Bukit padang rumput.
Suara nyanyian burung membangunkan seseorang yang tertidur di bawah rindangnya pohon, beralaskan rerumputan hijau di atas bukit. Matanya menatap bingung pada apa yang sedang dia lihat. Apakah ini sebuah mimpi? Bukankah tadi dia dihutan?! Bukit apa ini? Dimana dia? Kotoko berdiri, tapi kakinya terpeleset karena rumput di bawah kakinya basah.
Ia terperosok, berguling dan menimpa sesuatu. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat ada sepasang mata, dalam jarak sangat dekat dengan wajahnya. Kotoko langsung berusaha bangkit, tapi dia justru tersandung oleh seseorang yang tanpa sengaja tertimpa olehnya tadi.
Ya ampun...baru saja...itu ciuman pertamaku?! Kenapa harus di saat seperti ini!! Pekik kata hati Kotoko merutuki diri sendiri.
Laki-laki itu bangun dari tidurnya, menatap Kotoko penuh emosi.
"Bisa Nona jelaskan apa yang baru saja Nona lakukan?"
"Maaf...itu..., hanya kebetulan yang tidak disengaja. Baru saja saya jatuh terguling dari atas sana!!" seru Kotoko sambil menunjuk tempat dia terjatuh tadi.
Tapi mata Laki-laki di depannya mulai berkilat-kilat menyebabkan, nyali Kotoko makin ciut. Dia yang malang hanya sanggup menundukkan kepala.
"Jangan pernah tunjukkan wajah Nona lagi di depan mataku!!" bentak Laki-laki tersebut, bangkit dari tempat dimana ia diserang Kotoko, lalu melangkah meninggalkan Kotoko.
Gadis itu berdecih kesal maka ia pun berusaha bangkit tapi kakinya tak sanggup menopang berat tubuhnya. Sesuatu menetes dari dahinya itu, menurut perkiraannya.
Kotoko menyeka darah yang tiba-tiba menetes dari dahinya. Pandangan mata Kotoko mulai kabur dan jatuh pingsan.
Di salah satu rumah warga setempat.
Mata Kotoko kembali terbuka dan melihat atap asing di sebuah ruangan. Ia berusaha bangun, tapi kepalanya terasa begitu nyeri.
Bruk!!
Suara ember terjatuh di atas lantai kayu terdengar. Perhatian Gadis itu tertuju pada Gadis lain yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Drap Drap
Drap Drap
Kotoko tak mengerti, kenapa Gadis pembawa ember berekspresi seperti itu, sekarang malah berlari meninggalkannya sendirian.
Dua kali ditempat asing. Sebenarnya dimana ini? Batin Kotoko merasa tak berdaya kali ini.
Suara langkah kaki berlarian terdengar lagi dari kejauhan. Seorang Pria dan Wanita paruh baya dan...Laki-laki yang itu lagi?!
"Jee Kyung...., apa kau bisa menghitung? Ini angka berapa?" tanya Wanita itu menunjukkan jemarinya.
"Lima"
"Apa kau melihat dengan jelas? Penglihatanmu masih normal?" sekarang Wanita itu naik ke peraduan Kotoko sambil memeriksa luka di dahi Kotoko.
"Iya, aku baik-baik saja. Tapi sebenarnya kalian ini siapa?" pertanyaan Kotoko disambut wajah pucat pasi dari semua orang disana.
"Sebentar lagi Tabib akan datang. Mari kita lihat kondisinya nanti" kata Laki-laki yang sebelum Kotoko jatuh pingsan memakinya habis-habisan.
"Jadi sekarang Tuan sudah percaya kalau ini kecelakaan?!" cerocos Kotoko senyaring mungkin.
Bugh!!
"Anak ini!! Apa yang sedang kau lakukan hah?! Bagaimana bisa seorang Gadis dengan mudah mencium Laki-laki sembarangan seperti itu?! Ah, anak tak tahu malu!!" maki Wanita itu memukul bahu Kotoko beberapa kali.
"Hoy, apa yang kau lakukan?! Putri kita baru saja siuman bagaimana jika keadaannya semakin memburuk?!" marah Pria paruh baya berusaha menarik Istrinya segera menjauh dari Kotoko.
"Cepat minta maaf!! Tidak...tidak. Kalau perlu kau harus berlutut di depan Tuan Heo Dipyo!!" teriak Wanita itu malu setengah mati mendengar kelakuan Putrinya kali ini.
"Ini hanya salah paham. Sebaiknya Nyonya menenangkan diri dulu" saran si Laki-laki tersenyum dengan ekspresi sedingin es.
"Aku mau pulang" kata Kotoko berusaha bangkit dari duduknya tapi dia masih sangat lemas.
"Nona Jee Kyung..., jangan memaksakan diri dulu untuk bergerak" protes Gadis pembawa ember.
"Jee Kyung? Siapa itu? Aku bukan dia. Jadi biarkan aku pulang. Oke,"
"Kau sudah pulang ke rumahmu. Memang kau, punya berapa rumah?" tanya Wanita yang mengaku Ibunya sambil berkecak pinggang.
