Kediaman Perdana Menteri Kwon Jae He.
Di kediaman Perdana Menteri Kiri Kwon Jae He, seorang Laki-laki berjiwa muda dengan hati yang bergejolak menunggu si empunya rumah, berjalan tidak tenang, sambil mengelilingi ruang tamu.
"Heo duduklah" perintah Kwon Jae He yang baru saja datang sekaligus memperhatikan tingkah laku Heo.
"Jadi kapan kita mulai?" tanya Heo sambil duduk menghadap lawan bicaranya.
"Bukan sekarang, besok atau pun lusa. Butuh strategi dan waktu untuk melaksanakan rencana kita"
"Tiga hari lagi. Mereka akan melangsungkan pernikahan tiga hari lagi. Anda, tahu betul itu karena tidak mungkin Anda tidak diundang bukan?!" Heo menggebrak meja tapi si lawan bicara, hanya diam tanpa kata memperhatikan.
"Pernikahan mereka tidak ada hubungannya dengan pemberontakan yang kita rencanakan"
"Belum lama Anda berkata berada di pihakku. Sekarang semudah itu berubah?" Heo merasa di permainan.
Kwon Jae He dua detik tak berkata membuat Pemuda di hadapannya segera berdiri ingin angkat kaki dari tempat itu.
"Dua hal yang berbeda tidak boleh di campur adukkan menjadi satu." Kata Kwon Jae He membuat perhatian Heo kembali tertuju kearahnya.
"Ketika kau memutuskan untuk menikam sang Putri, apa kau pikir akan dengan mudah ia menyerah padamu sekarang?"
"Itu sebuah kesalahan. Tikamanku ditujukan untuk Hyun-Jae. Tapi Gadis bodoh itu menghalangiku dan terluka karena ulahnya sendiri" sangkalan Heo Dipyo membuat sang Perdana Menteri kiri tersenyum sinis.
"Tak peduli siapa yang kau arah, kenyataannya kau, menikam seorang Putri. Kau sedang diburu sekarang karena hal itu. Jika salah langkah sedikit saja saat ini, maka kau tak akan mendapatkan apa pun" jawab sang Menteri sambil menatap tajam Heo.
"Satu-satunya tempat aman untukmu bersembunyi hanyalah tempat ini. Bersabarlah karena pasti akan kutepati janjiku untuk menyatukan kalian kembali"
"Apa aku harus diam saja melihatnya menikahi orang yang dengan sengaja menghancurkan hubungan kami?!"
"Pernikahan mereka bisa dicegah jadi tetaplah berusaha dinginkan kepalamu"
"Bagaimana caranya?"
"Kau bilang. Putri Ha-Neul Arang sudah melupakanmu bukan? Mari kita cari tahu kebenarannya dan memanfaatkan celah agar kau, dapat menghindari hukuman Raja"
"Mencari...celah? Orang yang diburu seperti apa kata Anda ini, bagaimana caranya mendapatkan celah itu?! Anda sedang mengolok-olokku Paman?"
"Dinginkan kepalamu Heo. Jika amarahmu terus kau pelihara maka celah yang kukatakan tak akan pernah kau lihat seumur hidupmu!" ucapan sang Perdana Menteri Kiri ini akhirnya menggerakkan Heo Dipyo tetap bertahan dan duduk dengan tenang.
Taman Istana.
Ha-Neul Arang terdiam melamunkan sesuatu di Taman Istana. Hyun-Jae yang tersenyum bahagia tadi, kini mulai merasa melakukan hal yang tak seharusnya di waktu ini.
"Ehm.., maaf sebelumnya. Tapi bisakah kami mendapatkan waktu berdua untuk hari ini?" tanya Hyun-Jae menatap serius pada ke tujuh Putri yang menatapnya penuh kekaguman.
"Maafkan kami. Ini..., salah kami datang tidak memberikan kabar terlebih dahulu di hari sebelumnya. Kami mohon diri dulu" jawab salah satu dari ketujuh Putri, santun. Begitu mereka berbalik arah, mereka sibuk menggosipkan Putri Ha-Neul.
Hyun-Jae mendekat pada Ha-Neul lalu menggenggam tangan lentik itu.
"Apa kau semarah itu hanya karena aku tertawa?"
"Aku ingin berlatih bela diri. Paling tidak, jika aku bisa mengayunkan pedang tidak akan merepotkan atau pun membahayakan nyawa siapa pun" kata Ha-Neul tiba-tiba membuat Hyun-Jae terbengong-bengong.
"Kenapa? Apakah itu mustahil dilakukan sebagai Putri dari Negeri ini?" suara Putri terdengar sinis di telinga Hyun-Jae.
"Apa kau meragukan kemampuan para Pengawal, dan Panglima di Kerajaanmu sendiri? Tugas mereka melindungi pemilik Kerajaan ini. Dan mengayunkan pedang, bukanlah bagian tugas dari seorang Putri. Lebih baik kau mempelajari hal lain" jawab Hyun-Jae sangat tegas.
"Begitukah? Bukankah jika malam kemarin kau tidak datang, aku sudah berada dalam bahaya? Sementara dalam tekanan musuh, aku tak bisa berteriak memanggil para Pengawal yang berdiri tepat di depan pintu kediamanku" kata Ha-Neul meminta pertimbangan dari calon Suaminya.
