Heo Dipyo menghentikan hentakan kaki, berbalik badan dan menatap lekat-lekat wajah dua orang dibalik topi Pengawal. Bahkan kini ia mendekat ke arah keduanya memicingkan kedua matanya.
"Tae-Young, Tae-Mu, bagaimana bisa kalian menyusup ke dalam Istana?" bisik Heo Dipyo girang melihat si kembar Tae datang menemuinya. Ia memeluk keduanya tanpa ragu.
"Sebenarnya..., ada yang ingin bertemu dengan Anda Tuan Heo" bisik Pria bernama Tae-Mu memberi isyarat agar dirinya berbalik badan.
Seorang Wanita atau Gadis (entahlah)? menggunakan caping bercadar hitam, berendakan bunga mawar hitam di sudut kanan bagian atas cadar.
"Masuklah ke sel Tuan, saya sudah menyiapkan obat-obatan untuk Anda di dalam" kata Wanita itu lembut.
"Bukankah Istana memiliki Tabib? jadi kenapa orang ini yang mengobatiku?" Heo Dipyo menoleh pada si kembar mereka hanya mengangguk dan tersenyum riang.
Heo dan Wanita tersebut masuk ke dalam sel mereka duduk berhadapan, untuk memulai pengobatannya. Heo Dipyo menatap tajam wajah di balik caping bercadar tersebut.
"Anda sering sekali terluka Tuan," keluh Wanita itu sambil tetap berkonsentrasi mengobati lengan Heo Dipyo yang tertusuk memanjang. Lalu mengulurkan sebuah sapu tangan ke arah Pria dihadapannya.
"Gunakan itu untuk menahan rasa sakit Anda" tambah Wanita tersebut memberi peringatan.
Heo menghembuskan nafas perlahan dan kini tangannya yang sehat terangkat untuk menyingkap tabir sang Wanita.
"Jee Kyung..." suara lirih itu membuat Wanita yang ternyata seorang Gadis, dihadapannya merasakan canggung.
"Gigit saputangan itu segera" perintah Jee Kyung menutup kembali cadarnya.
Heo hanya tersenyum menuruti perintah Jee Kyung. Benar saja rasa sakit ketika luka menganga itu di jahit, sangat terasa nyata. Heo mampu bertahan meski tanpa saputangan milik Jee Kyung.
"Bagaimana bisa kau mengenal si kembar Tae? Lalu kenapa mereka berdua bisa berada disini?" rasa sakit itu nampaknya teralihkan oleh rasa penasaran di benak sang Perdana Menteri Heo Dipyo.
"Tentu saja saya mengenal Tuan Tae-Young dan Tae-Mu. Mereka merupakan kekasih dari dua sahabat baik saya Soo Yun dan Ha-Serim. Begitu mereka mendapat kabar saya dalam masalah, Soo Yun dan Ha-Serim meminta Tuan Tae-Young dan Tae-Mu untuk segera bertemu dengan Anda" jawab Jee Kyung setenang aliran air.
"Tapi saat itu, Anda tidak ada baik di Kediaman Anda, mau pun di Istana. Lalu mereka bertemu dengan Ratu Seonha. Awalnya mereka memilih diam tak ingin memberi tahu identitas mereka pada Ratu tapi karena Panglima Hyun-Jae ternyata tiba-tiba datang, beliau langsung mengenali mereka berdua"
"Singkat ceritanya, Ratu meminta mereka menggalang kekuatan, untuk mendukung Tuan Heo dalam menumpas Kwon Jae He dan antek-anteknya" jawab Jee Kyung pelan masih terus menjahit.
"Kami tidak punya cukup dukungan" Heo merasa ini percuma dan tidak ada harapan.
"Panglima Hyun-Jae berhasil menemukan sebagian besar para pendekar didikan Ayahanda yang tersebar dan bersembunyi dari kejaran Kwon Jae He. Tentu saja mereka dengan suka rela mendukung sepak terjang Anda karena musuh Anda, dan musuh kami orang yang sama" tandas Jee Kyung sambil memotong benang.
"Atas nama Ayahanda. Maukah Anda menjadi Pimpinan laskar Mugunghwa? Tolong dukung Ratu Seonha dengan kekuatan baru Anda" kali ini Jee Kyung memohon sungguh-sungguh.
"Kau meminta dukungan pada Pria yang baru saja kau campakkan? Seonsang Yun," kekeh Heo Dipyo tak habis pikir.
"Yun? Kau berpikir aku seperti bunga teratai?"
