"Jee Kyung hanya meminta kalian menjagaku karena dia dan Ha-Neul sudah menganggapku seperti Adik mereka. Kenapa kalian malah menyangkut pautkan pesan terakhirnya dengan berpikir aku tiba-tiba akan menghilang juga?" kekeh Yeon-Seok menyikut Heo Dipyo dan Hyun-Jae.
"Kalian setakut itu, kehilangan orang yang bisa kalian kerjai sepanjang waktu, huh," cibir Yeon-Seok membuat Hyun-Jae dan Heo Dipyo tersenyum simpul.
"Hah..., rasanya tak ingin pulang saja" gumam Heo Dipyo.
Memang semenjak Jee Kyung menghilang, kediaman Hyun-Jae menjadi tempat yang nyaman baginya. Dia, Heo Dipyo, tidak perlu berlarut-larut meratapi Gadis yang tega meninggalkan dirinya itu.
"Menginaplah di sini. Kita bisa berbincang sepanjang malam sampai salah satu dari kita tak kuat lagi membuka mata" kata Yeon-Seok memberi ide sambil melirik Heo.
Siang itu, hujan tak lagi mengguyur bumi. Firasat Hyun-Jae, tentang akan datangnya suatu kejadian tak menyenangkan, mulai menggelayuti relung hatinya.
Heo Dipyo memperhatikan Pria itu sejak setengah jam yang lalu tapi tak dihiraukannya. Dan kini, setelah Heo Dipyo menyudahi kegiatannya Pria bernama Hyun-Jae masih saja tetap dalam posisi dan ekspresi yang sama.
"Ada yang meresahkan hatimu?" pertanyaan Heo Dipyo memecahkan lamunan panjang Hyun-Jae.
"Bacalah ini dan katakan saja apa yang kau pikirkan setelahnya" gumam Hyun-Jae menyerahkan sebuah surat dari seorang Menteri.
"Bukankah ini kesempatan untuk mendekatkan mereka berdua Hyun-Jae? Kenapa hal seperti ini saja kau memikirkannya terlalu lama?" kekeh Heo Dipyo mengembalikan surat itu pada si empunya.
"Aku mulai berpikir kalau...ini seharusnya tidak boleh kuizinkan"
"Apa? Kenapa?"
"Ha-Neul dan Jee Kyung bukankah menghilang setelah mendapatkan cinta kita? Bagaimana jika itu terjadi pada Yeon-Seok? Kalau mereka..."
"Hey!! Jangan menyamakan keadaan kita dengannya saat ini. Kau yang selama ini menginginkan Yeon-Seok memiliki seorang pendamping. Lalu sekarang kau berubah pikiran hanya karena kejadian yang menimpamu dan menimpaku? Apa itu adil untuk Yeon-Seok?" geram Heo Dipyo mulai kesal.
"Aku sungguh tidak ingin menghalangi hubungan mereka tapi aku juga tidak pernah mengharapkan Yeon-Seok mengalami apa yang kita sedang alami kini" gumam Hyun-Jae lirih.
"Yeon-Seok selama ini sembunyi-sembunyi di belakang kita menemui Ah-In. Dan tanpa sepengetahuannya kau terus mengawasinya. Kau lihat perubahan Yeon-Seok Sekarang bukan? Dia jauh lebih terbuka dengan kita"
"Ini perkembangan yang bagus menurutku. Ah-In mengubah dunianya yang membosankan itu menjadi penuh warna. Kau tega, membuat kebahagiaan anak itu pupus hanya karena satu kata tidak darimu?" protes Heo Dipyo tak habis pikir.
"Apa kau yakin mereka saling mencintai?"
"Kau masih belum menyadari? selama kurun waktu dua tahun dia terus menghilang dari kediamanmu, dari Istana, hanya untuk menemui Ah-In. Lalu perang datang padahal posisi anak itu, sudah terlanjur berjanji menemui Gadis itu"
"Dia terluka tak sadarkan diri dalam waktu yang tidak sebentar Hyun-Jae. Begitu dia membuka mata, bukankah kakinya tetap melangkah menuju Ah-In? Hal seperti ini apa namanya jika bukan cinta?" terang Heo Dipyo panjang lebar.
"Yeon-Seok yang sekarang berbeda dari yang dulu Heo"
"Maksudmu?"
"Dia belum menyadari perasaan itu pada Ah-In."
"Apa karena berbulan-bulan dia tak sadarkan diri?" gumam Heo Dipyo.
"Aku harus menolak permohonan ini" tegas Hyun-Jae beranjak pergi menuju ruang kerjanya.
"Kau ingin menghalangi takdir mereka? Jangan bertindak konyol Tuan Hyun-Jae! Tidak akan terjadi apa pun pada anak itu meski dia memutuskan bersama Ah-In!" teriak Heo Dipyo merebut kuas yang akan diambil Hyun-Jae tadinya.
"Memang apa yang akan terjadi padaku? Kalian membicarakan apa?" tiba-tiba suara Yeon-Seok tepat di ambang pintu rung kerja Hyun-Jae, mengagetkan keduanya.
