Agung memandang wajah Aksa dari bawah sampai atas dengan heran. Tenyata sudah bertahun-tahun Aksa masih terlihat sama seperti dulu. Tidak berubah dan masih saja tampan dan awet muda.
"Tung, beneran loe kagak married dengan perempuan Arab itu?"
"Arabella Bang. Dan iya sih dia keturunan Arab. Hhaaha ..." Aksa mencoba bersikap santai di depan Agung.
"Nah sayang banget loe kagak ngawinin dia, ckckckck ... jadi selama ini kamu menduda ... kesian ... karatan deh loe!" Entah apa yang dipikirkan Agung ini. Mengejek apa mengasihani Aksa yang sesungguhnya.
"Ah Bang, jangan bilang aku duda dong. Aku ini kan masih suami Hana."
"Stop ... jangan bicara kayak gitu lagi. Gue udah buang-buang jauh tuh Bab lembaran loe jadi adik ipar gue. Jadi mending loe buka lembaran baru sama cewek lain. Lupain adik gue. Toh dia juga udah ninggalin dan lupain loe di sini!"
Hati Aksa bagaikan batu yang dibelah dua oleh Agung. Namun rupanya bukan belah dua, tapi seperti pecah berkeping-keping karena Agung sudah tidak menganggapnya sebagai suami Hana lagi.
"Gua saranin loe sebagai sama-sama seorang laki-laki. Tak baik lama menduda. Aku tahu rasanya berpisah dengan seorang istri itu seperti apa. Gue ditinggal istri sehari aja kagak kuat. Nah elo udah mau hampir lima tahun. Pasti berat bagi loe. Usia kita sama, dan ckck, ayolah aku paham betul kebutuhan laki-laki itu ..."
"Tidak Bang. Abang salah menilai tentang aku. Aku ini sampai sekarang masih menjaga perasaan dan hatiku untuk Hana. Ya aku akui memang kalau kita sudah berpisah lama. Tapi Abang juga paham dan mengerti, kalau sampai saat ini aku belum menceraikan dan menjatuhkan talak padanya."
"Buat cowok kayak kita, mau nikah lagi juga tidak masalah. Tapi memang yang kasihan si Hana, statusnya digantung sama eloe, dia mau nikah harus ada kata cerai dulu dari loe."
"Apa Bang. Memangnya Hana mau menikah lagi?"
"Ya tentu saja, gue mau jodohin dia sama teman gue seorang polisi, dia duda juga dan sudah jadi Kapolda."
"Bang, kok kamu tega sama aku ..." Aksa mendelikkan matanya dan memohon.
"Dia udah bilang terserah kok. Nanti setelah dia beres syuting film, dia pulang ke Indonesia dan langsung bertunangan," ucap Agung.
"Jadi, dari tadi Abang nyuruh-nyuruh aku segera menikah, supaya Hana bisa menikah lagi, gitu Bang?" tanya Aksa sedih.
"Iya dong."
"Lebih baik aku mati aja deh Bang. Daripada melihat Hana menikah lagi." Aksa terlihat emosional mendengar ucapan Agung barusan.
"Loe jangan mau mati dulu, berabe, kalau loe mati si Hana nanti tinggal nunggu tiga bulan empat puluh hari dia secara resmi menjadi janda. Jadi meski loe mati tetap Hana jadi janda. Eh tapi kayaknya ide tadi boleh juga. Ya sudah mati aja sana biar Hana bisa menikah lagi!" sahut Agung menahan gelaknya dari tadi.
"Bang Gor, please jangan bikin aku kesel ..."
"Saat kau dengar Hana dijodohkan, gimana perasaanmu?" tanya Agung dengan tatapan penuh selidik.
"Hancur, pengen mati." Aksa tertunduk.
"Loe yang laki aja ngerasa kayak gitu, apalagi Hana yang seorang perempuan. Jauh lebih hancur dan pengen mati juga kali."
Aksa kaget mendengar ucapan Agung. Hana ingin mati.
"Kamu kaget kalau Hana pengen mati juga?" tanya Agung.
Aksa tidak menjawab, dia merasa sedih dan ingin menangis.
"Jadi ... tujuanmu kemari untuk apa?" tanya Agung sekarang mulai menanyakan tujuan Aksa sebenarnya datang ke rumahnya.
"Aku ... hanya ingin bertemu dan mengobrol biasa saja sama Abang."
"Oh, terus?"
"Aku ... aku kangen kalian sebagai keluarga." Aksa sedih, karena terdengar sekali kalau dia tidak mempunyai keluarga yang tidak dirindukan.
"Hemm, jadi begitu rupanya, tapi kenapa kau sampai salah memilih hadiah buat anak gue?" kembali lagi Agung membahas kado yang salah tadi.
"Aku salah aku tidak membelinya langsung dan hanya meminta Sekretarisku untuk membelikannya tanpa tahu isinya."
Agung mencibir. "Segitu sibuknya ya menjadi seorang Presdir Hotel?" tanya Agung sinis.
