Richo masih mencari seseorang yang bertopeng tempo lalu. Dia menerka-nerka kalau dia sudah tidak mempunyai musuh lagi di luaran. Siapa yang akan menyerang dia tanpa menampakkan wajahnya secara langsung. Pengecut.
Cowok itu mendesis kesal, sehari kemarin dia terlalu sibuk dengan tugas sekolahnnya sehingga melupakan kekasihnya. Kira-kira cewek itu sedang apa? Richo sangat merindukan sosoknya.
Tangannya mengambil ponsel di nakas samping tempat tidurnya, dia mengotak-atik mencari nomor tujuannya.
"Hai." Richo tersenyum menyapa di sebrang telfon.
Cowok itu masih menampakkan senyumnya, walaupun tidak ada sahutan disana.
"Besok pulang sekolah gausah jemput. Gue mau lo langsung ke tempat favorit kita dulu."
Dehaman di sana buat Richo mematikan ponselnya tanpa pamit atau kata menyudahi percakapannya. Cowok itu mengamati wallpaper di handphonenya. Foto dia bersama Freya saat kecil.
Tidak ada satupun yang Richo hapus atau merasa bosan dengan kenangannya dulu. Foto-foto kecilnya dia selalu simpan di laci yang tidak satu orang rumahnya tahu. Karena bagi Richo, hanya kenangannya yang bisa membuat hatinya tenang dan merasa damai. Walau terkadang sekelebat bayangan teman laki-laki 'nya yang terbesit di otaknya, Richo sudah berjanji tidak akan berkhianat. Dia selalu menepati janji selama dia mampu untuk menjalankannya. Cowok itu bukanlah pecundang yang berani di belakang. Seperti ucapannya dulu saat dia dan Arkan berperang, Richo mengalah untuk kemenangan.
***
Freya mengamati seluruh sudut yang membuatnya berdecak kagum.
Cewek itu di ajak ke restoran milik Papa 'nya Marvin—Ardo. Gisella yang menuntun Freya untuk duduk di tempat yang sudah di siapkan sebelumnya.
"Sayang, kamu pilih aja makanan yang kamu suka." ucap Gisella tersenyum, buku menu itu di sodorkan. Freya membungkuk sebentar, dia tersenyum tulus menatap Gisella.
Marvin yang duduk sebelah Papa 'nya berbisik, "Pa. Anak Mama itu sebenernya siapa si?"
Ardo terkekeh, dia menyanggah. "Kamu ini. Jelas kamu, tapi Mama juga sayang sama temen kamu. Ya, mungkin juga dia kangen sosok Kakak kamu."
Marvin niatnya bercanda, tapi wajah Papa 'nya terlihat muram. Pasti beliau juga merindukan sang Kakak.
"Freya. Nanti temen-temen kamu juga ajak kesini aja, pasti Papa kasih diskon." celetuk Marvin.
Freya melirik orang tua ber-sampingan itu bergantian. "Ga di kasih diskon juga ga apa-apa."
Marvin cemberut, dia pura-pura merajuk. "Ih, pasti Papa kasih diskon gede."
"Kalau nak Freya berkunjung lagi bersama teman yang lain, om sama tante akan merasa senang sekali. Nanti om kasih gratis kalau makan pertama, hitung-hitung memperkenalkan." tawar Ardo.
Freya menolak, "Eh gausah lah, om. Freya di ajak kesini sama tante dan om juga suatu kehormatan. Soal temen nanti Freya ajak mereka kok, kalau mau cari tempat makan."
Gisella tersenyum, tangannya mengelus lembut rambut Freya. "Jangan sungkan. Tante sudah menganggap kamu sebagai putri tante sendiri." sahutnya.
Freya tertegun, lagi-lagi hatinya ikut merasakan suasana yang membuatnya rindu. Freya ingin sekali menangis seperti orang lain yang sedang terluka. Freya ingin memeluk, tapi juga tak berani. Freya di manja, dia di sayangi Ibu dari temannya.
"Freya. Jika tidak keberatan, kamu panggil kami Papa dan Mama saja. Kami berdua juga senang kalau kamu terus berkunjung ke rumah, tapi kami juga mengerti jika kamu sibuk soal masalah sekolah."
Freya melirik Marvin yang diam, cowok itu apa tidak suka jika Papa 'nya berucap seperti itu?