"Kebetulan kau datang. Ayo duduklah di sini" sambut Heo Dipyo menepuk sebuah bangku kayu kosong di sebelahnya.
Yeon-Seok berjalan, mematuhi perintah Heo.
"Perdana Menteri Duck-Young meminta ijin pada Hyun-Jae, untuk meminta tolong padamu menjaga Putrinya selama perjalanan. Yang kau jaga sebenarnya tidak hanya Putrinya, tapi Yang Mulia Raja juga turut serta dalam perjalanan ini" kata Heo Dipyo terdengar sangat bertele-tele ditelinga Yeon-Seok.
"Maksudmu aku harus menjaga Raja dan Putri Menteri Duck-Young? Lalu apa masalahnya sampai kalian saling berteriak tadi?"
"Itu..., karena... sepertinya Raja tertarik pada teman seperjalanan nya itu. Raja merasa selalu bisa mendapatkan inspirasi melukis jika diiringi oleh suara merdu Putri dari Menteri Duck-Young"
"Katakan saja aku bersedia" jawab Hiroshi sekenanya toh dia tidak akan dirugikan dalam hal ini.
"Kau yakin mau mengawal Putri Menteri Duck-Young? Dia akan selalu berada di sisi Yang Mulia. Apa hatimu tidak merasa terusik sedikit pun?" potong Hyun-Jae dengan tatapan menusuk.
"Memang siapa Putri Duck-Young itu? Kenapa aku harus merasa terusik?" balas Hiroshi, sambil memakan buah pir yang sedari tadi sudah ia genggam.
"Kau pura-pura tidak tahu, atau ingatanmu memang belum pulih? Namanya Ah-In. Gadis di Taman, yang kau ceritakan pada kami" jawab Heo Dipyo merasa janggal.
Mendengar itu, Hiroshi langsung terbatuk-batuk. Hyun-Jae menyodorkan satu mangkuk air putih untuknya.
"Aku harus mengawalnya?! Yang benar saja!" pekik Hiroshi mengumandang.
"Apa Anda keberatan, Tuan Yeon-Seok? Saya pikir hubungan kalian cukup dekat" tiba-tiba ada suara lain dari ambang pintu.
"Menteri Duck-Young? silakan bergabung, dengan kami" tawar Heo Dipyo menyikut lengan Yeon-Seok.
Kedatangan tak terduga Ayah Ah-in membuat Hyun-Jae makin khawatir.
Sang Menteri hanya memberi salam pada ketiganya, sambil tersenyum bijak.
"Maaf. Saya ada keperluan lain setelah ini Panglima Hyun-Jae. Maksud kedatangan saya kali ini, masih ada hubungannya dengan Putri saya Ah-In. Anak itu, tidak mau pergi memenuhi undangan Raja jika Tuan Yeon-Seok, tidak ada dalam rombongan"
"Ya, saya paham ini sungguh sangat merepotkan tapi bisakah Anda meluangkan waktu untuk ikut dalam perjalanan Ah-In?" sang Menteri merendah, menatap penuh harapan pada sosok Yeon-Seok.
"Jika saya bisa membantu kelancaran perjalanan Yang Mulia Raja, tidak ada lagi alasan bagi saya untuk menolak permintaan Anda" jawab Hiroshi pura-pura senang menerima tawaran.
Sang Menteri menganggukkan kepala beberapa kali sambil tersenyum senang.
"Datanglah besok sebelum matahari tepat di atas kepala." Balas sang Menteri, membungkuk memberi penghormatan pada ketiga pemuda di hadapannya, lalu melenggang pergi.
"Hampir saja kau, dipecat jadi calon Suami Ah-In baru saja ha ha ha" tawa Heo Dipyo membuat Hyun-Jae ikut tersenyum simpul.
"Lupakan" jawab Hiroshi kesal sambil melemparkan buah pir ke arah Heo lalu pergi begitu saja.
"Semoga dia bisa menahan rasa cemburunya esok hari" gumam Hyun-Jae mulai resah.
Semenjak Yeon-Seok terbangun dari tidur panjang, entah kenapa anak itu mudah sekali tersulut emosi.
Istana.
Pagi menjelang Yeon-Seok dengan seragam lengkap menunggu iring-iringan Raja di Taman Istana. Tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah bungkusan kain kecil ke arahnya.
"Tu-Tuan, saya dengar Anda..., akan melakukan perjalanan panjang. Semoga ini bisa...membuat Anda kembali bertenaga" kata seorang Dayang Istana, menyodorkan bungkusan makanan ringan untuk Yeon-Seok.
"Kau tidak perlu repot-repot. Aku akan mengurusnya dengan baik. Pergilah!" suara Ah-In langsung dapat di kenali Hiroshi sebagai tanda bahaya datang.
Bahkan Pria itu lebih memilih menjaga jarak dengan Ah-In. Sang Dayang membungkuk kecewa, lalu beranjak pergi.