"Hey? Ayo!" ajak Juna yang membuyarkan kediaman gue.
"Oh iya Jun."
Kita berdua berjalan bersama memasuki kedai bakso dan memutuskan duduk berhadapan di meja paling belakang. Setelah menyebutkan pesanan yang ditanyakan oleh pegawai kedai, kami berdua mulai berbincang kembali sambil membuka sebungkus krupuk dan memakannya berbarengan.
"Kamu masih gak suka pake mie kuning kalau pesen bakso?"
"Masih Jun, gue lebih suka mie putih sejenis bihun, soun dan kwetiau daripada mie kuning. Kecuali mie instan ya."
"Kirain aku udah berubah."
"Hey, gue gak semudah itu buat merubah selera ya."
"Iya deh."
Kami saling berbincang sambil memakan semangkok bakso pesanan kami, Juna juga masih belum berubah. Dia masih tetap konsisten memesan bakso tanpa mie, dia hanya suka bakso dan kuah dengan warna pekat dan pedas. Dia pencinta kecap, sedangkan gue gak suka memakai kecap dan saos saat memakan bakso, cukup sambel dan cuka.
Selesai makan bakso, kami berdua berpisah jalan menuju rumah masing-masing. Juna membunyikan klakson, begitu pun gue. Tanda ini sudah bukan rahasia umum bagi para pengguna jalan. Bunyi klakson memiliki berbagai macam arti.
~~~~~~
-->Juna
Ternyata dia masih seperti dulu?
Gak nyangka banget tadi bisa ketemu dia di masjid. Untung gue berhenti di masjid, coba kalau gak berhenti, gak bakalan ada kisah makan bakso barengan tadi.
Apa Ara masih jadi cewek yang gak peka ya?
Tapi tak apalah, gue sabar kok buat bikin dia peka.
Gue mulai memasuki sebuah rumah besar dengan pagar tinggi yang menjulang, sebenarnya gue gak terlalu suka dengan tinggi pagar ini. Merasa terkekang gue jadinya.
"Assalamualaikum?" ucap gue memasuki area rumah menuju sebuah ruangan yang selalu digunakan untuk berkumpul.
"Waalaikumsalam," balas seorang wanita, dia ibu gue.
"Gimana hari pertama di cafe Rico? Gak ganggu kerjaan kamu di kantorkan?"
"Alhamdulillah gak ganggu kok mah, kan Juna cuman sebentar aja di sana."
"Papa mana mah?"
"Di ruang kerja nak, kamu coba ke sana ya?"
"Iya mah," ucap gue, lalu menuju ruang kerja papa.
Tok tok tok…
"Masuk!"
"Assalamualaikum pah," ucap gue sambil berjalan menghampiri papa dan mencium punggung telapak kanannya.
"Waalaikumsalam nak. Gimana hari kamu?"
"Alhamdulillah baik pah. Papa gimana?"
"Alhamdulillah, papa juga baik. O iya, minggu depan papa dan mama akan berangkat ke Surabaya untuk menghadiri undangan pernikahan anak rekan bisnis papa."
"Berapa hari pah?"
"Tiga harian mungkin, sekalian liburan nak."
"Nah, gitu dong pah. Masa yang liburan anak-anaknya mulu."
"Kamu bisa aja. Yaudah, papa lanjut ini dulu ya!"
"Iya pah. Inget ya pah!"
"Inget apa nak?"
"Jangan malam-malam kerjanya, papa juga butuh istirahat."
"Iya nak."
Setelah berbincang dengan papa, gue memutuskan untuk masuk ke dalam kamar untuk mandi dan merebahkan tubuh.
"Kak Jun… kak… kak…," suara Dito di dalam kamar gue.
"Kakak ada di kamar mandi Dit. Bentar!"
"Iya kak."
Gue keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk yang hanya menutupi bagian perut ke bawah. Bagian atas gue biarkan berpolos ria. Normalnya seperti itu kan kalau seorang lelaki yang selesai mandi.
"Kakak ganti baju dulu aja, nanti gue masuk lagi."
"Oke."
Beberapa saat kemudian…
"Dit? kakak udah ganti baju."
"Oke," ucapnya sambil membuka pintu kamar dari luar.
"Kenapa?"
"Kata mama, kakak bantuin kak Rico di cafenya."
