Beberapa hari setelah pulang dari Berlin, Intan terlihat lebih sering murung dan tambah menjadi lebih diam dari biasanya. Hana menjadi khawatir dengan keadaaan Intan yang seperti itu.
Suatu malam, Hana mengajak Intan untuk duduk berdua makan malam dengannya di apartemen. Malam itu Hana sengaja memasak berbagai menu makanan untuk mereka berdua.
"Kak, ayo makan. Aku sudah buatkan soto ayam buat Kakak," Hana menemui Intan di dalam kamarnya. Saat itu dia melihat Intan sedang duduk di meja kerjanya sambil memandang layar laptopnya. Namun begitu Hana masuk ke dalam kamarnya. Intan buru-buru menutup layar laptopnya dan Hana sempat melihat Intan mengusap wajahnya.
'Kenapa dia menangis?' ucap Hana dalam hati.
"O-oke, aku akan segera ke meja makan. Bisakah kau menungguku di sana. Aku harus mandi dulu!" jawab Intan tanpa menunjukkan wajahnya pada Hana.
Hana hanya bisa menahan rasa penasaran campur cemasnya begitu dia menyadari kalau Intan sudah membuat pagar pembatas diri agar dirinya jangan melewat batas privasinya.
"Baiklah Kak," jawab Hana kemudian langsung berjalan keluar dari kamar Intan.
"Kenapa ya, sejak pulang dari Berlin, Kak Intan lebih terlihat murung dan pendiam. Bahkan tadi aku lihat dia sedang menangis?" gumam Hana sambil menuju ruang makan.
Setelah lama menunggu, akhirnya Intan datang menyusul ke meja makan. Hana melihat sisa-sisa wajah sembab Intan meski pun sepertinya Intan sudah berusaha untuk membasuh wajahnya.
"Tumben sekali kamu masak?" tanya Intan sambil mengambil nasi untuk piringnya.
"Ah itu karena aku lagi kangen masakan Indonesia aja kok Kak, sudah lama sekali sepertinya kita tidak makan masakan khas Indonesia," jawab Hana sambil membantu mengambilkan ikan dan mendekatkan mangkok soto ke depan Intan.
"Apa kau sudah kangen pulang?" tanya Intan.
"I-itu, apa menurut Kakak, aku sudah siap pulang?" jawab Hana malah balil bertanya.
"Kamu masih dalam tahap merayap menjadi bintang Hana, apa kau sudah mau menyerah dengan cepat kembali ke sana?" tanya Intan.
Hana terdiam mendengar ucapan Intan. Mencoba mencerna maksud dari perkataan Intan.
'Apakah aku belum siap bertemu dengan keluarga Mahesa saat ini. Dan aku juga belum siap menjadi orang yang tangguh saat berhadapan dengan mereka lagi. Terutama orang-orang yang pernah menghina dan membuat dirinya terluka?' batin Hana.
Intan tidak memedulikan wajah Hana yang tertunduk karena mendengar pertanyaannya. Intan sendiri punya masalah yang harus dia selesaikan dan dia tanggung setelah pulang dari Berlin.
*** ****
Semua cara akan Aksa lakukan untuk memecat dan mengeluarkan Arabella dari Hotel Mahesa. Dia tidak peduli dengan ancaman dan desakan dari neneknya dan Mr Zayyed. Untuk itu agar semuanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan Aksa.
Aksa memerintahkan Daniel untuk mencari tahu dulu tentang Pak William yang mempunyai firma hukum di sana. Begitu banyak channel dan informan yang bisa Daniel kerahkan. Aksa memercayakan Daniel untuk menyelidiki Pak William sebelum Aksa menemuinya langsung.
Tugas yang tidak mudah dan sangat sulit karena target yang ingin digali informasinya tinggal di Singapura. Tapi Aksa mendesak Daniel untuk bisa berhasil meskipun Aksa harus mengeluarkan uang untuk upah orang yang akan mencari informasi itu.
Sambil menunggu kepastian informasi tentang Pak William, Aksa berusaha untuk mengulur waktu agar Mr Zayyed tidak secepatnya menarik investasinya di Hotel Mahesa. Karena Aksa belum mempersiapkan segala akibat dan efek dari ditariknya investasi Mr Zayyed.
