"Oh, bukankah Yang Mulia Ratu Seonha yang paling bersemangat? Apa Anda takut sekarang?" ejek Hiroshi terkekeh melihat wajah Hamari mulai memucat.
Mendengar tantangan dan ejekan Hiroshi, jelas Hamari lebih memilih maju. Ia mengambil tongkat yang satunya, mengacungkan tongkat ke arah Hiroshi.
"Targetmu adalah kepala musuh. Kau akan mendapatkan nilai tambahan jika bisa menyerang pelipis lawan."
"Itu terdengar sangat berbahaya. Tidak bisakah menyerang yang lain? Bagaimana kalau kepalamu bocor karena ku" protes Hamari cemas.
"Apa yang kau pikirkan? Aku sekarang pelatihmu. Memang aku akan dengan mudah menyerahkan kepalaku padamu untuk kau pukul? Ingat itu baik-baik"
"Dalam pertempuran keraguan adalah pintu menuju kekalahan. Jadi siapa pun lawanmu, kau hanya harus berpikir dua hal saja. Melumpuhkannya, atau membunuh. Kau tidak akan berguna dalam pertempuran kalau bersikap seperti tadi." Hiroshi menajamkan pandangan matanya lalu bersiap.
"Serang dari arah mana saja. Ingat titik seranganmu adalah kepala musuhmu. Kau akan segera melumpuhkannya jika berhasil melukai pelipisnya" instruksi Hiroshi menggerakkan Hamari.
"Demi melindungi orang-orangku" gumam Hamari lalu berusaha memukul ubun-ubun Hiroshi.
Anak itu merendahkan tubuhnya ke bawah, meliuk ke kiri, dan menepis tongkat kayu Hamari dengan tongkatnya dari arah bawah.
"Ingat jangan menyerang lainnya. Kau hanya perlu memukul kepalaku" kekeh Hiroshi melihat keterkejutan Hamari saat menyaksikan kelihaiannya dalam berkelit.
Hamari memukulkan ke bagian leher tapi Hiroshi, menangkap tongkat kayu Hamari dengan tangan kanannya.
"Sudah ku katakan kepala. Bukan lainnya" tegas Hiroshi geram sambil melepaskan tongkat kayu Hamari.
"Leher bagian dari kepala Hiroshi Ck"
"Ubun-ubun, kepala belakang, pelipis, dahi, dan seluruh wajah, memang adalah bagian dari kepala, Hamari. Masalahnya kau menyerang orang yang ahli, dengan arah matamu yang mudah ditebak?!" Tegur Hiroshi menggelengkan kepala.
"Kau...membaca kemana mataku mengarah?! Itu curang!!"
"Hahaha itu bagian kecerdasan manusia sayangku, buat gerakanmu tak mudah di baca musuh. Tingkatkan kewaspadaanmu" instruksi Hiroshi membuat semangat bertarung Hamari kembali berapi-api.
Hamari akan menyodokkan tongkatnya tepat ke arah pelipis Hiroshi. Lagi-lagi Hiroshi menepis tongkat itu dengan siku tangannya, dan mengarahkan tongkatnya sendiri ke pelipis Hamari. Gadis itu melebarkan mata terkejut mendapati tongkat kayu Hiroshi tak kurang dua centi dari pelipisnya berada.
Pletak!!
Suara tongkat Hamari yang jatuh ke lantai setelah sempat melayang diudara.
"Seranganmu terlalu lemah. Jika kau begitu terus, kau yang akan mati duluan" kata Hiroshi prihatin.
"Apa kau hanya akan menjadi penonton Kotoko? Kau adalah target yang paling sering diincar. Kemarilah. Gantikan posisi Hamari" perintah Hiroshi.
Hamari dan Kotoko terus bergantian berlatih dengan Hiroshi sampai hampir tiba waktunya fajar terbit. Kotoko dan Hiroshi mengendap keluar dari jendela kediaman Ratu Seonha menuju tempatnya masing-masing. Diam-diam mereka sepakat untuk berlatih setiap hari, di malam buta.
Ruang Kerja Ratu Seonha.
Ketika fajar benar-benar mulai menampakkan wujudnya, Ratu Seonha bergegas menuju ruang kerjanya. Tepat di depan pintu ruang kerja, Ratu telah melihat dua sosok manusia yang telah ia tunggu-tunggu kedatangannya.
"Masuk sekarang" tegas Ratu Seonha pada Hyun-Jae dan Heo Dipyo sebelum berjalan memasuki ruang kerjanya.