"Bisakah kami bicara empat mata Menteri Suk-Chin?" tanya Laki-laki yang biasanya di panggil sebagai Heo Dipyo itu.
"Kalau begitu kami permisi dulu" jawab Pria paruh baya tersebut, memberi hormat lalu keluar dari kamar Putrinya Jee Kyung.
"Kenapa masih disini? Kita sudah tidak ada urusan lagi. Dan..., lagi pula kau sudah bertanggung jawab membawaku ke tempat ini. Jadi sebaiknya Tuan, pulang saja" bisik Kotoko setelah para orang tua pergi.
"Siapa yang harus bertanggung jawab? Kurasa kau salah besar. Yang menyerangku duluan diatas bukit itu kau, Nona. Jadi Nona yang harus mempertanggung jawab kan perbuatan Nona padaku"
"Bisakah kita anggap saja masalah ini tidak pernah ada?" pertanyaan Kotoko malah membuat Laki-laki dihadapannya semakin mendekat padanya dan mencengkeram telapak tangannya.
"Bayar saja dengan kau bekerja denganku. Lagi pula segala sepak terjangku akan menguntungkan Ayah dan Ibumu"
"Be-bekerja? Kau ingin aku melakukan apa?!"
"Cukup awasi seseorang dan katakan segala hal yang dia lakukan, rencanakan, bahkan pikirkan. Itu tugas paling sederhana yang bisa dilakukan oleh Gadis serampangan seperti Nona" kata Laki-laki asing itu bersungguh-sungguh.
"Maksudmu..., mata-mata? Apa aku akan memata-matai penjahat kelas kakap?!"
"Lebih baik aku memperkerjakan orang lain untuk itu dari pada suatu saat nanti Nona yang akan merusak segalanya"
"Ah, ya ampun..., lalu kenapa sekarang Anda meminta tolong padaku?!" teriak Kotoko membuat kepalanya makin pusing saja.
Terdengar ketukan dari luar pintu mengabarkan bahwa Tabib Desa telah tiba tepat waktu.
"Masuklah" kata Laki-laki bernama Heo Dipyo sambil menoleh pada Kotoko sambil tersenyum sinis di hadapan Gadis lugu itu.
"Kau akan mulai masuk kerja setelah Tabib benar-benar menganggapmu sembuh total" kata Heo Dipyo dingin, tak lupa memberi hormat kepada Ayah Jee Kyung mohon diri pulang.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Putri kami Tabib? Dia mendadak melupakan siapa kami" adu sang Ibu cemas.
"Ini aneh. Nyonya, luka di dahi Nona Jee Kyung tidaklah separah apa yang Anda katakan. Ini luka ringan jadi tidak mungkin Nona hilang ingatan hanya karena sebuah benturan kecil"
"Bukankah darahnya banyak keluar Tabib?"
"Itu karena benturan tepat di bagian pelipisnya jadi wajar jika terluka, keluar banyak darahnya. Saya yakin, ini tidak akan berdampak besar bagi kehidupan Putri Anda berdua. Jangan cemas"
"Soal...kehilangan ingatan juga bisa disebabkan oleh syok yang sangat mengejutkannya. Apa...saat kejadian ada hal yang membuat Nona Jee Kyung terserang syok berat?" sang Tabib justru mendapatkan seringai jenaka dari kedua orang tua pasiennya.
"Ah, itu..., dia jatuh terpeleset dari atas bukit, hanya itu" kekeh sang Ibu sambil melirik garang pada Kotoko.
"Tabib tolong saya. Mereka sedang berkomplot untuk menculik saya bahkan sekarang mereka sedang memainkan peran orang tua dan anak" Kotoko ingin segera pergi dari rumah ini.
"Lalu, dimana rumah dan orang tua aslimu?"
"Di tempat yang jauh. Maka dari itu tolonglah..."mohon Kotoko memelas.
"Saya akan sediakan obat untuk Anda minum Nona, jangan lupa diminum teratur. Itu akan meningkatkan daya ingat Nona" jawaban yang tak diharapkan keluar dari bibir sang Tabib.
"Tuan, mereka benar-benar menculik saya"
"Nona Jee Kyung, saya sudah ribuan kali datang ke rumah ini. Bahkan saya sendiri yang membantu persalinan kelahiran Anda dulu. Bagaimana mereka tega menculik Nona yang merupakan Putri kandung Menteri Suk Chin dan Nyonya Seo Hee? Apa Anda sedang membuat lelucon?" kekeh sang Tabib beranjak dari peraduan Kotoko, berkonsentrasi meramu obat herbal.
"Kenapa begini? Dalam sekejap Ayahandaku bernama Suk Chin dan Ibundaku Seo Hee?!" gumam Kotoko tak percaya.
"Jadi..., kira-kira Putri saya akan sembuh total berapa lama?" tanya sang Ayah, sesopan mungkin pada Tabib.
"Kurang lebih selama seminggu. Tapi dalam beraktivitas, selama hari ini dan tiga hari ke depan Nona Jee Kyung hanya boleh melakukan aktivitas ringan saja. Setelah saya datang kembali nanti kita lihat masihkah ada masalah? Jika tidak, Nona bisa beraktivitas seperti sedia kala" terang Tabib kalem.