"Tiga hari? Itu terlalu lama. Jangan membuat aku tidur di peraduanku selama itu. Atau tubuhku akan terasa remuk redam karenanya" protes Jee Kyung cemberut.
Sang Tabib tersenyum sambil menggelengkan kepala perlahan.
"Melihat semangat Nona Jee Kyung nampaknya Nona akan sembuh lebih cepat dari perkiraan saya nantinya" kata si Tabib membuat kedua orang tua Jee Kyung sedikit lega.
Mereka terkejut dengan kedatangan tiga orang tidak diundang yang langsung main masuk saja ke kamar Jee Kyung.
"Jee Kyung!!" teriak salah satunya, menghambur ke pelukan Jee Kyung.
"Jadi kau lama sekali tidak menemui kami karena luka di pelipismu itu?" tanya gadis yang satunya lagi.
"Jangan membuatku pusing dengan banyak pertanyaan begini, sebenarnya kalian ini siapa?" Jee Kyung berusaha mencoba membuat mereka merenggangkan pelukan padanya. Sungguh tidak nyaman berada di lingkungan yang serba asing begini.
"Tuan Suk, apa ingatannya terbang entah ke mana?" tanya gadis yang terakhir.
"Dia sedang syok parah, lama kelamaan nanti Jee Kyung pasti akan mengenali kalian lagi" kekeh sang Ibu mencoba menenangkan ketiga sahabat karib Jee Kyung.
"Coba ingat..., aku Ah-in, yang di sebelah kirimu Soo Yun, dan yang ini Ha-Serim" terpaksa mereka berkenalan kembali.
"Siapa yang memberitahu kalian aku terkena musibah?" tanya Jee Kyung penasaran.
"Seorang Pria tinggi, dengan senyuman seribu pesona, dia tampak begitu mengkhawatirkan keadaanmu. Tapi..., dari mana kau bisa bertemu dengan Pria setampan itu?" tanya Ah-in menyikut lengan Jee Kyung.
"Hanya kebetulan. Kami belum pernah bertemu sebelumnya" ketus Kotoko sebal.
Rupanya Laki-laki itu sengaja membuat hari Gadis malang ini penuh dengan suara berisik. Sementara di sudut lain, tepatnya di ambang pintu kamar Jee Kyung, Heo Dipyo diam-diam mengawasi.
Belum pernah bertemu sebelumnya?! Gadis ini!! Ya ampun. Tidak. Aku harus berusaha mengurangi emosiku padanya. Sekarang dialah alat terbaik untuk menyusup ke Istana, dan selalu mengawasi Ratu Seon Ha bisik kata hati Heo Dipyo.
Heo Dipyo berjalan tepat di depan halaman rumah Jee Kyung, sementara seseorang tiba-tiba menghadangnya.
"Kurasa ini sudah sangat keterlaluan. Apa kau lihat? Dia terluka karenamu dan begitu dia sembuh kau tega memanfaatkan tenaganya?" kekeh Kwon Jae He yang sibuk mengawasi Keponakannya dari kejauhan.
"Dia terluka karena kecerobohannya yang sudah mendarah daging sejak lahir. Tidak ada hubungannya denganku Paman. Aku hanya sebuah kebetulan, yang tidak sengaja ikut terlibat dalam kekacauan yang telah dia buat" protes Heo Dipyo bersungut-sungut.
"Ini tidak adil baginya. Setidaknya miliki lah sedikit rasa kasihan terhadap Jee Kyung. Dia pasti akan mau melakukan apa pun demi mendapatkan perhatianmu. Tapi jangan memanfaatkan hatinya yang polos demi kepentingan fraksi kita. Ingat dia Putri dari Perdana Menteri Suk Chin"
"Wah, Paman sendiri menikahi Bibi bukannya karena Politik? Kenapa Paman boleh, sementara aku tidak?"
"Baik aku dan Bibimu tentu tahu pernikahan seperti apa yang akan kami jalani. Tapi Jee Kyung? Dia hanya seorang Gadis polos yang sangat sial karena jatuh hati pada Pemuda brengsek sepertimu" jawab Kwon Jae He sambil memukul kepala anak keras kepala disampingnya.