"Iya, emang kenapa?"
"Cafe mana kak?"
"Cafe love milk, tempat kerja Ara."
"Tempat kerja Ara?"
"Iya, lu gak tahu?"
"Tahu sih kalau Ara kerja di cafe, cuman gak tahu di mananya."
"Hemm, pantesan."
"Jangan galak-galak sama Ara lho kak!"
"Lhoh, kenapa?"
"Dia temen gue kak."
"Iya iya. Makannya sekali-kali kalian temen-temennya pada dateng ke cafe buat bantuin ngeramein pendapatan cafe."
"Gampang itu mah kak."
"O iya Dit?"
"Kenapa kak?"
"Kakak boleh minta tolong gak?"
"Tolong apa?"
"Kalau Ara tanya soal pekerjaan kakak, jangan bilang kalau kakak kerja di perusahaan penerbit Praga Media ya?"
"Lah, kenapa kak?"
"Pokoknya jangan bilang ke dia! Apalagi kalau sampai bilang kakak sebagai CEO di sana. Bilang aja kakak kerja di perusahaan selain penerbit kita."
"Oke deh kak."
Untuk saat ini, gue masih belum bisa jujur ke dia tentang diri gue dan siapa pemilik penerbit yang menaungi karyanya. Biarkan tetap seperti ini, yang terpenting dia masih ada di sekitaran gue.
Gue memandangi sebuah foto yang terbingkai sederhana di atas meja. Ada beberapa foto di meja tersebut, dari mulai foto gue yang sendirian, foto gue bersama Dito, foto kami sekeluarga dan foto terbaru yang baru beberapa hari gue cetak. Foto tersebut adalah foto kelima orang termasuk gue saat mengunjungi Jogjarta beberapa hari yang lalu.
Satu wajah yang fokus gue perhatikan, dengan senyum yang bisa membuat orang lain tertular jika melihat senyumannya. Begitupun gue saat ini, gue ikut tersenyum memandang senyum yang tertangkap oleh kamera tersebut.
"Kak Jun kenapa senyum-senyum gitu?"
"Gak nyangka kita bisa liburan bareng juga akhirnya," balas gue memberikan alasan.
"Iya, biasanya kan kak Jun selalu sibuk sama kantor kalau lagi di Jakarta."
"Maaf ya dek?"
"Hahaha, gak papa kak. Kata mama, itu bentuk tanggung jawab kakak karna memutuskan untuk pergi study jauh waktu itu."
"Hehehe, iya Dit."
"Yaudah, gue balik kamar dulu kak. Kakak istirahat gih! Night kak?"
"Oke Dit, night juga ya."
Dito berjalan menuju pintu kamar dan menghilang dibalik pintu saat ia menutup kembali pintu yang telah dibukanya. Dan gue, masih melanjutkan tatapan mata menuju foto tersebut. Gue balikkan foto, membuka bingkai tersebut lalu mengeluarkan selembar foto yang terletak dibalik foto kami berlima saat di Borobudur.
Dibalik foto tersebut, ada sebuah foto lama yang selalu gue bawa sampai ke Sidney. Itu adalah foto lama gue bersama seseorang, lebih tepatnya foto kami berdua di bawah pohon di halaman belakang sekolah. Foto gue bersama Ara.
Pose saling menatap dan tertawa bahagia di bawah pohon rindang mengenakan seragam sekolah putih abu-abu. Foto ini gue cetak lebih dari satu, satu berada di kamar ini, lalu ada di meja kerja gue di kantor, dan satunya lagi, ada di dalam dompet gue. Sekalipun gue berganti dompet, gue akan memasukkan foto tersebut ke dalam dompet baru gue.
Rasanya, gue ingin seharian berada di cafe Rico. Mengingat ada Ara yang berada di sana dalam waktu lumayan lama. Tapi gue memiliki tanggung jawab lain juga, sehingga gue putuskan untuk tidak tiap hari datang ke cafe. Selama Ara masuk kerja, gue bisa usahakan untuk datang.
Kalau dia masuk sore, gue akan ke cafe sepulang kerja. Kalau dia masuk pagi, gue akan datang mendekati jam makan siang atau saat kantor tidak terlalu membutuhkan gue. Sedangkan kalau dia libur, gue bisa memutuskan untuk tidak ke cafe, dan akan seharian berada di kantor.