"Engga, om. Freya lebih nyaman gini aja, hehe." tidak enak juga dengan Marvin, Freya merasa bersalah.
"Yasudah kalau begitu kita makan aja, ya. Pesanannya juga sudah datang." tandas Gisella.
Semuanya makan dengan khidmat, tentu dengan obrolan tentang sekolah kedua anak itu.
...
Guntur terlihat membaik, Trian dan lainnya merasa bersyukur. Setidaknya anak itu tidak lagi muram seperti kemarin.
"Wei, udah semangat lagi nih." ujar Galen.
Guntur sedikit menyungging.
"Keliatan lebih Fresh, si di banding kemarin, pucet kayak mayat idup." cetus Milano.
"Lo lebih mirip boneka chukky, No." kelakar Arkan.
Semua tertawa. Milano mendengus dengan wajah yang di tekuk.
"Yaela, becanda kali." Arkan menyiku sisi lengan cowok itu.
"Iya tau, gue juga cuma akting ngambek."
Konco-konco itu terbahak menggema di sepanjang koridor menuju kelasnya.
Teman memang sangat di butuhkan kala kita sedang terpuruk atau merasa sedih. Adanya mereka juga sangat berarti, tapi kita juga tidak pernah mengetahui seberapa lama dia mampu bertahan. Seberapa lama dia bersabar untuk menghadapi kekurangan masing-masing. Saling menguatkan itu harus, tapi dengan hati yang tulus.
Freya masuk ke dalam sekolahannya lewat halaman belakang, dia ingin tahu juga apa ada murid yang masih melanggar aturan.
"Lo kasih ini ke si bos, jangan sampe si Freya curiga."
Benar saja. Freya tersenyum smirk, mereka belum menyadari keberadannya.
"Hai."
Tiga cowok disana membelalakan mata, kakinya mundur seketika.
"Kenapa?" alis Freya terangkat sebelah, dia sepertinya akan melakukan olahraga pagi.
Renal terkekeh, jempolnya mengelus alis kanan. "Freya, lo tuh cewek..kita bertiga loh." smirk mulai di pamerkan.
Sepuluh jari Freya bertaut di depan mulutnya sambil bilang, "Uh..takut."
Tiga cowok itu mulai berani, mereka tertawa di tempat yang sunyi.
"Tapi boong..Hahahaha."
Freya tertawa menyerupai monster yang akan melahap hidangannya. Tiga cowok itu merinding, mereka mundur tiga langkah.
"Mau lo bawa satu rt. sekalian 'pun gue hadepin." Freya menatap datar.
Jika bisa membayangkan mimik yang berbeda dari Freya sekarang, dia seperti sedang kerasukan makhluk penunggu disana.
"Please. Gue mohon lo jangan ikut campur masalah ini, gue gamau kena amuk si bos kalo lo laporin kita. Udah cukup lo bawa Reka sampe di skors satu minggu." Bagas memohon, dia juga tidak ingin di hajar karena gagal dengan perintahnya.
Freya berjalan mendekat, memutari tiga cowok yang sudah gemetaran karena terlalu panik.
"Siapa bos lo?"
Bagas, Sandy dan Gilang tergugup. Mereka di perintahkan untuk tidak memberitahu siapapun, apalagi Freya. Cewek yang sangat berpengaruh di sekolahannya.
"Kayaknya pemanasan pagi hari..lumayan juga." kepala Freya ke kiri ke kanan, meregangkan tulang-tulang lehernya hingga bunyi.
Cowok-cowok itu menelan ludah susah payah, tidak ada cara lain selain mereka berkata jujur.
"Santai dong, jangan terburu-buru."
Freya tahu, mereka takut dan sengaja mengulur waktu.
"Kita bakal bantuin lo, apapun itu. Tapi, gue mohon kali ini aja bebasin kita."
Dari awal memang sering terjadi negosiasi, tapi itu tidak berlaku dengan cewek yang terkenal jago gelud.
"Berani lo jawab, gue putusin leher lo semua!"
Mereka tremor, keadaannya semakin mendesak. Freya memang tak kenal ampun.
"Oke." Bagas bersuara, dia menghela napas sebelum menjawab. "Rendy dalang semuanya."
Freya tersenyum miring, dia sudah terlanjur bersabar dengan waktunya yang terbuang karena kuman yang menghalangi jalannya.
Tiga tinjuan itu mampu buat cowok disana terkapar tak berdaya.