik Inah tertawa melihat kelakuan anak majikannya itu. Sorot mata Bik Inah tampak teduh. Adem. Menandakan betapa bijaksana dia.
"Kenapa, Bik?"
Bik Inah tersipu malu. Mirip ABG ketahuan ngintipin cowok-cowok ganti baju.
"Ah,ndak. Bibik cuma teringat waktu Den Adit kecil dulu."
Aditya membuka matanya lebar-lebar sambil menatap wanita yang memakai kebaya dengan rambut di gelung itu.
"Ingat apa, Bik?" Tanya Aditya tertarik dengan ucapan Bik Inah.
"Duduk, Bik."
Bik Inah meletakkan nampan di atas meja. Kemudian ia duduk di lantai.
"Lho, kok Bibik duduk di lantai sih?"
"Udah, ndak apa-apa. Takut kasur Den Adit kotor."
"Ya udah, kalau Bibik duduk di bawah, saya juga duduk di bawah aja."
"Eh, jangan, Den," ucap Bik Inah panik dan langsung duduk di sudut tempat tidur Aditya dengan ragu.
Aditya memperhatikan wanita tua di hadapannya. Bik Inah belum berubah. Rambut selalu di konde cepol, memakai kebaya, dan berjarik, serta yang tak ketinggalan sandal jepit rumahan. Hanya rambutnya telah memutih.
"Bibik tau nggak? Selama saya di Maroko. Bibik satu-satunya orang yang saya kangenin lho. Ternyata Bibik nggak berubah, ya. Masih seksi. Hahaha...."
"Ah, Den Adit dari dulu juga ndak berubah. Masih seneng banget ngeledekin saya."
"Hahaha... masa sih saya nggak berubah? Saya kan sekarang udah gede. Udah malu kalau di mandiin sama Bibik. Nanti Bibik pengen, lagi," goda Aditya tersenyum jail.
"Ya, ndak mungkin toh. Den Adit kan udah saya anggap cucu saya sendiri," ucap Bik Inah dengan wajah serius.
"Tapi beneran lho, Bik. Selama saya di Maroko, saya paling kangen sama Bik Inah. Soalnya waktu di Jakarta, Bibik kan yang ngurus saya kecil. Bibik yang paling tau saya. Bibik juga yang sering nenangin saya kalau saya habis di marahi Papa," tutur Aditya.
"Oh iya, dulu saya yang mandiin Den Adit waktu kecil, nyuapin makan, nemenin tidur, bahkan saya yang ngejar-ngejar layangan sewaktu layangan Den Adit putus. Saya dulu juga masih kuat lari-lari ngikutin Den Adit naik sepeda roda tiga sambil nyuapin."
"Hahaha..." Aditya tertawa kencang. Kemudian ia menghela napas panjang.
"Waktu itu, cuma Bibik yang sayang sama saya. Sampai sebelum saya berangkat ke Maroko pun, Bibik masih sering membela saya di depan Papa."
"Bibik masih ingat waktu Den Adit pulang jam empat subuh sambil sempoyongan terus muntah-muntah. Waktu itu Den Adit baru lulusan SMP"
"Iya, waktu itu Bibik bilang ke papa kalau saya habis pulang lari pagi dan langsung kecapekan di kamar."
Mata Bik Inah menerawang jauh .
"Dulu Bibik suka kasihan sama Den Adit. Anak kecil kok sering di marahi? Jadinya kan malahan tambah bandel. Tapi Bibik seneng melihat Den Adit sekarang."
Aditya mengerutkan keningnya.
"Seneng kenapa, Bik?"
"Soalnya Den Adit sekarang guanteng tenan. Mirip artis film anu itu lho, hmmm... Mas Iqbal!"
"Hahaha... Bibik bisa aja." Aditya tertawa melihat wajah Bik Inah yang terlihat serius.
"Den Adit jadi kan pindah sekolah di sini?" Tanya Bik Inah.
"Jadi dong, Bik. Saya kemarin sudah daftar di SMA Taruna Bakti dekat kampus Andre" kemudian ia bertanya.
"Andre pergi ya, Bik?"
"Iya. Jam-jam segini biasanya Den Andre ke Panti"
"Panti?"
Bibik menggangguk.
"Iya Den. Panti Asuhan Pelita Hati namanya. Yang punya namanya ibu Nirmala. Suami beliau katanya masih sahabatan sama Tuan Besar. Orangnya buaiiik sekali. Den Andre sering datang kesana. Soalnya teman-teman kampus Den Andre banyak yang dari panti sana katanya dapet Bea Siswa. Udah gitu, anak ibu Nirmala yang namanya Mbak Selly pernah dekat dengan Den Andre."
"Mereka pacaran?" Aditya mulai tertarik. Soalnya jarang banget Andre terdengar dekat dengan seorang cewek.
"Saya ndak tau, Den."
Adit berpikir sejenak."Apa mungkin Selly itu pacar Andre? Lalu bagaimana dengan Silvi? Kabarnya kan silvi pindah sekolah ke Bandung. Apa mereka berdua masih sering bertemu?"
"Bibik tau alamatnya?"
"Ya taulah, Den. Lha wong pantinya ibu Nirmala itu sudah terkenal seantero Bandung kok. Den Adit mau ke sana?"
Aditya terdiam sambil menatap Bik Inah tajam. Sesaat kemudian ia mengangkat bahu. Menandakan ia ragu dengan jawabannya sendiri.
"Hayooo... Mau kenalan sama Mbak Selly ya, Den...?"
"Nggak tertarik, Bik. Pokoknya nggak ada cewek di sana yang bisa menggantikan keseksian Bik Inah."
"Aduh, Den Adit bercanda terus."
Adit tertawa menatap wanita tua itu. Dalam hati ia berkata, "waktu berjalan begitu cepat, Bik Inah sudah bertambah rapuh. Kedua tangannya sudah nggak kuat lagi memijit seperti dulu. Walaupun begitu, wajahnya tetap nggak berubah, hanya sekarang terlihat keriput-keriput yang tak bisa di tutupi. Namun di balik itu, wajahnya tetap memancarkan kelembutan dan kedamaian."