Aksa masih pergi ke kantornya meski dia sudah membuat keributan dengan neneknya. Dia tak akan begitu saja berdiam diri menunggu bencana datang. Jadi sebelum badai itu datang, Aksa meminta Daniel untuk mengambil alih sementara pekerjaan Arabella. Dia tidak mau lama-lama terus membiarkan Arabella membuat kekacauan.
Daniel kemudian pergi ke divisi Arabella untuk mengambil semua berkas tentang pekerjaan yang sedang dikerjakan Arabella maupun rencana proyek pekerjaan yang baru. Melihat kedatangan Daniel ke ruangannya dengan niat mengambil semua berkas pekerjaannya. Arabella hanya tersenyum licik karena Aksa sudah berani sejauh ini padanya untuk menyingkirkannya dari Hotel Mahesa.
Dengan sopan Daniel meminta semua berkas dan softcopy pekerjaan yang sedang dikerjakan Arabella.
"Aku sungguh takjub dengan keberanian Aksa sekarang, apa yang menyebabkan dia berani seperti ini, pasti ada sesuatu yang membuatnya berani seperti itu. Apa kau tahu itu?" tanya Arabella pada Daniel.
"Aku tidak tahu, kenapa harus aku beritahu kalau aku tahu, kalau kamu mau tahu, beritahu aku bagaimana supaya aku bisa kasih tahu padamu yang ingin tahu itu. Aku tahu tidak mudah bagimu yang punya rasa tahu besar akan sebab kenapa Pak Aksa tidak mau tahu kalau kau sedang mengancamnya. Asal kamu tahu kalau Pak Aksa tidak akan bisa kamu perdaya lagi Nona Ara ...."
"Cukup Daniel. Kau membuatku tambah pusing saja dengan ucapanmu yang bodoh itu!" Ara kesal karena Daniel sedang mempermainkan psikologisnya sekarang.
"Baiklah!" Daniel kemudian mengambil semua map dan dokumen-dokumen di atas meja kerja Ara dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak dus besar.
"Bisakah kau minggir sebentar Nona!" perintah Daniel yang terhalang karena Arabella menghalangi layar monitor dan CPU nya. Dengan dengus kesal Ara menyingkir dari mejanya dan membiarkan Daniel memindahkan semua data pekerjaan dari komputer Arabella ke dalam flasdisk.
Setelah semua sudah dipindahkan dan dibawa Daniel kemudian meninggalkan Arabella yang semakin kesal karena sekarang meja dan ruangannya menjadi kosong melompong.
"O-ya." Daniel tiba-tiba kembali lagi dengan menjulurkan kepalanya ke pintu ruangan Arabella dan berkata lagi, " Jika kamu masih penasaran kenapa Aksa bisa berani seperti itu, akan aku beritahu Pak Aksa kalau kamu ingin tahu meskipun tahu kalau sebenarnya rasa ingin tahu Nona Ara itu tidak akan bisa menjamin kalau Pak Aksa akan ....." Belum sempat Daniel selesai bicara, buru-buru Daniel berlari karena takut.
Arabella siap melempar Daniel dengan sebelah sepatunya yang sudah dia copot karena tidak tahan dengan ocehan Daniel yang mengejeknya dengan mengulang-ulang kata "tahu".
Dengan tertawa terpingkal-pingkal Daniel membawa kotak itu sambil menahan rasa mulesnya melihat wajah Arabella yang marah tadi. Dia berhasil membuat Miss Bikes menjadi kesal. Sampai di ruangan Aksa, Daniel meletakkan kotak berisi berkas dan dokumen itu ke mejanya sambil tersenyum dengan suara tawa yang tertahan. Melihat Daniel yang tertawa terpingkal membuat Aksa berpikir pasti ada sesuatu yang lucu telah terjadi.
"Hei, kenapa kau senyum-senyum sendiri, ada yang lucu?" tanya Aksa penasaran.