"Bukan begitu, aku memang tidak ada waktu tadi, padahal hari ini aku sudah berniat untuk datang. Maaf ya Bang. Nanti aku ganti dan aku janji aku akan beliin langsung buat Shanum."
"Ya tidak apa-apa, makasih loe udah inget sama anak gue, andai Hana tidak keguguran. Mungkin anak kalian tidak jauh beda usianya dengan Shanum."
Aksa menjadi melankolis lagi. Teringat perbuatannya yang menyebabkan Hana keguguran dan kehilangan Baby R mereka.
"Tung, mungkin jalan mu dengan Hana memang sudah begini. Dan kalian harus terima takdir hubungan kalian itu. Jadi gue mohon sama loe. Biarkan Hana bahagia dengan pilihan hatinya."
"Bang, yang tadi seriusan Hana mau dijodohin sama Bapak Kapolda?" tanya Aksa kembali lagi mewek. Tadi dia sempat mengira kalau Agung sedang membuat prank untuknya.
"Heheehe, entah itu Kapolda, polisi biasa, atau pemuda biasa. Biarkan Hana yang menentukan sendiri. Janganlah elu tarik lagi Hana ke dalam keluarga lu. Gue enggak mau Hana hanya menjadi duri dalam daging di keluarga kalian."
Aksa hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Agung yang menyakitkan itu. Tapi sebenarnya dia juga tidak bisa berbuat banyak untuk membahagiakan Hana.
"Jadi maksud Abang, aku dan Hana tak mungkin bersama lagi?" tanya Aksa serius.
"Gue enggak berani bilang begitu, yang jelas kan emang kenyataannya seperti itu."
"Asal Abang tahu, kemarin aku bertemu Hana di Amerika."
"Hah, beneran loe ketemu dia, sumpah bagaimana dia?" tanya Agung bersemangat.
"Aku sempat bantu proses syutingnya film dia."
"Seriusan lu, ah jadi lu emang beneran mantan sutradara."
"Aku bantu sutradaranya yang kebetulan teman kampus dulu di UCLA." Aksa tidak berani bilang kalau Kyle sutradaranya adalah mantan kekasihnya.
"Aku dan Hana bertemu, dan memang sepertinya dia mau memnghindariku Bang. Tapi aku yakin Hana hanya butuh waktu untuk bisa bertemu lagi sama aku."
"Benarkah. Gue kangen sama dia Tung. Udah mau empat tahun lebih gue nggak bertemu langsung sama dia. Sementara gue mau ke LA, enggak mungkin juga. Dia suruh balik ke sini juga enggak mau. Loe beruntung banget bisa ketemu adik gue."
"Iya Bang, tapi itu juga cuma sebentar dan tidak sempat ngobrol. Karena takutnya Hana ketahuan kalau dia mantan istriku."
"Hemm ." Agung manggut-manggut. "Bagaimana dia, apa dia semakin dewasa atau semakin cantik?" tanya Agung.
"Dia semakin bersinar dan jauh lebih cantik Bang. Aku sedikit enggak rela kalau dia jadi artis Bang. Nanti banyak yang demen dan naksir sama dia," curahan hati Aksa pada Agung.
"Kok gitu, Tung ... loe masih berharap sama adik gue?" tanya Agung.
"Ya iyalah Bang."
"Loe mau nyakitin adik gue lagi. Keluarga loe semua udah bikin Hana sakit hati."
"Bang ... Aku akui keluargaku brengsek, bajingan. Tapi aku enggak. Kalau Abang masih percaya sama aku. Aku akan buat Hana bahagia, tapi mungkin bukan sekarang-sekarang. Aku harus perlahan melepaskan diri dulu dari mereka. Untuk itu apa Abang masih mau jadi kakak iparku?"
"Loe barusan melamar gue?" tanya Agung keheranan. Pernyataan Aksa barusan seolah dia yang dilamar Aksa.
"Iya Bang, aku melamar Abang untuk bisa bertahan dan masih menjadi kakak iparku."
"Aksa Mahesa, apa lu tahu kenapa sebab gue sering memanggil lu Lutung?" tanya Agung malah berfilosofi.
"Mana aku tahu Bang, kata Hana itu panggilan sayang Abang." Kata Aksa sok imut.
"Iya loe tahu, tapi kenapa bukan jenis primata lainnya. Kenapa bukan Otan, Orang Utan?"
Aksa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mode on 'Gajel" kembali lagi nih orang, batin Aksa.
"Kalau loe tahu kenapa dan dibalik alasan gue memilih Lutung daripada Otan. Gue akan restui loe buat bersama lagi sama Hana. Kalaupun Hana tidak mau. Gue bakal paksa dia."
"Benarkah itu?" Aksa terlihat sumringah.
"Iya gue janji. Asal loe bisa tepat ngasih jawabannya." Kata Agung sambil tersenyum jahat.
"Aduuh Bang, Abang nih udah kayak dosen aja. Aku harus baca Ensiklopedia tentang primata dulu kalau begitu?" Aksa menghela napas panjang. Sebuah permainan dari Agung pun dimulai. Aksa jadi bingung dan mumet.
Bersambung ...