"Apa kau takut Heo Dipyo berusaha menemuimu kembali? Pengamanan diperketat jadi jika itu yang kau pikirkan, lupakan saja"
"Aku mengenalnya dengan sangat baik. Dia bukan tipikal orang yang mudah menyerah. Menurutnya apa pun yang ia inginkan harus ia dapatkan. Aku tidak paham kenapa dia bisa berubah menjadi monster seperti ini. Dia...seolah orang asing bagiku" tatapan mata sendu Ha-Neul menyadarkan Hyun-Jae bahwa Gadis dihadapannya kini, belum sepenuhnya melupakan sosok Heo Dipyo.
Sosok baik Heo Dipyo masih sangat melekat kuat dalam benak dan hati Ha-Neul.
"Untuk seminggu ke depan dia tidak akan berani bertindak semaunya. Sekali tertangkap, hukuman atas percobaan pembunuhan Putri Ha-Neul Arang akan disegerakan. Jadi bisakah kau berjanji satu hal saja padaku?"
"Apa?"
"Berhentilah merasa takut, berhentilah memikirkan tentang Heo Dipyo, bahkan tolong berhenti membicarakan tentangnya"
"Mungkin aku bisa..., tidak membicarakannya. Tapi mustahil untuk tidak memikirkan tentang monster itu karena bagaimana pun juga dia berusaha melukaimu. Bagaimana jika suatu hari nanti dia datang untuk melenyapkanmu?" Ha-Neul gemetaran membayangkan hal mengerikan ini dalam kepalanya.
Ha-Neul Arang...benarkah kau mengatakan hal itu karena mengkhawatirkan aku? Atau kau sedang terpengaruh ucapannya yang memohonmu agar kau bersedia kembali padanya? batin Hyun-Jae.
"Aku bisa menjaga diriku sebaik mungkin. Bahkan ribuan peperangan telah ku menangkan sebelum bertemu denganmu. Jadi berhentilah terus mencemaskanku. Kau harus mencemaskan dirimu sendiri karena sekarang, kaulah yang terluka dan dalam masa penyembuhan. Ayo kita masuk tidak baik terlalu lama berada di luar" oceh Hyun-Jae sambil memapah sang Putri masuk ke dalam Istana.
Aku takut suatu saat nanti dirimu yang tak terkalahkan ini, melemah karena ada aku disisimu, sebagai kelemahanmu. Kata hati Hamari menatap sendu sang Calon Suami.
"Jika aku menjadi satu-satunya kelemahan bagimu, maka jangan ragu untuk mengabaikanku Hyun-Jae"
"Kenapa aku harus mengabaikan Istriku kelak?"
"Karena yang paling utama adalah menyelamatkan Negerimu dari penguasa yang serakah. Bukankah seharusnya Matahari selalu menyinari rakyatnya?"
"Jika hari itu tiba, akan ku cari jalan tengah agar tidak melukai siapa pun. Tidak peduli itu rakyatku, atau pun Ratuku" geram Hyun-Jae seolah mendengar ucapan perpisahan lebih awal.
"Aku bilang abaikan saja diriku. Karena kebodohanmu, tidak membekuknya kemarin malam, sekarang kita sulit untuk mencium keberadaannya. Jika kau mengabaikanku," kata Ha-Neul mencoba melepaskan lengannya dari genggaman tangan Hyun-Jae.
"Dia pasti sudah masuk penjara. Dan aku tidak perlu ketakutan setengah mati melihat Heo Dipyo akan menusukmu" tegas Ha-Neul lalu pergi begitu saja di temani para Dayang.
"Ha-Neul!" seru Hyun-Jae tapi usahanya mengejar Ha-Neul tertahan karena seseorang menarik bahunya dari belakang.
"Yang Mulia" sapa Hyun-Jae sambil menghormat.
"Biarkan dia sendiri dulu. Butuh waktu menghilangkan rasa bersalahnya terhadapmu. Seharusnya kau memahami anak itu. Yang mencoba menusukmu adalah masa lalunya dan yang akan ditusuk masa lalunya adalah kau, masa depannya" kata sang Raja menepuk bahu Hyun-Jae.
"Tidakkah Yang Mulia mendengar sendiri? Bagaimana bisa seorang Putri mengatakan pada Calon Suaminya sendiri untuk mengabaikannya?"
"Ucapan Putriku tidaklah salah. Kau lihat lah aku sekarang. Bahkan matahari mampu membakar siapa pun yang berada sangat dekat dengannya. Aku menghalau Laki-laki itu yang dicintai Putriku, tapi karena ulahku sendiri, akhirnya Laki-laki itu menikam Putriku tanpa perasaan" jawab sang Raja menggeram di akhir kalimat.
"Tikaman itu ditujukan kepada hamba Yang Mulia. Jika Putri tidak bergerak untuk memisahkan kami, yang terluka sekarang adalah hamba"
"Kalau begitu aku tidak perlu lagi melanjutkan usaha untuk menekan Heo Dipyo lebih dalam lagi. Karena dari ucapanmu, Putriku sudah sangat membencinya. Baguslah."
"Apakah itu artinya tidak akan ada lagi pencarian Heo Dipyo?"
"Tentu saja dia pantas mendapatkan hukuman karena melukai Putriku. Bagaimana bisa aku melepaskannya dengan mudah. Aku tidak akan menekannya lagi sebagai Laki-laki yang dicintai Ha-Neul. Namun gantinya, dia harus membayar mahal pada setiap tetes darah yang keluar dari tubuh Putriku" kekeh sang Raja membuat bulu kuduk Hyun-Jae meremang.
"Bisakah bila Heo Dipyo, mendapatkan hukuman yang setimpal, kita anggap saja semua sudah selesai Yang Mulia? Sampai kapan pertumpahan darah akan terus bergejolak? Tidakkah Anda sendiri lelah? Satu hal lagi. Tujuan Anda sudah tercapai"