"Yang Mulia. Kenapa hari ini Anda terlihat lesu? Apa Anda sakit?" pertanyaan Hyun-Jae tak dihiraukannya.
"Katakan apa rencana kalian setelah mendapat informasi akurat dari Seonsang Yun? Dan kenapa kalian menunda pertemuan kita, di masa genting seperti ini?!" bentak Ratu Seonha marah.
"Kami hanya..."
"Tak peduli aku sedang apa, tapi jika ada hal yang sangat penting untuk dibicarakan bersama, seharusnya kalian jangan menundanya. Apa kalian akan menunda jika aku ini Raja? Bukan seorang Ratu?!" sang Ratu terus berbicara, sampai-sampai memotong jawaban dari Heo Dipyo.
"Waktu kami tidak banyak untuk mendengar omelan Anda Yang Mulia jadi tolong, dengarkan kami" sahut Hyun-Jae menggebrak meja Ratu, sambil menatap tajam kedua mata lentik sang Ratu.
Ya ampun..., di saat sedekat ini, jantung keduanya mulai berdegup kencang. Mereka sedang memikirkan kejadian manis semalam.
"Tegakkan badanmu Panglima! Katakan apa rencana kalian. Sekarang!" inilah reaksi gugup sang Ratu yang sudah dua kali tertangkap mata sang Panglima Utama Baehwa.
Hyun-Jae menoleh pada Heo Dipyo yang sedari tadi memperhatikan pandangan tak biasa dari dua anak manusia dihadapannya. Heo Dipyo berdehem berusaha melawan rasa canggungnya di depan pasangan gagal menikah itu. Ia membentangkan sebuah peta.
"Mereka akan membagi pasukan bukan? Ke kediaman Tuan Beom Ho, dan Ke kediaman hamba" jawab Heo Dipyo, menunjuk daerah yang sudah di beri tanda lingkaran merah.
"Tapi untuk apa mereka ke kediaman hamba? Mereka tahu bahwa hamba di tahan dari kemarin dan baru akan di bebaskan siang hari ini." Pertanyaan Heo Dipyo masuk akal.
"Maksudmu ini informasi palsu?" bisik Ratu lebih merapat ke meja.
"Tidak. Salah satu anak buah hamba sudah melihat memang ada aktivitas mencurigakan di kediaman hamba. Bahkan sebelum informasi dari Seonsang Yun sampai kepada kami" jawab Heo Dipyo geram.
"Tujuan Kwon Jae He adalah agar Ratu beranggapan bahwa Heo Dipyo, ada dibalik kegemparan yang sebentar lagi akan diciptakannya. Dengan tuduhan, menciptakan pasukan rahasia untuk melenyapkan Tuan Beom Ho dan Putranya"
"Di sisi lain, dia akan memaksa Beom Ho menyerahkan stempel Istana. Lalu dengan stempel itu, Kwon Jae He akan menjadikan momen itu berubah menjadi drama perebutan kekuasaan antara Putra Tuan Beom Ho dengan Heo Dipyo."
"jika sampai beliau tahu stempel Istana sudah ada ditangan Ratu, mungkin dia akan menciptakan siasat baru." Hyun-Jae mengutarakan dugaan sementara.
"Berarti Heo dalam posisi terpojok. Aku sempat berbicara dengan Seonsang Yun mengenai pasukan khusus bulg-eun dal. Apa kalian pernah mendengar nama itu?" pertanyaan Ratu dijawab gelengan keduanya.
"Katanya, itu pasukan pembunuh profesional yang dimiliki Kwon Jae He tapi, ternyata mereka memiliki sumpah setia terhadap mendiang Perdana Menteri Suk Chin"
"Bahkan di hari kematian Menteri Suk Chin, dapat di pastikan bahwa pasukan bulg-eun dal yang menciptakan skenario kematiannya atas perintah Menteri Suk Chin itu sendiri"
"Tapi hamba merasa aneh, mengetahui fakta eksekusinya, justru dilakukan oleh resimen Jinsae" Kata Ratu sambil menyodorkan kepingan perak cenderamata pemberian Menteri Suk Chin.
Mata Heo Dipyo tertuju pada gambar kepingan perak. Ia buru-buru mengambil benda itu. Diperhatikan dengan seksama gambar di setiap sisi yang berbeda. Heo Dipyo jatuh tersungkur. Pria itu tak kuasa menahan air matanya.