Chereads / Mantra Penari Ke 7 / Chapter 103 - Dua kali dalam sehari

Chapter 103 - Dua kali dalam sehari

"Ayahanda dan Ibunda Yang Mulia sekarang sedang sekarat. Mohon segera temui mereka" kata-kata Wanita muda itu sukses membuat Ratu Seonha kehilangan keseimbangan.

Dia hampir saja pingsan, jika Hyun-Jae tidak mencengkeram kuat lengan sang Ratu.

"Antarkan aku ke tempat mereka" jawab Ratu tanpa basa basi lagi.

Kediaman keluarga Dayang.

Sesampainya di rumah Wanita Muda itu, letaknya berdekatan dengan sebuah kuil, Ratu Seonha dengan rasa khawatir yang memuncak menanti kedatangan Tabib yang sudah tiga jam lamanya menangani kedua orang Tuanya di tempat asing ini.

"Yang Mulia..." si Tuan rumah memanggil sambil menyiapkan makanan ringan untuk Ratu Seonha.

"Apa yang terjadi? Bukankah Ayahanda dan Ibunda ada di dalam kuil?! Lalu kenapa mereka bisa sampai terkena serangan panah beracun?!" teriak Ratu Seonha pada si Wanita muda.

"Mereka...diserang ketika sedang berdoa Yang Mulia...hamba pantas mati. Maafkan ketidak becusan hamba dalam menjaga kedua Orang Tua Anda" tangisan Wanita itu pecah sambil menunduk penuh penyesalan.

Seluruh tubuh Ratu Seonha bergetar hebat menahan segala rasa dalam hatinya. Marah, tak berdaya, benci, ingin menghancurkan pelakunya, semua bercampur aduk jadi satu.

Sebelum Ratu semakin memperlihatkan keterpurukannya kepada seluruh orang disana, Hyun-Jae menarik tangan Ratu Seonha membawanya keluar dari kediaman sang Dayang menuju ke sudut Taman terjauh dari jangkauan orang-orang.

Ratu melihat kearah seekor kuda yang terikat di bawah pohon.

"Anda ingin meluapkan emosi sekarang atau menahan emosi sambil menunggu kabar dari Tabib tentang perkembangan kondisi Orang Tua Anda?" tegas Hyun-Jae menatap tajam sang Ratu.

"...." diam...hanya ini yang bisa Ratu lakukan dalam diamnya.

"Meski pun Anda begitu banyak kehilangan. Jangan pernah tunjukkan rasa kehilangan Anda"

"Termasuk juga orang yang telah menghadirkan diriku ke dunia ini? aku...harus bersikap biasa saat kehilangan mereka?" lirih Ratu Seonha mencoba menahan tangisnya tapi bulir air mata selalu memaksa keluar dari pelupuk matanya.

"Meski pun kedua Orang Tua Anda, bahkan Kekasih Anda sekali pun" jawab Hyun-Jae tersenyum hambar.

"Yang Mulia!!" teriakan seseorang membuat perhatian keduanya teralihkan.

Hyun-Jae memberi ruang bagi sang Ratu untuk segera menghapus air matanya dengan berdiri di depan Ratunya sebelum sang Dayang sampai tepat dihadapannya.

"Tabib mengatakan Anda harus segera menemui beliau"

"Ayo" jawab Ratu mengatur wajahnya yang penuh kepedihan menjadi wajah datar.

Haruskah? Haruskah ia memakai topeng?Ratu berjalan mendekati Tabib yang kini sibuk membasuh peluh mantan Raja dan Ratunya.

"Apa ada kabar baik Tabib?"

"Maaf Yang Mulia. Racun telah tersebar ke seluruh tubuh beliau berdua. Akan lebih baik...Anda..."

"Bisa kau tinggalkan kami bertiga? Bukankah sudah tidak ada harapan lagi?" potong Ratu Seonha enteng.

"Ya, Yang Mulia" jawab sang Tabib tidak bisa berkata-kata lagi.

Memang itu kenyataan yang ada. Ia membungkuk memberi penghormatan lalu pergi.

"Ayahanda, Ibunda..." kata Seonha menggenggam tangan keduanya dengan tangan kanan dan kirinya.

"Maafkan Ananda. Ternyata rencana Ananda selama ini untuk melindungi seluruh orang yang Ananda sayangi tidaklah cukup." Tangisan Seonha pecah seketika.

Ia merasakan kedua bahunya ditepuk bersamaan. Ayahanda dan Ibunda Ha-Neul Arang menepuk bahunya sambil tersenyum meski rasa sakit menyelimuti sekujur tubuh mereka.

"Se-tidaknya kau...berusaha melindungi se-mua orang" kata sang Ayah, lemah tapi terdengar nada penuh kebanggaan dalam suaranya.

"Tidak semua o-rang dapat kau...lindungi Ha-Neul. Pertahankan keberanianmu sampai akhir. Lindungi semua orang sekuat tenagamu. Sampai titik darah terakhirmu. Kami tidak pernah menyesali apa pun keputusan Putri kami" kata-kata mantan Ratu itu mampu menjadi penyejuk hati Seonha yang rapuh.