"Dia sudah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan terhadapku Paman. Jadi ku rasa itu adalah hukuman yang setimpal. Setidaknya dia bisa melihatku beberapa kali dalam seminggu. Bukankah kami saling menguntungkan?"
"Ingat. Tujuanmu adalah Tahta. Kau tidak boleh memberi harapan palsu pada Gadis mana pun. Suatu saat nanti kelakuanmu yang seperti ini, bisa menghancurkan rencana kita" tegas Kwon Jae He pedas.
Di dalam kediaman Perdana Menteri Suk Chin, Jee Kyung merasa bak burung dalam sangkar tepatnya, semenjak ketiga sahabat karib Jee Kyung pulang. Dia tidak dapat berjalan dari satu sudut, ke sudut kota lainnya dengan bebas. Dia seorang Putri!! Namanya Kotoko!! Masih saja Jee Kyung tidak bisa menerima kenyataan ini.
Ini semua karenamu Heo Dipyo!! Kalau kita bertemu kembali, pastikan siapkan dirimu!! Aku, akan memberikan pelajaran!! Kata hati Jee Kyung bersungut-sungut penuh dendam.
"Nona Jee Kyung, Anda...baik-baik saja?"
"Tidak. Suasana hatiku sungguh buruk hari ini"
"Bagaimana itu bisa terjadi? Sejak usia Anda menginjak dua belas tahun, pandangan Anda hanya tertuju pada Tuan Heo Dipyo. Lalu, kenapa Anda malah terlihat kesal jika ini adalah kesempatan pertama Anda untuk bisa selalu bertemu dengan beliau?" tanya budak yang selalu mengikutinya itu.
Apa Jee Kyung punya katarak? Laki-laki itu, berkepribadian buruk!! Bisa-bisanya dia jatuh hati pada seorang Heo Dipyo? Eyuuuh....batin Kotoko makin panjanglah sumbu kemarahannya pada Heo Dipyo.
"Tunggu. Apa yang baru saja kau katakan?! Aku...jatuh hati padanya?! apa otakku sudah geser huh,"
"Bukankah itu sudah jelas Nona? Bahkan seluruh orang disini dan semua keluarga Tuan Heo sudah tahu tentang perasaan Anda" cerocos Gadis itu lalu menunduk takut-takut melihat majikannya sedang memelototinya sekarang.
"Kotoko!! Kau membuat dirimu sendiri dalam masalah. Kalau begini aku benar-benar terlihat sedang mengejar-ngejar Laki-laki sialan itu!!" teriak Jee Kyung nyaring memperingatkan diri sendiri.
"Kecilkan suara Anda Nona. Kalau Tuan dan Nyonya tahu Anda terus berhalusinasi seperti ini, bisa-bisa pengobatan Nona akan semakin di perpanjang. Jangan pernah menyebutkan nama asing itu. Anda paham?" nasihat sang budak hati-hati.
"Siapa namamu? Bagaimana kau bisa bekerja denganku sampai hari ini?"
"Nama hamba..., Dae Nari"
"Dae Nari? Orang tuamu sungguh kreatif memberimu nama itu"
"Tapi..., itu nama pemberian Anda Nona. Karena hamba pada awalnya tidak memiliki seorang pun keluarga, bahkan nama sekali pun" jawab Dae Nari sendu.
"Lalu bagaimana cara kita bisa bertemu?"
"Waktu itu hamba adalah budak dari keluarga Bangsawan. Tapi hamba diperlakukan buruk karena terlalu lemah. Ketika bekerja pada mereka pertama kali, hamba sangat kurus Nona. Lalu Anda tiba-tiba menolong hamba karena akan disulut dengan tiga buah besi panas"
"Kau membuat kesalahan besar apa?!" pekik Jee Kyung mulai tertarik dengan kisah hidup Dae Nari.
"Hamba diperintahkan untuk mengambil pakaian pesanan seorang Putri. Bodohnya hamba tidak memeriksa terlebih dahulu kondisi pakaian itu sebelum hamba ambil. Karena keteledoran hamba ini..., sang Putri menggunakan posisinya sebagai keturunan Bangsawan, tanpa perasaan ingin membakar wajah hamba dengan besi panas" kenang Dae Nari matanya mulai berkaca-kaca.