"Biarkan aku menjadi yang pertama memberimu julukan. Pertanyaanku belum kau jawab Seonsang Yun...,"
"Ku pikir jika aku berhenti menjadi kelemahanmu kau, akan berhenti melukai dirimu. Tapi melihat kau tak segan menumpahkan darahmu, aku...," Seonsang Yun tercekat.
Ia tak mampu berkata hanya deru nafas keduanya yang terdengar di malam itu.
"Meski kau berstatus Seonsang, hubungan kita tidak akan berakhir. Siapa kau berani mencampakkanku?" tegas Heo Dipyo menyentil dahi Gadis berjulukan Seonsang Yun itu.
"Nona, saatnya pergi dari sini. Ada beberapa orang menuju kemari" tiba-tiba muncul Tae-Young memberi peringatan siaga, menarik tangan Jee Kyung setelah sang Gadis mencengkeram erat gulungan kain berisi obat-obatan.
Ruang Kerja Ratu.
Matahari mulai tenggelam ketika Ratu Seonha menggeret paksa Panglimanya menuju ruang kerjanya. Disana, sudah menunggu Tabib Istana untuk mengobati luka di bagian lengan yang melebar hingga ke punggungnya. Panik jelas itu terlihat dari wajah Ratu Seonha. Kini dia tidak perlu lagi menggunakan topeng di dalam ruang kerjanya sendiri.
Ia memperhatikan bagaimana tersiksanya Hyun-Jae ketika merasakan luka terbukanya dijahit oleh Tabib.
"Selesai. Minumlah obat ini Panglima, sehari dua kali pagi dan malam hari. Jangan lupa, selalu taburkan obat tabur ini ke bekas jahitannya setelah mandi." Kata Tabib dengan senyum simpulnya.
"Hamba Mohon diri Yang Mulia, Panglima," pamit sang Tabib paruh baya tersebut lalu menghilang di balik pintu.
Saat pintu tertutup, Ratu Seonha bergegas duduk disamping Hyun-Jae bersiap meletuskan amarah.
Pluk
Sang Ratu justru menahan emosi setelah sang Panglima membenamkan wajahnya di bahu Ratu Seonha.
"Jangan bergerak. Sebentar saja. Aku hanya ingin seperti ini sebentar saja. Ha-Neul...aku lelah. Biarkan aku bersandar padamu sebentar saja" kata Hyun-Jae lembut, sekaligus sangat lirih.
Seribu ton emosi yang tadinya akan meluap, kini digantikan rasa damai yang membuncah di dalam jiwanya. Untuk pertama kalinya, selama Ha-Neul naik Tahta, Hyun-Jae memperlakukannya sebagai Ha-Neul Arang hari ini. Ia tak tahu harus berkata apa, atau berbuat apa? Baru kali ini Hyun-Jae menunjukkan sisi lain dari dirinya kepada Ha-Neul.
"Apa bebanmu terasa makin berat?" tidak ada jawaban. Hyun-Jae lebih memilih terus berkutat pada zona nyamannya.
"Kau boleh berhenti jika bebanmu tak sanggup kau pikul Hyun-Jae. Jika melihatmu tersiksa aku akan lebih..." lagi-lagi Hyun-Jae membuat kedua pipi Ratu Seonha bersemu kemerahan. Ia mengangkat kepala, dan menatap lembut Ratu tanpa kata.
"Ini bukan bebanku. Tapi bebanmu. Aku hanya berusaha mengambil satu persatu beban di atas pundakku." Jawab Hyun-Jae tanpa beban.
"Ck. Meski kau, telah menjadi Ratu kau jauh lebih berisik dari biasanya. Istirahatku terganggu" Hyun-Jae berusaha mencairkan suasana yang terlanjur kaku sedari tadi. Ia kini berdiri, bersiap kembali menjadi sekedar Panglima Utama bagi sang Ratu tapi kini ia ditarik duduk kembali.
Ratu menatap kedua manik mata tajam milik Hyun-Jae.
"Baru saja aku merasa Hyun-Jae ku yang ku kenal kembali. Sekarang kau akan memakai topengmu lagi sebagai Panglima? Kalau aku yang memintamu menjadi Hyun-Jae ku sebentar saja, apa akan kau kabulkan?" protes Ratu Seonha kecewa.
"Yang Mulia..., hari sudah larut. Masih ada hari esok. Entah itu kapan, pasti akan hamba kabulkan. Tapi tidak sekarang." Hyun-Jae menghormat dan beranjak menjauh dari Ratu.
"Hyun-Jae!"
"Tidak sekarang," tegas Hyun-Jae menghembuskan nafas kesal luar biasa sambil menoleh pada Ratunya yang mulai menampakkan sifat manja.