"Ah tidak apa-apa, bukan hal yang lucu kok Pak, cuma memang ini sangat lucu, kalau Bapak ingin tahu apa yang lucu yang bikin Bapak bilang ada yang lucu, aku beri tahu yang lucu Pak, tadi aku sempat bilang sama Nona Arabella kalau dia ingin tahu ...."
"Stop!" seru Aksa memijit keningnya yang pusing mendengar celotehan Daniel yang tumben hari ini terdengar seperti kornslet dan agak error.
"Kenapa Pak, saya kan belum selesai, kenapa Bapak bilang stop. Saya kan mau cerita ...."
"Niel kamu lagi salah minum obat apa sih? Kok cara ngomongmu itu bikin aku pengin lempar sendal sama kamu!"
Daniel menggaruk-garuk lehernya. Entahlah apa memang ada yang salah dengannya. Daniel hanya kelewat bosan menunggu dan resah tak bisa mendengar kabar dari Intan. Sehari-hari dia terus mencoba menelepon nomor Intan, tapi sepertinya nomornya diblokir.
Daniel merasa frustasi karena dia tidak tenang setelah kejadian malam itu. Dia selalu dibayang-bayangi wajah Intan yang sedang menangis di depannya. Setiap malam dia selalu terbangun gara-gara mimpiin Intan. Setiap hari dia selalu dilanda gelisah karena perasaan bersalah terus menghantui dirinya. Meskipun kejadian malam itu adalah dasar suka sama suka, tapi Daniel merasa bersalah.
"Kamu masih kepikiran Intan?" tanya Aksa yang menangkap sinyal error Daniel gara-gara Intan.
"Iya Pak, otak dan tubuhku jadi tidak karuan karena selalu resah, apa Bapak punya solusi buatku. Tolong carikan satu solusi untukku Pak. Supaya aku tidak terus-terusan begini. Aku kurang tidur, tidak nafsu makan, konsentrasiku pecah."
"Ckckcck ... kamu benar-benar terkena sindrom bucin parah Niel."
"Please help me Pak!" ujar Daniel dengan raut muka sedih.
"Adeeuuhh, oke aku bantu kamu ya, tapi ada satu syarat!"
"I-iya Pak, apa itu pak?" tanya Daniel bersemangat.
"Aku ingin kau lakukan satu tugas penting demi menyelamatkan kedamaian dan kesentosaan abadi Atasanmu ini, apa kau siap?" tanya Aksa dengan wajah serius.
"Pak, bahasanya terdengar seperti seorang Proklamator," ujar Daniel tanpa takut dibalas dengan jitakan Aksa.
"Aku tanya, apakah kamu siap?" tanya Aksa lebih tegas.
"Siap Pak."
Aksa kemudian membisikkan tugas penting ke telinga Daniel. (Tidak ada yang bisa mendengar apa yang dikatakan Aksa pada Daniel).
"Apa, serius ini Pak tugasnya."
Aksa mengangguk sambil mengangkat-angkat kedua alis dan matanya ke atas.
"Siaplah, demi kesentosaan kedamaian abadi dan keadilan sosial Bapak. Maka dengan ini Daniel menyatakan kesiapannya." Jawab Daniel persis seperti anak SD yang sedang membaca Pembukaan UUD 1945.
"Good ."
"Tapi ngomong-ngomong bagaimana Bapak membantu menghilangkan keresahan saya Pak?" tanya Daniel menanyakan imbalannya atas tugas penting yang diberikan Aksa.
"Aku mau pergi ke LA minggu depan, apa kau mau ikut?" tanya Aksa.
"Benarkah?" seru Daniel dengan mata yang berkaca-kaca. Dengan sorot mata memohon Daniel untuk pertama kalinya menawarkan diri untuk ikut ke luar negeri. Biasanya kalau Aksa ke luar negeri, Daniel setengah hati dan ogah-ogahan kalau bukan urusan perusahaan.
Bersambung ....
"Reader siapa yang mau ikut Aksa ke LA, sini daftar sama Author!"
"Aku Maaakk !" jawab Bang Gor.
Jangan lupa untuk memberikan review, PS dan komenya!