Seketika...kedua bola mata Seonha terbelalak mendapati kedua orang tua Ha-Neul kehilangan kesadaran setelah batuk darah dan mengejang kuat.

"Tabib!! Panggil Tabib!!" teriak Ratu Seonha panik bukan main.

Mendengar teriakan histeris sang Ratu, Hyun-Jae memerintahkan Dayang segera memanggil Tabib sementara ia berlari memasuki tempat dimana Ratu berada.

Hyun-Jae terdiam menyaksikan sang Ratu memeluk erat tubuh Ayahnya sambil menangis pilu. Tabib tergopoh-gopoh mendatangi sang Ibunda dan Ayahanda, memeriksa denyut nadi, memeriksa kedua lubang hidungnya. Tabib tersebut kini tertunduk, turut berbelasungkawa ia hanya menggelengkan kepala pertanda sudah terlambat.

Ibunda Ha-Neul Arang telah tiada begitu pula Ayahandanya.

"Urus upacara kematiannya sekarang" kata Ratu menghapus air matanya lalu berdiri memunggungi kedua orang tuanya.

Hyun-Jae menggenggam tangan Ratu Seonha lalu menariknya menuju kuda yang terikat di atas pohon. Tanpa kata. Seonha hanya diam mengikuti kemana saja langkah Pria itu pergi membawanya. Hyun-Jae naik ke atas kuda, mengulurkan tangan pada Seonha, dan memacu kudanya ke suatu tempat.

Seonha menatap butiran putih pasir ia menatap penuh tanda tanya kenapa Hyun-Jae membawanya ke Pantai?

"Di sini hanya ada aku dan kau. Aku tahu kau sedari tadi menahan diri. Jadi tumpahkan segalanya disini. Berteriaklah, menangislah, atau makilah siapa pun itu" kata Hyun-Jae lembut tanpa menatap Seonha sedikit pun.

Ia tahu. Gadis itu tak akan mampu meluapkan segala emosi dalam jiwanya jika ia masih berada disisinya. Hyun-Jae melangkah mundur, berbalik akan membiarkan Ratu sendiri tapi langkahnya tertahan oleh Ratu.

"Aku...tak ingin sendiri kali ini" kata Seonha sendu mencengkeram kuat lengan Hyun-Jae.

Pria itu mengangguk lalu mengelus kepala Ratu. Lagi-lagi air mata Hamari tak sanggup terbendung. Ia berlari menjauh dari Hyun-Jae dan berteriak sekuat tenaga.

"HaaAAAaaaaaaaaaa!!" akhirnya...emosi yang menumpuk setiap harinya kini dapat di luapkan sekuat tenaganya.

Ia menoleh pada Hyun-Jae lalu membalas senyuman hangat Pria yang berdiri agak jauh darinya. Hamari berlari kearah Hyun-Jae lalu memeluknya erat.

"Kau adalah kekuatanku. Tanpamu aku tidak bisa berdiri tegak seperti saat ini. Hyun-Jae, terima kasih. Karena kau mau menungguku dan tetap menjadi tempat untuk kubersandar. Jika kita suatu hari terpisah, apa kau tetap mau bersabar menungguku? Sampai kita bertemu kembali? Meskipun itu tidak akan mungkin terjadi?"

"Ya"

"Jangan lakukan itu sungguhan. Kau berhak bahagia meski tanpaku, bodoh!!" kata Seonha melepaskan pelukannya lalu memukul lengan kekar Hyun-Jae.

Tapi Pria itu menarik tangannya dan kembali membawa sang Ratu ke dalam pelukannya.

Dua kali dalam sehari. Kau mengatakan tentang perpisahan. Apa kau sangat ingin menghilang dari hidupku? pikir Hyun-Jae semakin waspada. Tidak. Alihkan perhatiannya dengan hal yang lebih menyenangkan.

"Cepatlah jadikan Hwan Chin Raja sehingga kita bisa menikmati kebersamaan seperti ini tanpa rasa was-was. O ya, berikan aku 11 Putra"

"Kau pikir Istrimu kucing?!" kekeh Seonha dalam dekapan Hyun-Jae.

"Pamanku punya lebih dari itu"

"Hey, kau tahu seberapa sulitnya melahirkan anak Tuan Hyun-Jae?! Aku tidak sudi mengejan anak sebanyak itu"

"Baiklah...10"

"3"

"Itu terlalu sedikit. 5 saja"

" Tentu saja tidak. 1"

"Nanti anak kita kesepian. 2"

"Setuju" jawab Hamari menatap bahagia pada Hyun-Jae.

Jika ini hari terakhir kebersamaan kita, aku tidak akan menyesal. Tapi pasti aku akan terus merindukan masa seperti ini. Pikir Hamari membenamkan wajahnya ke dada Hyun-Jae.